MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM DI INDONESIA TENTANG ANTARA ISLAM DAN KEBUDAYAAN INDONESIA
Friday, 5 April 2013
Add Comment
HUBUNGAN CANDI DAN ISLAM
BAB I PENDAHULUAN
Salah satu upaya yang dilakukan oleh orientalis
dalam menyingkirkan pengaruh dan peranan Islam dalam suatu masyarakat adalah
melalui nativisasi. Nativisasi ini secara sederhana dapat
didefinisikan sebagai usaha yang sistematis maupun tidak yang dijalankan untuk
menghilangkan peran kesejarahan Islam dan umatnya dari suatu negeri dengan cara
mengangkat budaya lokal setempat. Keberadaan “budaya lokal” setempat yang
diangkat itu sendiri, dalam arus nativisasi, bukan merupakan hal yang
telah final, melainkan melalui proses rancang ulang yang tidak jarang merupakan
hasil rekayasa belaka. Tujuan utama dari program ini adalah memarginalkan peran
Islam, lantas menempatkannya sebagai “pengaruh asing” yang diposisikan
berseberangan dengan “agama asli” pribumi. Bukan dalam rangka mengangkat budaya
pribumi itu sendiri, melainkan lebih banyak dilakukan untuk kepentingan lain
yang bersifat hegemonik, termasuk kristenisasi.
Salah satu contoh yang jelas dari proses
nativisasi misalnya adalah identifikasi Mesir dengan peradaban Piramida. Dalam
diskursus ini direkayasa bahwa Mesir menjadi besar karena budaya Piramid dan
bukannya karena kedatangan Islam. Peranan Islam di masa lalu coba digantikan
dengan peranan semu yang dilakukan oleh para Fir’aun dari masa yang jauh lebih
kuno. Dalam pada ini, Islam hanya diposisikan telah meninggalkan peradaban yang
tidak signifikan bagi kemajuan. Mesir menjadi maju karena mewarisi kebesaran
dan semangat dari Fir’aun yang berhasil membina sejumlah bangunan monumental.
Di Indonesia, proses nativisasi ini juga
dijalankan oleh para orientalis dan misionaris. Mulai dari pengaburan sejarah
terkait peran ulama dan pahlawan Islam hingga pemunculan sejumlah aliran
kebatinan yang tidak sepenuhnya “original”. Pada beberapa kasus bahkan bersifat
mekanistis karena terbentuk melalui melalui proses rekayasa. Sejajar dengan
bangunan Piramida di Mesir, di Indonesia kaum orientalis berusaha mengangkat
kebudayaan candi sebagai kebudayaan asli Indonesia yang dianggap jauh lebih
bermakna daripada warisan tradisi Islam.
Diskursus tentang kebudayaan candi dan upaya
marginalisasi Islam dengan memanfaatkan isu ini rasanya menarik untuk dikaji.
Tulisan ini disajikan untuk menjembatani wujud pewacanaan yang dimaksud. Pada
giliran selanjutnya, besar harapan penulis akan menjadi pemantik bagi proses
pengembangan kajian selanjutnya.
KEBUDAYAAN YANG DILUPAKAN
Kebudayaan candi sebenarnya merupakan kebudayaan
yang pernah mati dan hilang dari ingatan publik masyarakat di nusantara. Usaha
mengangkat kembali, candi sebagai peninggalan leluhur yang adi luhung
seringkali tidak sepi dari motif dan kepentingan tertentu. Diantaranya berusaha
memarginalkan peran Islam di nusantara sebagai pijakan untuk melaksanakan misi
kristenisasi melalui pendekatannya untuk menemukan titik temu antara kejawen
dan Kristen. Tulisan Bambang Noorsena, tokoh Kristen Orthodoks Syria, merupakan
salah satu wujud dari karya yang bersifat demikian. Dalam bukunya Noorsena
membuat klaim sebagai berikut:
“ …. Serat Wedhatama
mengistilahkan sembah raga yang masih harus
ditingkatkan pada tahapan yang lebih halus: sembah cipta,
sembah kalbu, dan sembah rasa.
Suatu penjawaan dari jalan-jalan pendakian tasawuf syari’ah,
Tariqah, Haqiqah,
dan Ma’rifah, yang terlebih dahulu sudah
dirasuki mistik Hindhu-Budha.
Penggambaran tahap-tahap pendakian mistik
ini, mudah dilacak dari berbagai peninggalan bersejarah di tanah air kita. Hal
ini membuktikan betapa kuat meresapnya jejak-jejak mistik Hindu, Buddha, dan
Islam, yang berpadu dengan unsur agama asli. Monumen stupa Borobudur dan Masjid
Demak merupakan contoh pengabadian bangunan punden berundak dari masa
megalitikum. Bangunan stupa Borobudur disebut dari bawah: Kamadatu (alam
keinginan), rupadatu (alam rupa), dan arupadatu (alam tanpa rupa) sejajar dengan
masjid Demak bersusun tiga yang melambangkan Syari’ah, tariqah, dan haqiqah.
Sedangkan tujuan tertinggi dari perjalanan mistik digambarkan dengan makuta di
ujung atas masjid yang semotif dengan stupa teratas Borobudur yang dulu kosong
karena menggambarkan keabadian alam Buddha (sunya).”[1]
Dalam kutipan di atas, nampaknya Bambang Noorsena
menggambarkan bahwa sejumlah tradisi Islam telah mengalami penjawaan sedemikian
rupa dengan masuknya unsur-unsur agama Jawa asli setelah sebelumnya dirasuki
mistik Hindhu dan Buddha. Dengan demikian Islam dalam sejumlah karya sastra
Jawa tersebut oleh Bambang Noorsena ditempatkan sebagai entitas yang sepenuhnya
tunduk terhadap agama asli Jawa. Noorsena kemudian berusaha membuktikan bahwa
jejak-jejak perpaduan agama itu dapat dilacak pada sejumlah peninggalan sejarah
di tanah air termasuk Candi Borobudur dan Masjid Demak.
Argumentasi Bambang Noorsena bahwa keempat jalan pendakian
tasawuf Islam telah direduksi oleh pengaruh mistik Hindu dan Buddha dengan
mengambil bukti pendukung berupa Candi Borobudur dan Masjid Demak, jelas
merupakan rasionalisasi yang kurang tepat. Tentang Borobudur, misalnya, candi
yang dianggap sebagai warisan bangsa Indonesia ini memang seringkali
ditempatkan sebagai bukti bahwa Budhisme pernah sedemikian kuat pengaruhnya
bagi sebagian masyarakat Jawa. Sampai pada titik ini tidak terlalu ada masalah.
Namun kemudian justru kenyataan ini dimanfaatkan sebagai justifikasi bahwa
Budhisme masih memainkan peran hingga pada masa kini dengan bukti Borobudur
ini. Termasuk memposisikan ajaran Islam di Jawa yang dianggap telah tereduksi
oleh semangat Budhisme karena masih mengadopsi ciri-ciri arsitektural yang sama.
Jelas ini adalah proses untuk menempatkan posisi generasi mendatang dengan
“ingatan” yang dibentuk dengan sebuah “kelupaan sejarah”.
Borobudur sendiri sebenarnya telah pernah lenyap
dari ingatan kolektif penduduk nusantara. Soediman, seorang Pengajar di
Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada serta pernah menjabat
sebagai Pimpinan Harian Kantor Pelaksana Proyek Pemugaran Candi Borobudur,
mengungkapkan bahwa Borobudur baru diketemukan kembali pada tahun 1814 setelah
kira-kira delapan abad dilupakan orang dan terpendam di dalam tanah. Pada waktu
diketemukan candi ini berada dalam keadaan menyedihkan.[2]
Candi ini telah berujud menjadi sebuah gunung kecil atau bukit yang ditutupi
oleh semak belukar. Di gunung tersebut banyak ditemukan potongan-potongan arca
oleh penduduk setempat yang pemberani. Sedangkan umumnya penduduk saat itu
justru takut untuk datang ke gunung yang kemudian diketahui sebagai Borobudur.
Penyebabnya, masyarakat era itu menganggap bahwa gunung tersebut sebagai tempat
angker dan berbahaya. Hingga tahun1814, Stamford Raffles, Gubernur Jendral
Britania Raya di Jawa, mendengar berita penemuan sejumlah potongan arca di
gunung tersebut.
Pada tahun 1900 M di bawah pemerintah Hindia
Belanda maka dilakukan perawatan terhadap “bukit” yang ditemukan. Semak belukar
dan tanah yang mengurugnya mulai dibersihkan dan ditemukanlah struktur bangunan
candi. Sebagian besar ditemukan dalam kondisi yang sudah rusak parah. Baru pada
yahun 1907 dilakukan pemugaran yang dipimpin oleh Theodore Van Erp, seorang
perwira Zeni Angkatan Darat Kerajaan Belanda. Perbaikan di bawah pimpinan Van
Erp ini berlangsung antara 1907 sampai 1911. Pemugaran ini pun hanya sampai
memasang beberapa buah gapura, sementara dinding lorong pertama dan kedua tetap
dibiarkan miring, serta pagar langkannya masih banyak yang menganga.[3]
Pada era ini Candi Borobudur pun belum bisa diperkenalkan kepada publik secara
luas dengan alasan keamanan bangunan.
Dengan mencermati sejarah “penemuan kembali”
Candi Borobudur ini, maka muncul pertanyaan baru, Apakah layak mendasarkan
sebuah teori bahwa ajaran Buddha sedemikian kuatnya berpengaruh dengan
menggunakan contoh Candi Borobudur yang disejajarkan dengan bangunan Masjid
Demak? Sementara diketahui bahwa Candi Borobudur telah “hilang” selama 8
(delapan) abad sebelumnya. Boleh dikatakan bahwa “kelupaan sejarah” terhadap
Candi Borobudur ini bahkan telah berlangsung melewati masa Majapahit dan
Kesultanan Demak. Belum lagi jika kita harus memperhitungkan lagi proses
pemugaran pasca ditemukan kembali hingga layak diperkenalkan kepada publik yang
memakan waktu lebih dari satu abad sendiri.
Jadi, Borobudur sendiri sebenarnya telah “pernah
mati” dalam alam pikiran orang Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa ingatan publik
masyarakat Jawa terhadap simbol kebesaran masa lalu berupa ajaran Budha ini
tidak terlalu mendalam atau bahkan tidak ada. Hanya merupakan sapuan cat yang
mudah terkelupas dari sepotong kayu. Kebesaran masa lalu yang terlalu
diagung-agungkan dengan melupakan kenyataan sejarah yang lebih besar. Sebuah
bukti bahwa “keagungan” masa lalu bisa dibangkitkan kembali dengan menjajah
ruang kesadaran kita. Oleh karena itu menghubungkan antara tingkatan yang ada
dalam Candi Borobudur dengan tingkatan pada masjid Demak, sebagaimana
pengutipan yang dilakukan oleh Bambang Noorsena, rasanya merupakan tindakan
yang ahistoris dan mengada-ada.
Buku “Sejarah Nasional Indonesia” yang menjadi
rujukan standar dalam penulisan sejarah tentang Indonesia juga mengungkapkan
fenomena yang sama. Dikatakan bahwa beberapa masjid kuno memiliki pola lengkung
mirip kalamakara dalam mihrabnya. Beberapa bangunannya
mengingatkan pada seni bangunan candi, yaitu menyerupai meru pada
jaman Hindhu. Juga beberapa detail lainnya. Namun buku tersebut sama sekali
tidak membuat konklusi gegabah bahwa proses adopsi maupun adaptasi bangunan
fisik akan selalu diikuti dengan proses yang sama terhadap nilai “bathin” yang
dimilikinya. Menariknya, kesimpulan buku tersebut justru mengungkapkan bahwa
Islamisasi yang dilakukan melalui seni bangunan dan seni ukir pada sejumlah
bangunan Islam justru menunjukkan bahwa proses pengislaman tersebut dilakukan
dengan damai. Kecuali itu dari segi ilmu jiwa dan taktik, menurut buku
tersebut, penerusan tradisi bangunan dan seni ukir pra Islam merupakan alat
Islamisasi yang sangat bijaksana yang mudah menarik orang-orang bukan Islam
secara perlahan memeluk Islam sebagai pedoman hidup barunya.[4]
Dengan istilah lain, inilah salah satu bukti titik temu yang sulit dibantah
antara Islam dan Jawa.
Untuk lebih mendalami persoalan ini, akan semakin
menarik jika mencermati analogi yang dikemukakan Prof. Dr. Syed Muhammad Naguib
Al Attas, pakar kebudayaan Melayu, sebagai berikut:
Sebagaimana si Ali berpakaian chara Barat memang
nampak pengaruh Barat pada zahir dirinya, dengan tiada semestinya bererti bahwa
batin dirinya itupun terpengaruh oleh kebudayaan Barat, begitulah juga
fakta-fakta sejarah yang zahir pada sesuatu masharakat dan kebudayaannya tiada
semestinya membayangkan sifat batin masharakat dan kebudayaan itu.[5]
Jadi, sejumlah bangunan Islam di Jawa yang
menampilkan sebagian corak dari masa lalu tidak berarti mewarisi pola “batin”
yang sama. Kesamaan pada sejumlah detail pola bangunan Hindhu dan Budha, tidak
lantas menjadi bukti bahwa Islam telah mewarisi ajaran mistik kedua agama
tersebut. Kesimpulan Noorsena tersebut seperti halnya bangunan gereja-gereja kuno,
baik di Timur dan di Barat, seringkali memiliki detail bangunan dan menggunakan
simbol-simbol yang sama yang sama dengan bangunan penganut paganisme yang ada
disekitar pertumbuhan umat Kristen. Salib adalah simbol yang sama pernah
dipakai oleh sejumlah ajaran pagan sebelum masa Kristen. Bukan hanya terbatas
pada simbolnya, bahkan cerita-cerita seputar salib dari agama penyembah berhala
tersebut hampir sama dengan detail dan ajaran dalam kekristenan. Jika
didasarkan dengan hal tersebut kemudian disimpulkan bahwa “Kristen telah
mewarisi tradisi mistik kaum pagan”, dimanakah posisi keberterimaan Bambang
Noorsena ? Tetap konsistenkah ia dengan analogi yang diyakininya?
Jika Borobudur merupakan candi Agama Budha, maka
Candi Prambanan sebagai candi bercorak Hindhu juga mengalami nasib yang kurang
lebih sama. Candi Hindhu ini ditemukan secara tidak sengaja pada tahun 1797,
ketika penguasa Belanda membangun markas di Klaten. Sebelumnya tidak ada
gambaran bahwa disekitar tempat pembangunan markas tersebut terdapat kompleks
bangunan kuno tersebut. Hal ini terjadi karena sebagian besar bangunan telah
tertutupi dengan tanaman-tanaman keras. Penduduk sekitar juga menjadikan lokasi
tersebut sebagai tempat pembuangan sampah. Sehingga kesulitan utama yang
dihadapi oleh Belanda ketika hendak membangun kembali peninggalan Hindhu
tersebut adalah menyingkirkan tanaman dan sampah yang terlanjur menutupi badan
bangunan batu tersebut. Sejumlah bangunan batu yang lain yang lebih utuh memang
ada yang digunakan oleh penduduk sekitar sebagai tempat pemujaan. Pemujaan yang
dilakukan tentu saja bukan berasal dari tradisi Hindhu, melainkan lebih mirip
ritual penyembahan terhadap batu dan pepohonan yang berasal dari kebudayaan
punden berundak-undak. Sejumlah arca yang sempat ditemukan dilokasi
tersebut selalu menjadi barang dagangan yang diminati oleh orang-orang asing.
Sementara penduduk sekitar kompleks candi tersebut – terutama yang berprofesi
sebagai pedagang – cenderung mengabaikan dengan menjadikannya sebagai “peluang”
mendapatkan uang.[6]
Candi-candi lainnya secara umum memiliki nasib
yang hampir serupa. Ditemukan sebagai reruntuhan yang diabaikan, tertutup oleh
sejumlah pepohonan dengan tanpa perawatan, terkubur dalam tanah, atau
terbengkelai memuing sehingga sukar direkonstruksi ulang hingga hari ini.
Sebagian besar candi itu umumnya ditemukan kembali setelah melalui proses
penggalian. Untuk selanjutnya dipopulerkan oleh kalangan akademisi orientalis
maupun misionaris. Bukan dengan tujuan untuk bersimpati secara penuh terhadap
wujud kebudayaan ini, melainkan untuk kepentingan lain yang akan dijelaskan
selanjutnya.
ELIT YANG BERJARAK DARI RAKYAT
Saat ini kita hidup dalam era dimana kebudayaan
candi merupakan salah satu khazanah warisan masa lalu yang dalam sejumlah aspek
dianggap sebagai bagian dari kebesaran masa lalu. Pertanyaan yang menggelitik
untuk diajukan adalah “mengapa kebudayaan candi ini kemudian pernah
ditinggalkan oleh masyarakat?”. Pada tingkatan yang lebih ekstrim bahkan
budaya tutur tentang warisan kuno ini ternyata juga tidak menjadi bagian dari
budaya lesan yang berkembang di antara masyarakat Jawa pada masa lalu.
Kenyataan ini, tentu mengherankan bagi kita. Bagaimana mungkin, jika benar
kebudayaan Candi merupakan warisan budaya yang tidak terpisah dari masyarakat,
justru pada saat yang sama dilupakan oleh masyarakat tanpa berbekas sama sekali
sampai wujud bangunannya direkonstruksi ulang dan diperkenalkan kembali kepada
khalayak.
Realitas bahwa pernah terjadi proses “kelupaan”
terhadap budaya candi ini menimbulkan sejumlah spekulasi dalam merunut
peyebabnya. Dr. I. Groneman, seorang orientalis, membangun teorinya bahwa
kerusakan candi ini terjadi murni akibat kejadian alamiah seperti gempa bumi,
erupsi vulkanik, tanaman parasit yang merusak pondasi, dan sejumlah peristiwa
lainnya. Groneman juga menyalahkan kebodohan rakyat sebagai penyebab mereka
kurang menghargai produk agung warisan dari masa lampau.[7]
Wacana yang dihasung Groneman ini hanya sampai pada tataran menjelaskan
bagaimana hilangnya candi akibat proses alamiah yang berjalan, namun kurang
menyentuh aspek kemanusiaan yang lebih konkret. Sebab jika penyebabnya adalah
kebodohan manusia, justru hal ini bisa menjadi lahan subur dan sekaligus
pemantik untuk pemujaan terhadap bangunan kuno. Dengan demikian tidak mampu
menjelaskan mengapa kebudayaan candi ditinggalkan oleh masyarakat atau rakyat
kerajaan Budha atau Hindhu.
Sejumlah cerita babad di Jawa yang vulgar
mendapat pengaruh pemikiran Belanda berusaha menggambarkan bahwa terjadinya
“kelupaan” sejarah terhadap kebudayaan candi ini adalah akibat pengaruh kedatangan
Islam. Islam juga dianggap turut memberikan kerusakan terhadap sejumlah
bangunan monumental di tanah Jawa. Prof. Dr. Denys Lombard, seorang akademisi
dan pakar simbologi Perancis, mengakui kenyataan bahwa terdapat sejumlah
tuduhan orientalis terhadap Islam sebagai penyebab kehancuran sejumlah candi.
Lombard sendiri membantah dengan menyatakan bahwa hampir tidak pernah ada
monumen yang dihancurkan atas prakarsa pihak Islam. Candi-candi di Jawa secara
umum telah menjadi reruntuhan sementara Hindhuisme masih menjadi agama
mayoritas. Kedatangan Islam di Indonesia memang bersamaan waktu dengan
terputusnya secara radikal tradisi-tradisi arsitektural yang telah berkembang
di Jawa selama lebih delapan abad. Beberapa sejarawan Eropa berusaha
menggarisbawahi bahwa Islam merupakan agama yang bersifat “mematikan” bagi
kebudayaan lokal ini. Namun mereka lupa bahwa di Semenanjung Indochina, tempat
dimana Islam tidak berhasil berkembang, pembangunan candi-candi besar juga
telah berhenti sebagaimana yang terjadi di Jawa.[8]
Denys Lombard menggarisbawahi bahwa keruntuhan
kerajaan-kerajaan Hindhu di Jawa dan penghentian pembangunan gedung-gedung batu
berskala besar lebih banyak disebabkan karena kerajaan Budha dan Hindhu
mengalami kemunduran karena mulai ditinggalkan oleh rakyatnya sendiri. Hal ini
terjadi karena penduduk lebih memilih untuk tinggal di kota-kota pelabuhan atau
wilayah sekitarnya.[9]
Pola masyarakat agraris juga mulai bergeser menjadi masyarakat bisnis sehingga
daerah pedalaman yang menjadi pusat kerajaan Hindhu atau Budha dinilai kurang
kondusif lagi bagi gaya hidup mereka yang baru. Dengan demikian proses
“kelupaan” terhadap pembangunan dan pemeliharaan candi di Jawa penyebab
utamanya adalah kerajaan sebagai inisiator utama telah ditinggalkan oleh
sebagian besar rakyatnya.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa kerajaan Budha
dan Hindhu itu ditinggalkan oleh masyarakatnya? Drs. R. Moh. Ali, Kepala Arsip
Nasional dan Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran
(UNPAD), yang dikutip oleh Prof. Dr. Ahmad Mansur Suryanegara, senada dengan
Denys Lombard, menyatakan bahwa kebudayaan candi justru merupakan salah satu
penyebab terjadinya eksodus penduduk kerajaan Budha atau Hindhu dari dari pusat
kekuasaan menuju daerah pesisir atau pelabuhan. Pembangunan sejumlah candi dan
patung-patung besar biasanya merupakan proyek yang melibatkan masyarakat
sekitar dalam prosesnya. Masyarakat tersebut terdiri dari kalangan petani yang
mata pencahariannya lebih banyak berkutat pada bercocok tanam dan memelihara
ternak. Sedangkan proyek pembuatan candi dan patung biasanya melibatkan
rakyat yang digolongkan dalam kasta Sudra dan Paria tersebut
dalam kerja bakti. Akibatnya kerja bakti tersebut menjadikan rakyat kecil
menderita dan mata pencariannya terbengkelai. Dampaknya, mereka berusaha menyingkir
dan meninggalkan wilayah pembangunan candi karena tidak ingin waktu dan
tenaganya habis untuk memenuhi kewajiban kerja bakti kepada raja. Ketika Islam
mulai masuk ke tanah Jawa, mereka bukan hanya meninggalkan keyakinan lamanya
namun juga masuk Islam. Status sosialnya sebagai rakyat dengan kasta terendah
(Sudra dan Paria) dengan sendirinya hilang setelah menganut agama Islam.[10]
Sebab dalam Islam tidak dikenal adanya pembagian strata sosial yang
diskriminatif sebagaimana terjadi dalam konsep kasta.
Jadi tanpa bermaksud meremehkan peran candi pada
masa kini sebagai bagian dari khazanah warisan masa lalu, kebudayaan candi itu
sendiri pada awalnya bukan merupakan kebudayaan yang murni milik “jiwa”
masyarakat nusantara. Candi hanya berhenti sebagai milik kalangan elit
kekuasaan yang terdiri dari kasta Brahmana dan Ksatriya saja.
Sementara bagi kalangan rakyat jelata yang umumnya terdiri dari kasta Sudra dan
Paria, candi merupakan simbol monumental sebuah proses penindasan oleh kalangan
elit politis. Oleh karenanya, maka kebudayaan candi ini pada masa
pembangunannya tidak menjadi bagian dari jiwa dan hati rakyat jelata. Apalagi
diharapkan menjadi bagian dari kerohaniannya. Sehingga pada masa selanjutnya
proses “kelupaan” terhadap tradisi ini menjadi hal yang sangat alamiah dan
wajar. Realitas tentang penghargaan terhadap budaya candi pada era kini, sama
halnya dengan bangunan monumental Tembok Besar di Cina yang menjadi kebanggaan
negara tersebut tetapi sejarah masa lalunya –yang secara umum dilupakan orang –
dibangun dengan pertaruhan jiwa rakyat yang terlibat dalam suatu proyek kerja
paksa dengan korban yang tidak berbilang.
Sungguh tepat ungkapan Syed Muhammad Naguib
Al-Attas, seorang pakar peradaban Melayu, bahwa peninggalan kesenian berupa
tugu-tugu maupun candi-candi serta pahatan-pahatan batu yang menunjukkan
kehalusan cita rasa seni tidak selalu menjadi ciri suatu peradaban yang bermutu
tinggi. Kesenian memang merupakan salah satu ciri yang mensifatkan peradaban,
namun pandangan hidup yang berdasarkan kesenian itu adalah semata-mata
merupakan kebudayaan estetik, kebudayaan klasik, yang dalam penelitian konsep
perabadan sejarah bukan menandakan suatu masyarakat yang memiliki sifat
keluhuran budi dan akal serta pengetahuan ilmiah. Bahkan Sejarah telah
memberikan pelajaran bahwa semakin indah dan rumit gaya senirupa, maka semakin
menandakan kemerosotan aspek budi dan akal. Selanjutnya Al-Attas menunjukkan
contoh Acropolis di Yunani, Persepolis di Iran, dan Piramid-piramid di Mesir
yang sama sekali tidak menunjukkan peradaban dalam wujud ketinggian moralitas
dan kemajuan pemikiran dari sebuah peradaban. Sebaliknya, Al-Attas menegaskan
bahwa dalam menilai peranan dan kesan terhadap Islam, karakteristik yang harus
dicari oleh mereka bukan pada peninggalan yang bersifat material seperti tugu
dan candi melainkan pada bahasa dan tulisan yang sebenarnya lebih bersifat daya
budi dan akal yang merangkum kemajuan pemikiran.[11]
Akhirnya, pengakuan seorang orientalis bernama T.
Ceyler Young terkait tentang “kebudayaan asli” di negeri-negeri berpenduduk
Islam patut dicermati bersama : “Di setiap negara yang kami masuki, kami
gali tanahnya untuk membongkar peradaban-peradaban sebelum Islam. Tujuan kami
bukanlah untuk mengembalikan umat Islam kepada akidah-akidah sebelum Islam tapi
cukuplah bagi kami membuat mereka terombang-ambing antara memilih Islam atau
peradaban-peradaban lama tersebut”.[12]
Praktik mendekati budaya asli dengan kepentingan yang jauh berbeda dari sikap
yang dipertunjukkan sebagaimana diakui Ceyler Young ini bukan merupakan
strategi marginalisasi Islam yang aneh. Dapat dicatat bahwa Misionaris dan
orientalis seperti Hendrik Kraemer (1888-1965) misalnya, ia berusaha mendekati
dan mengkaji serta mengembangkan kebudayaan kejawen, namun bukan dilandasi
simpati terhadap kebudayaan kejawen itu sendiri melainkan didorong oleh
“keputus asaan” pasca terantuk kesulitan untuk menundukkan Islam di Jawa agar
tersentuh oleh kegiatan misi penginjilan.[13]
Hal yang sama juga berlaku pada sejumlah kajian orientalisme yang berusaha
untuk mengembangkan diskursus “pribumi” untuk menyingkirkan peranan dan
pengaruh Islam. “Pribumi” yang dimaksud tentu bukan dalam makna yang
senyatanya, sebab kebudayaan Budha dan Hindhu pada dasarnya merupakan bagian
dari proses yang oleh sejarawan disebut sebagai Indianisasi.
PENUTUP
Eksistensi kebudayaan candi – tanpa mengabaikan
peran kekiniannya- merupakan salah satu kekayaan perbendaharaan budaya masa
lalu nusantara. Akan tetapi mengangkat kebudayaan monumental ini sebagai
warisan budaya adi luhung memang seharusnya dipaparkan kembali secara seimbang.
Masyarakat seharusnya diberikan informasi yang sebenarnya bahwa mereka selama
ini telah dikondisikan dalam bahasa-bahasa yang lebih bersifat jargon daripada
menyentuh realitas. Sudah saatnya masyarakat insyaf bahwa kekayaan budaya yang
berwujud demikian tidak selalu mewariskan cerminan kebudayaan yang menjunjung
ketinggian moralitas dan kemajuan akal pemikiran yang menjadi ciri utama
peradaban mulia.
Jadi pengembangan kebudayaan ini hendaknya
diimbangi dengan informasi yang benar, bukannya terjebak dalam bahasa-bahasa
slogan yang mengedepankan sikap manipulatif dan persuasif. Informasi yang
seimbang akan membentuk masyarakat yang kritis dalam menilai dan tegas dalam
memposisikan titik tolak pemikirannya. Termasuk dalam diskursus budaya candi
yang sebenarnya merupakan wujud jauhnya keberpihakan elit politis dengan
masyarakat kelas bawah yang menjadi tanggung jawabnya. Publikasi tentang
kekayaan budaya hendaknya tidak dibarengi dengan pengorbanan yang terlampau
besar dengan menurunnya intelijensi masyarakat akibat proses pembodohan yang
berjalan sistematis tersebut. Jika proses mengingat kembali kebudayaan lama ini
dianggap menjadi bagian dari pemahaman terhadap khazanah kekayaan budaya. Maka
proses kelupaan terhadap “masa lalu” yang pernah berjalan secara alamiah
mestinya juga merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri. Sehingga perlu juga
dibuka secara jujur dan tidak ditutup-tutupi.
[1]
Bambang Noorsena. Menyongsong Sang Ratu Adil : Perjumpaan Iman Kristen dan
Kejawen. Cetakan II. (Penerbit Andi, Yogyakarta, 2007). Hal. 14-15
[2]
Soediman. Melihat Pelaksanaan Restorasi Candi Borobudur. Dalam Majalah
Analisis Kebudayaan Tahun I No. 1. (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Jakarta, 1980). Hal. 103
[3]
Soediman. Melihat … Ibid. Hal. 103
[4]
Marwati Djoenoed Poesponegoro dan Nugraha Natasusanto. Sejarah Nasional
Indonesia III. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-Balai
Pustaka, Jakarta, 1993). Hal. 192-194
[5]
Syed Muhammad Naguib Al-Attas. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu.
(Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, 1972). Hal. 23
[6]
Lihat Thomas Stamford Raffles. The History of Java. Volume II.
(Printed for Black, Parbury, and Allen, Booksellers to The Hon. East-India
Company, and John Murray- London, 1817 ). Hal. 6-7
[7]
Dr. I. Groneman. Ruins of Buddhistic Temples in Praga Valley: Tyandis
Barabudur, Mendut, and Pawon. Diterjemahkan dari Bahasa Belanda ke Bahasa
Inggris oleh J. H. (Druk Van H. A. Benjamins, Semarang, 1912). Hal. 11-12
[8]
Denys Lombard. Nusa Jawa Silang Budaya 2 : Jaringan Asia. Diterjemah
dari Le Carrefour Javanais: Essai d’histoire globale II. (Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2008). Hal. 189
[9]
Denys Lombard. Nusa Jawa … Ibid. Hal. 189
[10]
Prof. Dr. Ahmad Mansur Suryanegara. Api Sejarah : Buku yang Akan Mengubah
Drastis Pandangan Anda Tentang Sejarah Indonesia. (Salamadani Pustaka
Semesta, Bandung, 2009). Hal. 155
[11]
Syed Muhammad Naguib Al-Attas. Islam dalam … Opcit. Hal. 18-19
[12]
Muhammad Quthb. Perlukah Menulis Ulang Sejarah Islam. Judul asli : Kaifa
Naktubu Attarikhal Islami?. (Darul Wathan lil Nasyri, 1412). (Gema Insani
Press, Jakarta,1995).Hal. 38
[13]
Karel Steenbrink. Dutch Colonialism and Islam in Indonesia: Conflict and
Contact 1596-1950. Edisi Indonesia: Kawan dalam Pertikaian: Kaum
Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942). Penterjemah
oleh Drs. Suryan A. Jamrah, MA. (Penerbit Mizan, Bandung, 1995). Hal 164
0 Response to "MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM DI INDONESIA TENTANG ANTARA ISLAM DAN KEBUDAYAAN INDONESIA"
Post a Comment