MAKALAH TAFSIR TARBAWI JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Saturday, 13 April 2013
PENGERTIAN TAFSIR TARBAWI
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
manusia (jalan) kefasikan dan ketakwaannya” (QS 91:8); “Sesungguhnya
Kami telah menunjukinya jalan (yang lurus): ada yang bersyukur dan ada pula
yang kafir” (QS 76:3).
Mengetahui isi al Qur'an dan al Sunnah,
adalah hal yang mutlak untuk dapat memahami Islam dan ajarannya. Demikian
sangat wajar, karena keduanya adalah referensi utama yang dinilai mengakumulasi
nilai-nilai dasar ajaran Islam. Maksud dari Sunnah sebagai referensi, yaitu
Sunnah digunakan sebagai penjelasan aplikatif dan teoritis terhadap al Qur'an.
Sebagai penjelas al Qur'an, berarti kandungan Sunnah memiliki fungsi sebagai
penafsir awal terhadap al Qur'an. Dalam wacana kajian Islam, maksud dari al
Qur'an sebagai refensi Islam dijelaskan bahwa di dalamnya mengandung
prinsip-prinsip ajaran universal yang dijadikan rujukan dalam memecahkan segala
aspek permasalahan kehidupan, termasuk pendidikan. Dari perspektif pendidikan
Islam, tafsir digunakan sebagai alat untuk mengeksplor ajaran-ajaran Islam
dalam kaitannya untuk mengembangkan dan mencapai sasaran (tujuan) pendidikan.
Melalui cara berpikir ini, maka muncul apa yang dinamakan tafsir tarbawi (tafsir bercorak tarbiyyah), yaitu tafsir yang menekankan (tendensi) kepada tema-tema dan untuk keperluan tarbiyyah (pendidikan Islam). Dari segi fungsinya, tafsir tarbiyyah memiliki kecenderungan yang sama dengan tafsir-tafsir dengan corak lainnya yang beraneka ragam, yakni sama-sama memiliki corcern pada pembahasan dan tujuan pada aspek permasalahan tertentu.
Melalui cara berpikir ini, maka muncul apa yang dinamakan tafsir tarbawi (tafsir bercorak tarbiyyah), yaitu tafsir yang menekankan (tendensi) kepada tema-tema dan untuk keperluan tarbiyyah (pendidikan Islam). Dari segi fungsinya, tafsir tarbiyyah memiliki kecenderungan yang sama dengan tafsir-tafsir dengan corak lainnya yang beraneka ragam, yakni sama-sama memiliki corcern pada pembahasan dan tujuan pada aspek permasalahan tertentu.
Secara etimologi, tafsir bermakna
menjelaskan (al idhâh) dan menerangkan (al tabyîn). Tafsir yang terambil dari akar kata al fasru jug
dapat diartikan sebagai menerangkan (al ibânah) atau menyingkap (al kasyfu). Menurut
pakar tafsir al Zahâbi, istilah tafsir dari segi etimologi digunakan dalam dua
arti. Pertama, menyingkap suatu hal yang berkaitan dengan indra (al kasyfu al
hissiy). Kedua, menyingkap suatu hal yang berkenaan dengan simbol-simbol
rasional (al kasyfu 'an al ma'ani al ma'qulat). Menurut ulama ini, penggunaan
kata tafsir pada arti yang kedua ini lebih umum dari yang pertama.
Sebagian ulama berpendapat bahwa tafsir
sebagai ilmu tidak memiliki batasan definisi tertentu karena tidak memiliki
kaidah-kaidah khusus yang berlaku seperti yang diterapkan pada ilmu-ilmu
rasional yang lain. Menurut pendukung pendapat ini, tafsir cukup diartikan
sebagai penjelasan terhadap kalam Allah atau yang menjelaskan terhadap redaksi
al Qur'an beserta pemahamannya. Menurut sebagian ulama lain, tafsir merupakan
suatu disiplin ilmu tertentu yang didukung oleh displin-disiplin ilmu lain
dalam satu paket yang berfungsi untuk memahami al Qur'an seperti, ilmu
linguistik (lughat), peralihan kata (sharf), gramatika (nahw), bacaan al Qur'an
(Qira'at) dan sebagainya.
Pakar tafsir klasik Ibn Hayyan dalam
Bahr al Muhith menjelaskan definisi tafsir secara istilah sebagai ilmu yang
membahas teknik pengucapan redaksi al Qur'an beserta petunjuk-petunjuknya,
hukum-hukumnya baik secara redaksi personal maupun rangkaian, makna-makna yang
terkandung di dalamnya ketika dirangkai dan penyempurnaan kepada makna
tersebut. al Suyuthi dalam Itqan, mengutip pendapat al Zakarsy menjelaskan
definisi tafsir sebagai " ilmu untuk memahami kitab Allah ta'ala yang
diturunkan kepada Nabi-nya, menjelaskan makna-maknanya, menjabarkan
hukum-hukumnya, dengan menggunakan bantuan ilmu linguistik (lughat), gramatika
(nahw), peralihan kata (sharf), ilmu bayan, usul fiqh, Qira'at, serta bantuan
ilmu asbab al nuzul dan nasikh mansukh. Sebagian pakar lain lebih memilih untuk
mendefinisikan tafsir dari sudut pandang kemampuan sebagai " ilmu yang
membahas tentang keadaan-keadaan al Qur'an beserta penjelasannya sesuai dengan
kehendak Allah Ta'ala sesuai dengan kemampuan obyektif manusia.
Tafsir bagi sebagian ulama tidak
berbeda dengan ta'wil, kedua istilah ini bagi umumnya dipahami oleh para ulama
tafsir klasik dengan arti yang sinonim. Sebagian ulama yang lain seperti al
Asfihani, membedakan arti tafsir dan ta'wil. Tafsir bagi al Asfihani lebih luas
artinya dibanding ta'wil. Jika istilah tafsir lebih banyak digunakan secara
teknis pada redaksi al Qur'an, maka ta'wil lebih berfokus kepada makna-makna
dari al Qur'an. Menurut al Tsa'labi, perbedaan antara tafsir dan ta'wil adalah sisi
tekstual dan kontekstual redaksi al Qur'an. Kata ulama ini, jika tafsir lebih
menekankan aspek tekstual dari pada struktur redaksi al Qur'an baik secara
hakekat maupun majazi, maka ta'wil lebih menekankan aspek konstekstual redaksi
al Qur'an (bathin al lafzi).
Dari keterangan ulama mengenai tafsir
di atas, maka dapat ditarik beberapa point mengenai tafsir.
Pertama, tafsir merupakan usaha untuk
memahami firman Allah SWT dalam al Qur'an sesuai dengan kemampuan subyektif
penafsir.
Kedua,
usaha memahami firman Allah tersebut melibatkan arti tekstual dan
kontekstual redaksi al Qur'an.
Ketiga, dalam usaha menafsirkan al
Qur'an mempergunakan disiplin keilmuan lain yang relevan.
Keempat, usaha menafsirkan al Qur'an
tersebut berangkat dari kebutuhan akan petunjuk-petunjuk ilahi dalam
menyelesaikan pelbagai problematika kehidupan.
Sedangkan definisi etimologis
tarbiyyah, bagi al Hazimy menunjuk kepada arti-arti berikut ini. pertama,
perbaikan (al ishlah), menurut ulama ini arti ishlah tidak terkait dengan kuantitas
(al ziyâdah), melainkan kualitas (al ta'dil wa al tashhih). Jika tarbiyyah
dipahami dengan istilah ishlah, berarti tarbiyyah itu tidak berfokus kepada
penambahan ilmu, tetapi lebih kepada perbaikan potensi yang sudah ada. Kedua,
tumbuh (al namâ') dan bertambah (al ziyâdah). Jika tarbiyyah dipahami dengan
istilah tersebut, berarti tarbiyyah menyimpan unsur bertambah dan tumbuh.
Maksudnya melalui proses tarbiyyah akan bertambah ilmu dan tumbuh kecakapan dan
kemampuan dalam menghadapi masalah. Ketiga, tumbuh (al nasyâ'u) dan berkembang
(tara'ra'a). Maksudnya, dengan proses tarbiyyah akan tumbuh dan berkembang
sikap kedewasaan dan kematangan berpikir seseorang melalui ilmu yang ia
peroleh. Keempat, mengatur dan mengurusi keperluan (al siyasâh wa tawwaliy al
amr). Dalam tarbiyyah memang tersimpan unsur pengaturan dan pengurusan, yakni
mengatur kedisiplinan peserta didik dan mengurusi semua keperluannya yang
menjadi penunjang pembelajaran. Artinya pendidik dalam hal ini berstatus
sebagai pihak yang dipercaya untuk mengatur dan mengurusi peserta didik (al
qiyâm bi amri al mutarabby). Kelima, pengajaran (al ta'lîm). Dengan mengutip
pendapat Ibn al A'raby, al Hazimy menjelaskan bahwa kata al rabbany yang
terdapat dalam QS Ali 'Imran/3: 79 berarti orang yang berilmu yang bertindak
sebagai pengajar yang mengajarkan ilmu-ilmu kecil kepada orang lain sebelum
mengajarkan ilmu-ilmu yang berat. al rabbany juga berarti orang yang mendalam
dalam ilmunya dan hanya mengharapkan Allah dengan ilmu yang dimilikinya.
Menurut al Hazimy, kelima arti bahasa tersebut merupakan unsur-unsur yang mesti
ada dalam sebuah proses tarbiyyah.
Dalam al Qur'an, kata tarbiyyah
digunakan untuk menunjuk kepada dua arti. Pertama, hikmat, ilmu dan pengajaran.
Arti ini ditemukan dalam QS Ali 'Imran/3: 79, Ibn 'Abbas seorang sahabat Nabi
yang terkenal piawai dalam menafsirkan al Qur'an mengartikan kata rabbany dalam
ayat ini sebagai hukama (ahli hikmah), 'ulama (cerdik pandai), dan hulama'
(orang bijak). Kedua, pemeliharaan, arti ini ditemukan dalam QS al Isra/17: 24
dan QS al Su'ara/31: 18. Kata rabb, dalam kedua ayat tersebut berarti
memelihara (al ri'âyah) atau merawat (al 'inâyah). Orang tua memelihara dan
merawat anak diwaktu kecil, Fir'aun juga memelihara dan memelihara Musa ketika
ia masih kecil. Menurut pakar tafsir al Baidhâwi dan al Asfihâni, kata rabb
dalam al Qur'an sejajar maknanya dengan tarbiyyah, yaitu mengantarkan sesuatu
(tablîg al syay') atau menumbuhkannya (insyâ'uhu) secara bertahap agar
mendekati garis kesempurnannya (hadd al tamâm). Dengan pengertian ini, maka
secara terminologis tarbiyyah berarti proses menumbuhkan manusia secara
bertahap dalam segenap aspek kehidupannya untuk tujuan kebahagiaan
dunia-akhirat menurut ajaran Islam.
Pendidikan dalam perspektif tarbiyyah
berbeda dengan pendidikan lainnya dari segi metodik dan tujuan. Dari segi
metodik tarbiyyah mengharuskan adanya kesesuian dengan manhaj Islam, sedangkan
dari segi tujuan nilai-nilai transendental harus terdapat dalam tarbiyyah. Baik
kesesuaian dengan manhaj Islam maupun tujuan transenden pendidikan baru dapat
diperoleh jika pendidik telah memahami pesan-pesan pendidikan dalam al Qur'an sebagai referensi tertinggi dalam
Islam. Pemahaman terhadap pesan-pesan pendidikan al Qur'an itulah yang
dinamakan dengan tafsir tarbawi.
PERKEMBANGAN TAFSIR DAN CORAKNYA.
Pada masa Nabi, pemahaman terhadap
ayat-ayat al Qur'an seluruhnya berada dalam otoritas beliau. Rasulullah dalam
hal ini berperan sebagai penjelas pesan-pesan ayat yang diturunkan kepada
beliau. Setiap ditemukan ayat yang samar maknanya atau tidak dipahami oleh para
sahabat, mereka langsung mengkonfirmasikan ulang kepada Rasulullah. Keadaan ini
terus berlangsung hingga periode wafatnya beliau, yang dengan demikian
penafsiran al Qur'an pada masa ini lebih banyak kecenderungannya kepada homogen
(satu corak penafsiran).
Kalau pada masa hidup Nabi semua
pertanyaan tentang ayat yang sulit dipahami atau yang samar tuntas dijawab
beliau, maka tidak demikian pada masa setelah beliau wafat. Pada masa ini,
setiap ada ayat yang sulit dipahami atau samar maknanya mereka bertanya kepada
sahabat yang lain dan terkadang mereka menemukan penjelasan Nabi dari mereka
yang tidak diketahuinya. Jika mereka tidak mendapat penjelasan, maka para
sahabat berijtihad sesuai dengan kaidah bahasa al Qur'an yang merupakan bahasa
mereka. Karena penafsiran al Qur'an pada masa sahabat dilakukan dengan ijtihad,
maka cenderung lebih heterogen (plural) disebabkan oleh kecenderungan yang
berbeda antara satu sahabat dengan yang lain. Pada masa ini pula lahir
penafsir-penafsir ulung dari kalangan sahabat seperti 'Ali Ibn Abi Thalib, Ibn
'Abbas, 'Ubay Ibn Ka'ab dan 'Abdullah Ibn Mas'ud.
Corak penafsiran tafsir makin terlihat
pada masa sahabat, di mana wilayah Islam telah makin meluas dan banyak
orang-orang non arab ('ajam) yang masuk islam. Dengan meluasnya daerah
kekuasaan Islam, masalah-masalah yang membutuhkan jawaban al Qur'an pun makin
beragam. Karena itu maka muncul pada masa ini tokoh-tokoh penafsir baru dari
kalangan tabi'in yang antara satu dengan lain memiliki kecenderungan penafsiran
yang berbeda. Perbedaan penafsiran para sahabat pada masa mereka yang kemudian
diwariskan kepada murid-murid mereka dari kalangan tabi'in juga merupakan
faktor yang menyebabkan makin beragamnya corak penafsiran al Qur'an.
Pada masa perkembangan selanjutnya,
maka dikenal beragam corak penafsiran al Qur'an yang oleh para ilmuwan tafsir
dikelompokkan kepada tafsir tahlily, tafsir ijmaly, tafsir muqaran dan tafsir
maudhu'i. Kebanyakan dari kitab-kitab tafsir yang ditemukan dewasa ini dengan
uraian panjang hingga berjilid-jilid adalah tafsir dengan corak tahliliy.
Menurut Fahd al Rumi, - guru besar ilmu-ilmu al Qur'an Universitas Riyadl –
para penafsir penafsiran al Qur'an
dengan metode tahlily berbeda dalam aspek panjang dan singkatnya uraian
penafsiran, ada yang uraiannya panjang lebar (al ithnâb) hingga puluhan jilid,
ada yang pertengahan (musâwah), dan ada yang singkat (al ijâz) urainnya hanya
satu jilid saja. Warna penafsirnnyapun beraneka ragam sesuai dengan kemampuan dan
kecenderungan sipenafsir tersebut. Jika penafsirnya merupakan pakar tasawuf
maka uraian tafsirnya cenderung bernuansa sufistik dan dikenal apa yang disebut
tafsir shufi. Jika penafsirnya ahli fikih maka isi uraian tafsirnya penuh
dengan penjelasan hukum-hukum Islam yang kemudian dikenal dengan tafsir fiqhy.
Jika penafsirnya seorang filosof maka uraian tafsirnya akan sangat kental
dengan teori-teori filsafat, semantik (logika) dan ilmu kalam, dan dikenal apa
yang disebut tafisr falsafi. Begitu seterusnya hingga dikenal beragam warna
tafsir seperti tafsir 'ilmi yang menekankan penjelasan saintifik, tafsir adaby
yang menekankan penjelasan fenomenal realistik kehidupan, tafsir da'awy yang
menekankan penjelasan dakwah, dan tafsir tarbawy yang menekankan pesan-pesan
pendidikan al Qur'an. Aneka ragam persoalan kekinian yang membutuhkan jawaban
al Qur'an juga merupakan faktor dominan lahirnya warna-warna tafsir tersebut.
Walaupun dalam uraian tafsir tahlily
ditemukan penekanan pada aspek permasalahan tertentu, akan tetapi keharusan
untuk menjelaskan arti kata-perkata belum lagi banyaknya persoalan yang
terdapat dalam rangkaian ayat-ayat dalam mushaf, menjadikan pembahasan terhadap
satu permasalahan tertentu menjadi tidak tuntas. Karena satu persoalan yang
dibahas dalam satu surah tertentu
terkadang ditemukan pembahasan berikutnya dalam surah yang lain. Hal
demikian akan menjadi sulit jika menggunakan metode tafsir tahlily, maka solusi
yang ditempuh oleh para ilmuwan tafsir adalah melengkapinya dengan metode
penafsiran lain yang dikenal dengan metode tafsir maudhu'i.
Methode tafsir maudhu'i merupakan cara
penafsiran dengan orientasi tematik. Artinya sasaran (target) yang ingin
dicapai melalui penjelasan tafsir maudhu'i adalah tema yang sedang dibahas.
Berbeda dengan tafsir tahlily, tafsir maudhu'i hanya menguraikan arti kata
seperlunya yang terkait dengan tema yang difokuskan. Tafsir maudhu'i juga
mengabaikan keterangan-keterangan yang tidak relevan dengan tema yang sedang
dibahas. Metode ini terkadang dilakukan dengan mengumpulkan ayat-ayat dari
seluruh mushaf yang memiliki tema sama, dan terkadang dilakukan dengan
mengkotakkan satu surat dalam suatu bahasan atau tema tertentu. Tafsir tarbawi
seperti juga tafsir dengan corak-corak lainnya, terkadang disusun dengan metode
tahlily dan terkadang dengan metode maudhu'i dengan kedua teknisnya.
HUBUNGAN
TAFSIR DAN TARBIYYAH.
Tarbiyyah merupakan satu dari sekian
cabang tugas kekhalifahan manusia di muka bumi seperti diungkap dalam al Qur'an.
Pada awalnya, tarbiyyah dalam pengertian pengajaran ('allama) merupakan proses
transfering sifat-sifat Allah kepada hamba-Nya, Adam. Manusia diunggulkan Allah
atas mahluk-Nya yang lain karena pada adam terdapat proses pengajaran sehingga
ia diamanahkan untuk memakmurkan bumi ini. Melalui proses pengajaran, potensi
manusia dioptimalkan agar mengerti cara berinteraksi dengan kehidupan dunia dan
bersikap yang benar terhadapnya. Pengajaran Allah kepada manusia dilakukan
melalui dua cara, pertama secara langsung melalui wahyu yang disampaikan kepada
Nabi dan Rasul. Kedua, melalui fitrah yang ditanamkan pada jiwa manusia untuk
selalu berkeinginan menyampaikan dan mencari kebenaran. Pengajaran yang pertama
merupakan informasi yang dapat diakses manusia melalui ajaran agama, sedangkan
pengajaran yang kedua merupakan konfirmasi yang diusahakan manusia melalui
eksplorasi terhadap fenomena alam. Baik pengajaran berupa informasi maupun
konfirmasi, keduanya merupakan proses pencarian kebenaran yang saling melengkapi
untuk menuju kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dalam pendidikan Islam, sasaran yang
ingin dicapai adalah melakukan pengaturan dan pembinaan dari segenap aspek
potensial manusia agar mencapai kesempurnaan. Di sisi lain, manusia sebagai
mahluk multi dimensi memiliki banyak aspek potensial dari mulai aspek material
(jasmani), hingga immaterial (akal dan jiwa).
Untuk itulah, maka
Allah mengutus Rasul sebagai pendidik yang dalam al Qur'an disebutkan bertugas
sebagai penyampai informasi Tuhan (yatlu 'alaihim ayatih), menyucikan yang
berarti mendidik (yuzakkîhim) dan mengajar yang tidak lain menanamkan
pengetahuan (yuallimuhum) baik yang berkaitan dengan alam fisika maupun
metafisika. Tujuan
pendidikan islam (tarbiyyah) tidak hanya bersifat immanent, tetapi juga
transenden. Sebab target yang ditetapkannya adalah melahirkan kesempurnaan
manusia agar tercipta mahluk dwidimensi dalam satu keseimbangan, dunia-akhirat,
atau ilmu dan iman.
Karena tujuan itu, maka pendidikan
Islam menjadikan pemahaman akan kitab suci sebagai salah satu syarat mutlak
dalam proses pelaksanaannya. Hal demikian dikarenakan target menciptakan
manusia dengan keilmuan dan keimanan yang mantap tidak akan dapat diwujudkan
hanya sebatas melalui pengetahuan kognitif yang relatif. Lebih dari itu,
kebenaran pengetahuan kognitif harus dikonfirmasikan kepada pengetahuan akan
informasi transenden yang mutlak dan absolut. Pengetahuan transenden yang
dimaksud adalah pengetahuan akan pesan-pesan kitab suci al Qur'an, dan
pengetahuan tersebut dinamakan tafsir.
Kebutuhan pengetahuan akan kitab suci
(tafsir) dalam ilmu pendidikan didasarkan pada aspek-aspek berikut. Pertama,
tafsir sebagai basis keimanan yang merupakan pengetahuan tertinggi nilainya,
dan terdasar kedudukannya dalam susunan pengetahuan manusia sebelum pengetahuan
keilmuan yang lain. Kedua, tafsir sebagai konfirmasi terhadap kebenaran yang
diungkap dalam pengetahuan eksploratif. Artinya pengetahuan keimanan
(informatif) dalam pendidikan Islam dan pengetahuan ekploratif harus saling menguatkan
dan membenarkan. Ketiga, tafsir berfungsi sebagai pelengkap dan penyempurna
akan pengetahuan eksploratif yang belum tuntas. Artinya tafsir harus dapat
memberi penjelasan tentang fenomena-fenomena yang tidak dapat dijelaskan oleh
ilmu pengetahuan eksploratif. Keempat, tafsir berfungsi sebagai pengisi nilai
(value filler) terhadap pengetahuan eksploratif. Artinya tafsir dimaksudkan
sebagai pengetahuan yang dapat mewarnai pengetahuan ekspolaratif agar tidak
bebas nilai melalui penanaman nilai-nilai transendent dan etika/moral. Kelima,
tafsir berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan pesan-pesan ketuhanan agar
dapat ditangkap oleh manusia. Dengan kata lain, tafsir merupakan sarana untuk
memberikan kesan membumi (indegenous) terhadap pesan-pesan Ilahi yang bersifat
suci dan transenden.
ISTILAH
PENDIDIKAN DALAM AL QUR'AN.
Dalam bahasa al Qur'an, istilah
pendidikan diisyaratkan melalui kata rabb -tarbiyyah yang biasa diterjemahkan
dengan pendidikan dan 'allama -ta'lim yang diterjemahkan dengan pengajaran.
Kata rabb dan derivasinya disebut dalam al Qur'an sebanyak 169 kali dan
dikaitkan dengan pelbagai obyek. Pengkaitan kata rabb dengan 'alam ditemukan
dalam 30 tempat. Kata rabb dalam al Qur'an, juga dikaitkan dengan musa dan
harun, 'arsy, samawat, al ardl, masyriq wa maghrib, al falq, al nas, al bait,
al abb, dan dlamir mukhatab mudzakar .
Menurut pakar tafsir al Asfihany, rabb
yang memiliki asal kata tarbiyyah memiliki makna mengembangkan sesuatu setahap
demi setahap sehingga mencapai kesempurnaan . Kata rabb menurut al Asfihany
merupakan istilah pengganti subyek bagi Allah, dengan demikian rabb tidak
digunakan kecuali hanya dalam arti Allah yang menanggung kemaslahatan makhluk .
Menurut pakar bahasa Ibn Manzur, kata rabb memiliki beberapa arti seperti raja
(al mâlik), yang empunya (al sâhib), pemimpin (al sayyîd), pengatur (al
mudabbir), yang mengurus (al murabby), wali (al qayyîm), dan pemberi (al
mun'îm) . Adapun arti rabb dalam do'a ini " allahumma rabba hâdzihi al
da'wat al tammah..", memiliki arti penyempurna (al mutammim) . Menurut Ibn
Manzur, ada tiga karakter yang terkandung dalam kata rabb, yaitu pemilik (al
mâlik), majikan yang dita'ati (al sayyîd al mutha') dan pembenah (al muslih).
Dengan demikian, tidak disebut rabb (tuhan) kecuali yang mampu menguasai,
dita'ati dan melakukan pembenahan terhadap mahluk-Nya .
Dalam potongan hadits terdapat kalimat
" laka ni'mat tarubbuha", menurut Ibn Manzur kata rabb tersebut tepat
jika dimaknai sebagai " tahfazuhâ (menjaganya)" atau " turâ'ihâ
(memeliharanya)". Sedangkan kata rabbaya-tarbiyyatan bermakna proses
pengubahan orientasi kelemahan seseorang (tahwîl al tad'îf) dengan metode
terbaik dan membimbingnya sehingga yang bersangkutan mampu meninggalkan sifat
kekanak-kanakannya (tufûliatuhu) baik ia anak kandung atau bukan .
Pakar tafsir al Biqa'i dalam Nazm al
Durar-nya ketika menjelaskan QS Ali
'Imran/3: 79 menyebutkan bahwa kata rabbaniyun berarti orang-orang yang
berusaha mengikuti karakteristik Tuhan dalam hal kesempurnaan pengetahuan-Nya
dan ketepatan perbuatan-Nya . Seorang rabbany kata al Biqa'i juga merupakan
orang yang mantap dari segi keyakinan agamanya dan patuh dari segi ketaatannya
kepada aturan Allah . Penafsiran ini sejalan dengan hadits yang menyuruh untuk
meniru sifat-sifat Allah (takhallaqû bi akhlâq Allah). al Biqa'i juga
menjelaskan bahwa peniruan sifat-sifat Allah oleh orang beriman dilakukan dalam
rangka mendekatkan diri kepada sang pencipta. Hal demikian hanya dapat
dilakukan ketika orang mempelajari kitab Allah, memahaminya, mengamalkannya dan
mengajarkannya kepada orang lain .
Istilah rabb al
'Alamin menurut pakar tafsir kenamaan Wahbah Zuhayli bermakna pihak yang
memelihara dan merawat seluruh alam semesta setelah ia membuatnya menjadi wujud
. Menurut al Sya'rawi, istilah tersebut menunjuk kepada arti pemeliharaan
dengan kewelas asihan (rahmat) dan menjauhi sikap-sikap kekerasan (qaswah) .
Dengan karakteristik rububiyyah tersebut, Allah memberikan nikmat kepada
seluruh mahkluknya tanpa terkecuali, baik yang mukmin maupun yang kafir, yang
menyembah Allah maupun yang menyembah berhala. Kata al Sya'rawy, nikmat
tersebut pada hakekatnya tidak terkait dengan hak makhluk untuk memperolehnya,
melainkan lahir dari kewelasasihan Allah sebagai rabb .
Menurut
ahli tafsir kontemporer al maraghi, tarbiyyah Allah kepada manusia meliputi dua
hal.
Pertama, orientasi immanent (tarbiyyah
khalqiyyah), yang pertama ini meliputi perkembangan fisik manusia hingga mampu
berfungsi secara optimal dan perkembangan psikologis dan intelektual manusia.
Kedua, orientasi transenden (tarbiyyah dîniyyah tahdzîbiyyah), tarbiyyah ini
berwujud petunjuk agama yang di wahyukan-Nya kepada para Rasul dengan tujuan
menyempurnakan potensi akal dan kesucian jiwa manusia . Sedangkan arti
tarbiyyah Allah terhadap alam bermakna pemeliharaan dan pengaturan-Nya yang
berkesinambungan dari mulai diciptakan hingga akhir riwayatnya melalui ilham
yang menuju kepada kebaikan alam semesta .
Selain istilah rabb dan derivasinya,
isyarat pendidikan dalam al Qur'an juga diwakili oleh istilah 'a-la-ma dengan
dobel huruf tengah (tad'if 'ain/'allama) dan bentukannya ditemukan tidak kurang
dari empat puluh tempat . Menurut al Asfihany, dalam istilah ta'lim dari
'allama terkandung dua karakteristik khusus yang berkaitan dengan kualitas dan
kuantitas. Arti kualitas dalam ta'lim maksudnya pengajaran memuat unsur proses
pengulang-ulangan materi dengan maksud meneguhkan pemahaman . Sedangkan arti
kuantitas berarti pengajaran memuat unsur penambahan materi yang dimaksudkan
menambah pengetahuan . Sampai di sini, arti ini bersinggungan dengan pengertian
tarbiyyah yang juga bermakna tumbuh dan bertambah (al namâ wa al ziyâdah) .
Menurut al Asfihany, baik pengulangan maupun penambahan ditujukan agar
membentuk efek dalam diri peserta didik .
Ibn Manzur menambahkan bahwa ta'lim
berarti memberi petunjuk kepada kebaikan dan kebenaran (al ilhâm ila al shawâb
wa al khair), dalam kalimat ghulaymun mu'allam berarti anak kecil yang diberi
petunjuk kepada kebenaran dan kebaikan . Pengajaran Allah kepada Adam akan
nama-nama (ta'lim al asmâ'), menurut al Maraghi merupakan simbol dari proses
konkritisasi makna-makna rasional yang abstrak (al ibrâz al ma'âni al ma'qûlât)
menjadi julukan benda-benda sensatif (al suar al mahsusât) yang dapat dipahami
. Sedangkan arti Allah mengajarkan manusia dengan qalam (QS al 'Alaq/96: 4)
menurut maha guru tafsir al Razi berarti Allah memberi pelbagai ilmu dengan
perantaraan lisan (al qalam: lisan). Demikian kata al Razi, karena qalam (pena)
adalah pengganti dari lisan ketika ia tidak bisa digunakan karena alasan
tertentu, tapi tidak sebaliknya . Mengikuti tafsiran ini, berarti pengajaran
itu dimulai dengan lisan dan bukan tulisan. Pendapat ini, lanjut al Razi,
diperkuat oleh ayat berikutnya yang menyebutkan bahwa Allah mengajar manusia
apa-apa yang belum dimengerti . Ketika manusia lahir ia belum mengerti apa-apa,
lantas Allah mengajarkan manusia pelbagai pengetahuan dengan perantaraan
pendengaran (al sam'), lisan (al afidah), dan penglihatan (al abshâr) . Dalam
al Qur'an, pengajaran dengan qalam diperkuat dengan pengetahuan wahyu yang
telah lebih dahulu diajarkan kepada Rasul-Nya baik yang berupa hukum Tuhan
(syari'at), hingga kepada pengetahuan yang belum terpikirkan oleh nalar manusia
seperti pengetahuan tentang kondisi dan karakter umat manusia, perpolitikan
negara hingga persoalan eskatologi . Dalam perspektif sirah nabi, memang
pengetahuan demikian ini diperoleh orang Arab bersamaan dengan penyampaian
risalah Islam sebelumnya belum mereka kenal .
Berpijak atas penjelasan-penjelasan di
atas, maka dapat ditarik beberapa keterangan berikut. Pertama, pendidikan
merupakan profesi yang sangat mulia, demikian karena ia adalah usaha manusia
dalam meniru watak Allah sebagai pendidik alam semesta (rabb al 'Alamin).
Kedua, sebagai usaha meniru watak Allah, orientasi pendidikan pada dasarnya
berpijak pada dua hal, yakni memelihara (al hifz) dan menjaga (al ra'y).
ketiga, dari kedua orientasi tersebut maka lahir banyak bidang pekerjaan yang
menjadi corncern seorang yang disebut pendidik. Dari mulai, memimpin, mangatur,
mengurus, mewakili, memberi, menyempurnakan, hingga melakukan
pembenahan-pembenahan. Keempat, untuk melaksanakan pelbagai profesi tersebut,
seorang yang disebut pendidik akan diberi sejumlah hak dan kewajiban. Hak
pendidik di antaranya berhak untuk dipatuhi, berhak memberikan perintah, dan
berhak untuk mendapatkan penghormatan. Sedangkan kewajiban pendidik adalah
menjalankan profesinya dengan metode rahmat dan sebisa mungkin menjuhi
kekerasan (qaswah). Di samping memberi pengetahuan, pendidik juga diwajibkan
untuk belajar dan mengisi jiwanya dengan pengetahuan,
selain juga diwajibkan untuk mengamalkan dari
pengetahuan yang dimiliki agar menjadi teladan bagi murid didiknya. Kelima, materi
pendidikan menurut al Qur'an adalah segenap aspek yang terkait dengan potensi
manusia, baik yang immanent maupun transenden. Keenam, proses transfering ilmu
(manajemen pengajaran) menurut al Qur'an harus dilakukan dengan metode yang
mudah dicerna dan tidak menyulitkan peserta didik. Dari segi sasaran,
pencapaian pendidikan menurut al Qur'an ditekankan baik dari segi kualitas dan
kuantitas. Proses pengajaran juga harus diutamakan dengan komunikasi aktif
(lisan) sebelum komunikasi pasif (kitabah).
URGENSI PENDIDIKAN MENURUT AL QUR'AN.
Dalam penjelasan al Qur'an pendidikan
primordial manusia terjadi ketika manusia masih menempati surga. Sekenarionya,
ketika Allah berkeinginan untuk menjadikan pemimpin di bumi, Ia mengajarkan
manusia kemampuan intelektual untuk dapat memahami karakteristik dan
sifat-sifat benda. Menurut al Razi kemampuan ini dalam al Qur'an disebut dengan al Asma' .
Melalui kemampuan ini, kemudian manusia diunggulkan atas seluruh mahluk Allah
sehingga diberi kepercayaan untuk mewakili-Nya di muka bumi . Dengan demikian,
pendidikan promordial itu sangat erat kaitannya dengan tugas berat manusia
sebagai pemimpin di bumi. Maka dapat dipahami persoalan pelimpahan tugas
tersebut kepada manusia, bukan kepada malaikat yang menurut al Qur'an senantiasa
bertasbih dan mensucikan Allah. Padahal di sisi lain manusia memiliki banyak
sekali kelemahan, di antaranya ia senang berbuat onar di bumi, mahluk yang suka
bertikai hingga tega menumpahkan darah, aniaya dan zalim .
Untuk
menempati posisi pemimpin, tidak dibutuhkan orang saleh seperti malaikat yang
terus menerus mensucikan dan bertasbih kepada Allah. lebih dari itu, dalam
teori kepemimpinan, dibutuhkan orang yang kuat . Imam Ahmad pernah ditanya
mengenai dua orang yang akan diangkat menjadi pemimpin dalam perang, yang satu
kuat namun suka bermaksiat, sedangkan yang satu saleh tapi lemah. Kata Imam
Ahmad yang patut jadi pemimpin adalah orang yang kuat dan bermaksiat. Alasannya
kekuatannya itu berguna bagi orang, sedangkan maksiatnya akan merugikan dirinya
sendiri. Berbeda dengan orang saleh yang lemah, karena kesalehannya hanya untuk
diri sendiri, sebaliknya kelemahannya itu malah menjadi beban bagi orang lain .
Kekuatan yang dijadikan pertimbangan
dalam konteks kepemimpinan manusia di bumi adalah kemampuan intelektual yang
diajarkan Allah semenjak primordialnya. Sedangkan kelemahan-kelemahan yang ada
pada manusia itu justru menjadi faktor dalam mengukur keberhasilan manusia
dalam memimpin bumi ini. Artinya, kekuatan intelektual manusia itulah yang menjadikan
ia berbeda dari seluruh mahkluk Allah . Menurut al Maraghi, manusia dengan
segenap kekuatan intelektualitas dan kemaksiatannya memiliki potensi untuk
mengubah fisik dunia, baik ke arah yang positif maupun yang negatif .
Atas dasar pandangan tersebut, maka
diperoleh pemahaman bahwa ada keterkaitan erat antara pendidikan dengan konteks
kepemimpinan. Semakin luas konteks kepemimpinan tersebut, maka semakin erat
pula hubungan antara keduanya. Adam sebagai simbol manusia primordial, memiliki
tanggung jawab yang luas atas kepemimpinan dunia. Karenanya, oleh Allah
diberikan pengajaran yang komprehensif atas pengenalan hukum-hukum alam seperti
dalam firman-Nya " wa 'allama Adama al asma kullaha.." (QS al
Baqarah/2: 31). Dalam al Qur'an, Daud juga disebut sebagai yang memiliki
tanggung jawab serupa. Seperti halnya Adam, Daud juga diberi pengajaran sebagai
pemimpin . Namun demikian, karena konteks kepemimpinannya terbatas pada Bani
Israil di Palestina, maka pengajarannya terbatas hanya pada ilham untuk membuat
baju besi yang dianggap sangat bermanfaat saat itu . Inilah makna firman Allah
وَآتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ
وَعَلَّمَهُ مِمَّا يَشَاءُ
"….dan
Allah memberinya kepemimpinan dan kenabian, dan mengajarkannya apa yang ia kehendaki
(mengilhamkan membuat baju besi)…" QS al Baqarah/2: 251.
Para Rasul sebagai agen yang
menyampaikan wahyu Allah, menurut syeikh 'Ali Mahfuz, pada dasarnya bahkan
memiliki dua wilayah kepemimpinan. Pertama, para Rasul adalah pemimpin dari
segi keilmuan, kedua, pemimpin dari segi politik . Baik kepemimpinan keilmuan
maupun politik, bagi 'Ali Mahfuz, dimaksudkan untuk mensokong risalah Allah
kepada manusia. Untuk tugas kepemimpinan tersebut, para Rasul juga diberi
pengajaran. Pengajaran Allah kepada para Rasul menurut al Qur'an yaitu dengan
al kitab dan al hikmah .
Stratafikasi kepemimpinan manusia,
dengan demikian menjadi penentu bagi tingkat kebutuhan seseorang kepada
pendidikan. Dalam hadits nabi, disebut bahwa tanggung jawab seseorang itu
memiliki keterkaitan dengan konteks sosial kepemimpinan. Sabda Rasul
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي
أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ
زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ
سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ قَالَ وَحَسِبْتُ أَنْ قَدْ قَالَ
وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي مَالِ أَبِيهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ
رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
"…setiap
kamu adalah pemimpin dan kelak akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang
dipimpinnya. Pemimpin Negara bertanggung jawab atas rakyatnya. Suami
bertanggung jawab atas keluarganya. Istri bertanggung jawab dalam persoalan
rumah tangga. Karyawan bertanggung jawab atas harta pengusahanya…" HR.
Bukhari .
Pakar pendidikan Islam Khalid al Hazimy
ketika menganalisa hadits tersebut menjelaskan. Bahwa dalam hadits tersebut
terimplisit pesan pentingnya pendidikan dalam tiga apek, yakni individu (fardiyyah),
keluarga (usrah), dan sosial (mujtama') . Lebih jauh al Hazimy menjelaskan
point penting pendidikan dalam aspek individu seperti membangun ketaatan
individu kepada Allah, memunculkan ketentaraman jiwa individu (amn nafsy li al
fard), hingga kecintaan individu untuk bersosialisasi (hubb al mujtama') .
Menurut al Hazimy, keterangan al Qur'an
mengenai tujuan penciptaan manusia untuk mengabdi hanya kepada Allah (QS al
Zariyat/ : 56), berimplikasi kepada keharusan pendidikan. Hanya dengan
pendidikan, kata al Hazimy, orang bisa mengerti pelbagai ilmu untuk
mengenal-Nya dan cara untuk mentaati-Nya . Pendidikan juga diperlukan untuk
melahirkan ketenangan dalam jiwa manusia. Dengan pendidikan, kegelisahan jiwa
manusia yang terpendam akan terjawab. Ini membuatnya akan lebih konsisten untuk
menerima dan menjalani hidup. Al Hazimy dengan mengutip QS al Baqarah/2: 261
memberikan contoh, bahwa banyak perbedaan antara kenyataan yang terlihat dengan
hakekat yang sebenarnya . Inilah salah satu perlunya pendidikan, yang
pangkalnya merupakan pendidikan Rasul terhadap umat manusia. Sebagai individu,
manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, karena itu ia
terdorong untuk menjalin hubungan sosial. Di sisi lain, hubungan sosial antara
individu mengharuskan seseorang untuk bergaul dengan budi pekerti yang luhur,
toleran dan saling memahami satu sama lain. Keadaan tersebut tidak akan
tercipta tanpa melalui proses pendidikan .
Seperti halnya pentingnya pendidikan
bagi individu, pendidikan juga memiliki pengaruh dalam kehidupan keluarga. Al
Hazimy, dengan mengutip QS al Tahrim/ : 6, menjelaskan bahwa perintah agama
untuk membina keluarga hanya dapat dilakukan dengan pendidikan . Pakar tafsir
Ibn Katsir dengan mengutip imam 'Ali menjelaskan bahwa arti dari firman Allah
" wa ahlîkum nâran…" dalam ayat tersebut berarti didiklah mereka
(addibûhum) dan ajarkan mereka ('allimûhum) . Pendidikan terhadap keluarga,
lanjut al Hazimy, merupakan implementasi dari keyakinan seorang muslim terhadap
agamanya yang menuntut tanggung jawab terhadap hak-hak keluarga . Dari segi
prefentif, pendidikan dalam kehidupan keluarga juga diperlukan dalam rangka
menandingi masuknya informasi yang dapat merusak keyakinan Islam . Sedangkan
dari segi hubungan antara anak dan orang tua, pendidikan kepada keluarga juga
dapat melahirkan sikap dan perilaku anak yang membanggakan orang tua .
Dalam skala yang lebih luas, pendidikan
juga memiliki peran penting dalam tingkat sosial kemasyarakatan. Menurut al
Hazimy, pendidikan dalam tingkat ini memiliki peran penting dari tiga segi yang
saling terkait. Tiga hal yang dimaksud adalah ketentraman sosial yang akan melahirkan integritas sosial ,
dengan integritas sosial maka akan lahir pertumbuhan sosial dan ekonomi yang signifikan
.