SEJARAH PERADABAN ISLAMDI INDONESIA
Friday, 5 April 2013
Add Comment
BEDAH
BUDAYA ISTIGHOTSAH DALAM BUDAYA ISLAM INDONESIA
Sudah
menjadi tradisi yang
tidak bisa dikompromikan, umat
Muslim di Indonesia terutaman di pulau jawa dan beberapa negara lain, ramai melakukan
isthotsah dalam setiap kesempatan
utamanya jika terjadi bencana atau musibah bahkan akan mengahadapi ujian
nasional di sekolah ataupun madrasah.
Bahkan, ada yang
menganggap ritual keagamaan
ini bagian dari
keimanan seseorang, jika tidak merayakannya maka ia tidak beriman.
Jika
dihadapkan pada pertanyaan: mana yang lebih utama, istighotsah dengan cara
seremonial, atau sholat fardu yang lebih khusyuk dalam
rangka menjadi manusia yang
bermakna? Tentu kita
akan menjawab: lebih
utama dua-duanya, merayakan maulid juga mengingat perjuangannya
untuk dijadikan barometer menuju hidup yang bermakna.
B. PERMASALAHAN
1. Pengertian Istighotsah.
2. Kajian Istighotsah menurut para ahli dan
pendapat yang setuju dan tidak.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN ISTIHOTSAH.
Kata
“istighotsah” استغاثة berasal dari “al-ghouts”الغوث yang berarti pertolongan. Dalam tata bahasa Arab
kalimat yang mengikuti pola (wazan) "istaf’ala" استفعل atau "istif'al" menunjukkan arti pemintaan
atau pemohonan. Maka istighotsah berarti meminta pertolongan. Seperti kata
ghufron غفران yang berarti ampunan ketika diikutkan pola istif'al
menjadi istighfar استغفار yang berarti memohon ampunan. Jadi istighotsah
berarti "thalabul ghouts" طلب الغوث atau meminta pertolongan. Para ulama membedakan
antara istghotsah dengan "istianah" استعانة, meskipun secara kebahasaan makna keduanya kurang lebih sama. Karena
isti'anah juga pola istif'al dari kata "al-aun" العون yang berarti "thalabul aun" طلب العون yang juga
berarti meminta pertolongan. Istighotsah adalah meminta pertolongan ketika
keadaan sukar dan sulit. Sedangkan Isti'anah maknanya meminta pertolongan
dengan arti yang lebih luas dan umum. Baik Istighotsah maupun Isti'anah
terdapat di dalam nushushusy syari'ah atau
teks-teks Al-Qur'an atau hadits Nabi Muhammad SAW. Dalam surat Al-Anfal
ayat 9 disebutkan:
"(Ingatlah
wahai Muhammad), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu lalu Dia
mengabulkan permohonanmu." (QS Al-Anfal:9) Ayat ini menjelaskan peristiwa
ketika Nabi Muhammad SAW memohon bantuan dari Allah SWT, saat itu beliau berada
di tengah berkecamuknya perang badar dimana kekuatan musuh tiga kali lipat
lebih besar dari pasukan Islam. Kemudian Allah mengabulkan permohonan Nabi
dengan memberi bantuan pasukan tambahan berupa seribu pasukan malaikat. Dalam
surat Al-Ahqaf ayat 17 juga disebutkan;
وَهُمَا
يَسْتَغِيثَانِ اللَّهَ
"Kedua
orang tua memohon pertolongan kepada Allah." (QS Al-Ahqaf:17)
Yang
dalam hal ini adalah memohon pertolongan Allah atas kedurhakaan sang anak dan
keengganannya meyakini hari kebangkitan, dan tidak ada cara lain yang dapat
ditempuh oleh keduanya untuk menyadarkan sang anak kecuali memohon pertolongan
dari Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dari kedua cuplikan ayat ini
barangkali dapat disimpulkan bahwa istighotsah adalah memohon pertolongan dari
Allah SWT untuk terwujudnya sebuah "keajaiban" atau sesuatu yang
paling tidak dianggap tidak mudah untuk diwujudkan. Istighotsah sebenamya sama
dengan berdoa akan tetapi bila disebutkan kata istighotsah konotasinya lebih
dari sekedar berdoa, karena yang dimohon dalam istighotsah adalah bukan hal
yang biasa biasa saja. Oleh karena itu, istighotsah sering dilakukan secara
kolektif dan biasanya dimulai dengan wirid-wirid tertentu, terutama istighfar,
sehingga Allah SWT berkenan mengabulkan permohonan itu. Istighotsah juga
disebutkan dalam hadits Nabi,di antaranya :
إنَّ الشَّمْسَ تَدْنُوْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَبْلُغَ الْعَرَقُ نِصْفَ الْأُذُنِ, فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ اسْتَغَاثُوْا بِآدَمَ ثُمَّ بِمُوْسَى ثُمَّ بِمُحَمَّدٍ
Matahari
akan mendekat ke kepala manusia di hari kiamat, sehingga keringat sebagian
orang keluar hingga mencapai separuh telinganya, ketika mereka berada pada
kondisi seperti itu mereka beristighotsah (meminta pertolongan) kepada Nabi
Adam, kemudian kepada Nabi Musa kemudian kepada Nabi Muhammad. (H.R.al
Bukhari).
Hadits
ini juga merupakan dalil dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allah
dengan keyakinan bahwa seorang nabi atau wali adalah sebab. Terbukti ketika
manusia di padang mahsyar terkena terik panasnya sinar Matahari mereka meminta
tolong kepada para Nabi. Kenapa mereka tidak berdoa kepada Allah saja dan tidak
perlu mendatangi para nabi tersebut? Seandainya perbuatan ini adalah syirik
niscaya mereka tidak melakukan hal itu dan jelas tidak ada dalam ajaran Islam
suatu perbuatan yang dianggap syirik. Sedangkan isti'anah terdapat di dalam
Al-Qur'an, Allah SWT berfirman:
وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ
“Mintalah
pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS Al-Baqarah: 45)
2. PRO
DAN KONTRA TENTANG ISTIGHOTSAH
Istighotsah
marak diamalkan sekelompok umat Islam di Indoensia, seolah Istighotsah adalah
perintah syar’i yang mesti di amalkan oleh setiap muslim. Lalu benarkah
Istighotsah itu perintah agama ?..Banyak pak lebai atau kyai kyai menjadi
promotor Istighotsah, mengisyaratkan istighosah adalah suatu ajaran yang tidak
boleh tidak harus di amalkan oleh umat Islam.
Definisi
Istighosah adalah suatu bentuk permohonan khusus kepada Allah, dengan perantara
atau wasilah nabi atau orang orang yang dikeramatkan. Tetapi tidaklah demikian
dalam sejarah Islam, istighotsah dilakukan para shahabat nabi bersifat
spontanitas dengan tujuan menghindar dari musibah yang menimpanya, berdoa dan
betawassul selama nabi masih ada, tentunya dengan teks doa tawassul yang
diajarkan Rasulullah saw. Bukan buatan sendiri.
Di
Indonesia Istighotsah di hubungkan dengan berbagai kepentingan kelompok atau
perorangan atau pada acara cara kampanye partai yang dilakukan dengan motivasi
jabatan atau tahta, bahkan menjadi alat kekuasaan dalam rangka menangkal lawan
politiknya. Pada acara tertentu, istighotsah digunakan untuk menolak musibah
atau bencana yang menimpa nasional .
Istighotsah
juga sering digunakan para kyai sebagai media kepentingan mereka
berdekatan
dengan kekuasaan, bukan dengan Allah. Padahal bentuk amalan istighotsah model
sekarang bukan makin mendekatkan umat kepada Allah, melainkan akan menjauhkan
umat dari jalan-Nya. Sebab banyak masalah dalam Istighotsah, berupa aturan
aturan yang dibuat oleh mereka sehingga menyamai Ibadah, sedangkan Ibadah
menjadi haram hukumnya, bila tak pernah ada contohnya dari Nabi. Amalan amalan
Istighotsah menggambarkan didalamanya banyaknya amalan amalan yang tidak sunah,
kaifiyatnya (caranya) menentang menentang cara cara Ibadah Nabi Muhammad.
Apalagi
Istighotsah itu mengandung pola ibadah berlebihan dan syirik yang justru
menghapus makna Ibadah syar’i yang dikandungnya. Seperti pembacaan alfatihah
pada mayat mayat orang shalih dan para wali, mencerminkan istighotsah adalah
suatu ibadah yang trans nasional, produk luar Islam yang dikombinasi kedalam
Islam, terlebih didalamnya menghubungkan Islam dengan mitologi dan kultus, yang
membesar besarkan dan mendewa dewakan ulama dahulu kala sebagai perantara.
Adalah
sebuah ajaran Bid’ah (ajaran sesat, karena tidak ada contohnya dari nabi).
Dalam masalah ibadah, tidak ada toleransi Islam yang membenarkan umatnya
membuat Ibadah sendiri. Segala peraturan Ibadah dalam Islam harus murni dari
nabi, bukan apologika para ulama yang disakralkan. Islam memiliki tiang tiang
ibadah yang secara khusus bertopang pada keputusan syariat, bukan keputusan
ulama. Ulama tidak berhak menciptakan Ibadah, siapapun orangnya. Karena Aturan
Ibadah baru bisa dijalankan kalau datagnya dari Nabi sebagai petugas Allah.
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَاتَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
“Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali”. [An Nisa':115]
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya dan
bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui”. [Al Hujurat :1].
Maka
perlunya umat Islam menjauhkan dari macam macam bid’ah, ajaran yang tidak ada
contohnya dari nabi dan para shahabtanya.
Telah
mengabarkan kepada kami [Abu Al Mughirah] telah menceritakan kepada kami [Al
'Auza'i] dari [Yahya bin Abu Katsir] dari [Abu Qilabah] ia berkata; [Abdullah
bin Mas'ud] radliallahu ‘anhu berkata; ” Pelajarilah ilmu sebelum ia dicabut.
Dan, dicabutnya ilmu dengan cara ulama diwafatkan. Oleh karena itu,
tinggalkanlah bid’ah, bersilat lidah dan sikap sering mengada-ada dan melampui
batas hingga persoalan menjadi rumit. Dan, berpegang teguhlah kepada sesuatu
yang kuno, yaitu sunnah dan atsar (ucapan sahabat) “.(Sunan Darimi 142)
Telah
mengabarkan kepada kami [Abu Al Mughirah] telah menceritakan kepada kami [Al
'Auza'i] dari ['Abdah bin Abu Lubabah] dari [Ibnu Abbas] radliallahu ‘anhu ia
berkata: ” Barang siapa yang mengada-adakan pendapat selain dari Kitab Allah
dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia tidak tahu bagaimana
kondisinya ketika bertemu Allah kelak”. (Sunan Darimi 153)
dari
['Aisyah] dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa mengada-ngada sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami, padahal
kami tidak perintahkan, maka hal itu tertolak.” (Shahi Muslim 3242)
BEDAH
BUKU TENTANG ISTIGHOSAH
Buku
yang berjudul "Membongkar Kebohongan Buku; Mantan Kiai NU Menggugat
Sholawat dan Dzikir" ini, merupakan jawaban dari buku yang ditulis H
Mahrus Ali yang berjudul, "Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir
Syirik". Tulisan Mahrus, ternyata mempunyai banyak kejanggalan dan
kebohongan, bahkan meresahkan kaum muslimin, khususnya bagi warga Nahdliyyin
(sebutan untuk warga NU). Tim Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Cabang NU Jember
merasa bertanggung jawab untuk meluruskan adanya kejanggalan dan kebohongan
buku tersebut.
Dalam
bukunya, Mahrus mengatakan bahwa tawassul dan istighosah termasuk perbuatan
bid'ah (mengada-ada dalam beribadah), syirik (menyekutukan Tuhan). Bahkan, ia
mengkafirkan. Dan, ibadah-ibadah lainnya, seperti, membaca sholawat pada Nabi
dan membaca zikir setelah salat lima waktu termasuk perbuatan bid'ah. Padahal,
bacaan-bacaan itu telah menjadi tradisi khususnya di kalangan Nahdliyyin.
Pertanyaannya, apakah Mahrus sudah menemukan dalil yang kuat dalam Al-Quran dan
Al-Hadist, bahwa ber-tawassul, istighosah, membaca sholawat pada Nabi, dan
membaca zikir termasuk perbuatan bid'ah, kufur, syirik, dan menyesatkan?
Karena
itu, dalam buku ini, dijelaskan, ber-tawassul dan ber-istighosah, hukumnya
adalah boleh, baik ketika seorang nabi atau wali itu masih hidup atau sudah
meninggal. Namun, hal itu harus disertai dengan keyakinan bahwa tidak ada yang
bisa mendatangkan bahaya dan memberikan manfaat secara hakiki, kecuali Allah.
Sedangkan, para nabi dan wali hanyalah sebagai sebab atas dikabulkannya doa dan
permohonan seseorang.
Adapun
kebolehan ber-tawassul dan ber-istighosah kepada para nabi dan para wali, baik
ketika mereka masih hidup maupun yang telah meninggal, hukumnya sudah
disepakati seluruh ulama salaf yang saleh sejak generasi Sahabat sampai
generasi para ulama terkemuka pada abad pertengahan. Ada 12 ulama besar
terkemuka, yang semuanya sepakat membolehkan ber-tawassul dan ber-istighosah.
Di antaranya, Al- Imam Sufyan bin Uyainah (Guru Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin
Hambal), Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi'I, Imam Ahmad bin
Hambal, Imam Abu Ali al-Khallal, Al-Hafizh Ibn Khuzaimah, tiga hafizh
(al-Thabarani, Abu al-Syaikh dan Abu Bakar Ibn al-Muqri'), Ibrahim al-Harbi,
Al-Hafizh Abu Ali al-Naisaburi, Al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi, dan Abu
al-Khair al-Aqqtha'.
Tidak
hanya ulama di atas yang membolehkannya. Al-Quran yang merupakan sumber primer
pengambilan hukum Islam justru menganjurkan ber-tawassul dan ber-istighosah.
Seperti yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 35, yang artinya, "Hai,
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah)
yang mendekatkan diri kepada-Nya". (QS. Al-Maidah:35). Jadi, dapat kita
simpulkan bahwa ber-tawassul dan ber-istighosah dengan para Nabi dan para wali
yang sudah meninggal tidak bertentangan dengan ajaran yang telah dijelaskan
dalam Al-Quran dan Al-Hadits.
Adapun
penolakan Mahrus, dalam bukunya, terhadap doa-doa, tawassul dan istighosah,
dengan dipertentangkan dengan ayat-ayat Al-Quran, adalah berakar pada dua hal.
Pertama, Mahrus tidak merujuk pada kitab-kitab tafsir yang mu'tabar (dapat
dipertanggungjawabkan) yang ditulis para huffazh, seperti, Tafsir Ibn Katsir,
Tafsir al-Qurthubi, dan lain-lain. Kedua, Mahrus tidak memahami maksud
ayat-ayat Al-Quran yang diajukan untuk menentang doa-doa tawassul dan
istighosah. Ia tidak dapat meletakkan ayat-ayat Al-Quran pada tempat yang
sebenarnya (hal. 59-60).
Selain
itu, Mahrus mengaku sebagai mantan kiai NU, padahal dia tidak pernah tercatat
sebagai anggota dan aktivis NU, apalagi tokoh atau kiai NU, sebagaimana
keterangan dari Pengurus Ranting NU Sidomukti, Kebomas, Gresik—tempat
kelahirannya. Juga, keterangan dari pengurus Majelis Wakil
BAB
III
KESIMPULAN
Istighotsah
marak diamalkan sekelompok umat Islam di Indoensia, seolah Istighotsah adalah
perintah syar’i yang mesti di amalkan oleh setiap muslim. Lalu benarkah
Istighotsah itu perintah agama ?..Banyak pak lebai atau kyai kyai menjadi
promotor Istighotsah, mengisyaratkan istighosah adalah suatu ajaran yang tidak
boleh tidak harus di amalkan oleh umat Islam.
Definisi
Istighosah adalah suatu bentuk permohonan khusus kepada Allah, dengan perantara
atau wasilah nabi atau orang orang yang dikeramatkan. Tetapi tidaklah demikian
dalam sejarah Islam, istighotsah dilakukan para shahabat nabi bersifat
spontanitas dengan tujuan menghindar dari musibah yang menimpanya, berdoa dan
betawassul selama nabi masih ada, tentunya dengan teks doa tawassul yang
diajarkan Rasulullah saw. Bukan buatan sendiri.
Di
Indonesia Istighotsah di hubungkan dengan berbagai kepentingan kelompok atau
perorangan atau pada acara cara kampanye partai yang dilakukan dengan motivasi
jabatan atau tahta, bahkan menjadi alat kekuasaan dalam rangka menangkal lawan
politiknya. Pada acara tertentu, istighotsah digunakan untuk menolak musibah
atau bencana yang menimpa nasional .
Istighotsah
juga sering digunakan para kyai sebagai media kepentingan mereka
berdekatan
dengan kekuasaan, bukan dengan Allah. Padahal bentuk amalan istighotsah model
sekarang bukan makin mendekatkan umat kepada Allah, melainkan akan menjauhkan
umat dari jalan-Nya. Sebab banyak masalah dalam Istighotsah, berupa aturan
aturan yang dibuat oleh mereka sehingga menyamai Ibadah, sedangkan Ibadah
menjadi haram hukumnya, bila tak pernah ada contohnya dari Nabi. Amalan amalan
Istighotsah menggambarkan didalamanya banyaknya amalan amalan yang tidak sunah,
kaifiyatnya (caranya) menentang menentang cara cara Ibadah Nabi Muhammad.
DAFTAR
PUSTAKA
1. http://www.almeshkat.net/books/archive/books/sheh%20almuhalh.zip
2. http://www.almeshkat.net/books/archive/books/fath%20alaziz.zip
3. http://www.waqfeya.net
4. http://www.alsunnah.com
0 Response to "SEJARAH PERADABAN ISLAMDI INDONESIA"
Post a Comment