SEJARAH PERADABAN ISLAM TENTANG FATHU MAKKAH
Saturday, 13 April 2013
Mengambil Pelajaran dari Peristiwa Penaklukan Kota Mekkah
Pada Rabiulawwal tahun 7 Hijriah, Rasulullah berangkat ke Dzatur Riqa’ bersama 700 pasukan. Urusan Madinah diserahkan kepada Abu Dzar Al Ghifari karena bani Tsa’labah berhimpun bersama bani Muharib dari Ghathafan hendak melakukan penyerangan. Sepulang dari peperangan ini, Rasulullah saw, menetap di Madinah hingga bualan Syawal 7 Hijriah. Beliau mengirim beberapa pasukan sebagai berikut: Satuan pasukan Ghalib bin Abdullah Al Laitsy yamg diutus Rasulullah saw, kepada kepada bani Mulawwah di Al Qadid. Pasukan ini diberangkatkan dari Madinah pada Safar atau 7 Hijriah.
Pada Rabiulawwal tahun 7 Hijriah, Rasulullah berangkat ke Dzatur Riqa’ bersama 700 pasukan. Urusan Madinah diserahkan kepada Abu Dzar Al Ghifari karena bani Tsa’labah berhimpun bersama bani Muharib dari Ghathafan hendak melakukan penyerangan. Sepulang dari peperangan ini, Rasulullah saw, menetap di Madinah hingga bualan Syawal 7 Hijriah. Beliau mengirim beberapa pasukan sebagai berikut: Satuan pasukan Ghalib bin Abdullah Al Laitsy yamg diutus Rasulullah saw, kepada kepada bani Mulawwah di Al Qadid. Pasukan ini diberangkatkan dari Madinah pada Safar atau 7 Hijriah.
- Satuan pasukan husamy yang diutus pada Jumadats Tsaniyah.
- Satuan pasukan Umar bin Al Khatab yang dikirim ke Turban pada Syaban bersana 30 orang.
- Satuan pasukan Basyir bin Sa’ad Al Anshari yang diutus kepada bani Murrah di bilangan Fadaq pada bulan Syaban dengan 30 orang.
- Pengirim Satuan pasukan Ghalib bin Abdullah Al Laitsy ke bani Uwal dan bani Abd bin Tsa’labah dengan 30 oerang. Ada yang berpendapat, mereka dikirim ke Al Hurqah di wilayah Juhainah.
- Satuan Pasukan Abdullah bin Rawahah ke Khaibar pada Syawal tahun 7 Hijriah bersama 30 prajurit.
- Satuan pasukan berjumlah 300 orang di bawah pimpinan Basyir bin Sa’ad Al Anshar ke Yamman dan Jabar pada Syawal tahun 7 Hijriah.
- Satuan pasukan Abu Hadrad Al Aslami ke Al Ghabah.
- Satuan Amr bin Ash bersama 300 pasukan menuju Dzatu Salasil, sebuah lembah dibalik Wadi Qura’ (kabilah perbatasan Syam dibawah kekuasaan Romawi yang hendak melakukan penyerbuan) pada tahu 8 Hijriah bulan Jumadil Akhir sesuai perang Mu’tah.
Sya’ban tahun 8 Hijriah, utusan Abu Qatadah
berangkat bersama 15 orang, diawali adanya kabar bani Ghathafan menghimpun
pasukan di Khadhirah di wilayah Muharib, Najd. Misi ini berlangsung selama 15
hari
Episode
berikutnya dalam sejarah kemenangan kaum muslimin di bawah bimbingan kenabian
yang terjadi di bulan Ramadhan adalah Fathu Makkah (penaklukan kota Mekkah).
Peristiwa ini terjadi pada tahun delapan Hijriyah. Dengan peristiwa ini, Allah
menyelamatkan kota Makkah dari belenggu kesyirikan dan kedhaliman, menjadi kota
bernafaskan Islam, dengan ruh tauhid dan sunnah. Dengan peristiwa ini, Allah mengubah kota Makkah yang
dulunya menjadi lambang kesombongan dan keangkuhan menjadi kota yang merupakan
lambang keimanan dan kepasrahan kepada Allah ta’ala.
Sebab
Terjadinya Fathu Makkah
Diawali
dari perjanjian damai antara kaum muslimin Madinah dengan orang musyrikin
Quraisy yang ditandatangani pada nota kesepakatan Shulh Hudaibiyah pada tahun 6
Hijriyah. Termasuk diantara nota perjanjian adalah siapa saja diizinkan untuk
bergabung dengan salah satu kubu, baik kubu Nabi shallallahu ‘alahi wa
sallam dan kaum muslimin Madinah atau kubu orang kafir Quraisy Makkah.
Maka, bergabunglah suku Khuza’ah di kubu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
dan suku Bakr bergabung di kubu orang kafir Quraisy. Padahal, dulu di zaman
Jahiliyah, terjadi pertumpahan darah antara dua suku ini dan saling bermusuhan.
Dengan adanya perjanjian Hudaibiyah, masing-masing suku melakukan gencatan
senjata. Namun, secara licik, Bani Bakr menggunakan kesempatan ini melakukan
balas dendam kepada suku Khuza’ah. Bani Bakr melakukan serangan mendadak di
malam hari pada Bani Khuza’ah ketika mereka sedang di mata air mereka. Secara
diam-diam, orang kafir Quraisy mengirimkan bantuan personil dan senjata pada
Bani Bakr. Akhirnya, datanglah beberapa orang diantara suku Khuza’ah menghadap
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam di Madinah. Mereka mengabarkan tentang
pengkhianatan yang dilakukan oleh orang kafir Quraisy dan Bani Bakr.
Karena
merasa bahwa dirinya telah melanggar perjanjian, orang kafir Quraisy pun
mengutus Abu Sufyan ke Madinah untuk memperbarui isi perjanjian. Sesampainya di
Madinah, dia memberikan penjelasan panjang lebar kepada Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam, namun beliau tidak menanggapinya dan tidak
memperdulikannya. Akhirnya Abu Sufyan menemui Abu Bakar dan Umar radliallahu
‘anhuma agar mereka memberikan bantuan untuk membujuk Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam. Namun usahanya ini gagal. Terakhir kalinya, dia menemui
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu agar memberikan pertolongan
kepadanya di hadapan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Untuk kesekian
kalinya, Ali pun menolak permintaan Abu Sufyan. Dunia terasa sempit bagi Abu
Sufyan, dia pun terus memelas agar diberi solusi. Kemudian, Ali memberikan
saran, “Demi Allah, aku tidak mengetahui sedikit pun solusi yang bermanfaat
bagimu. Akan tetapi, bukankah Engkau seorang pemimpin Bani Kinanah? Maka,
bangkitlah dan mintalah sendiri perlindungan kepada orang-orang. Kemudian,
kembalilah ke daerahmu.”
Abu
Sufyan berkata,
“Apakah menurutmu ini akan bermanfaat bagiku?”
“Apakah menurutmu ini akan bermanfaat bagiku?”
Ali
menjawab,
“Demi Allah, aku sendiri tidak yakin, tetapi aku tidak memiliki solusi lain bagimu.”
“Demi Allah, aku sendiri tidak yakin, tetapi aku tidak memiliki solusi lain bagimu.”
Abu
Sufyan kemudian berdiri di masjid dan berkata,
“Wahai manusia, aku telah diberi perlindungan oleh orang-orang!”
Lalu dia naik ontanya dan beranjak pergi.
“Wahai manusia, aku telah diberi perlindungan oleh orang-orang!”
Lalu dia naik ontanya dan beranjak pergi.
Dengan
adanya pengkhianatan ini, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
memerintahkan para shahabat untuk menyiapkan senjata dan perlengkapan perang.
Beliau mengajak semua shahabat untuk menyerang Makkah. Beliau barsabda, “Ya
Allah, buatlah Quraisy tidak melihat dan tidak mendengar kabar hingga aku tiba
di sana secara tiba-tiba.”
Dalam
kisah ini ada pelajaran penting yang bisa dipetik, bahwa kaum muslimin
dibolehkan untuk membatalkan perjanjian damai dengan orang kafir. Namun
pembatalan perjanjian damai ini harus dilakukan seimbang. Artinya tidak boleh
sepihak, tetapi masing-masing pihak tahu sama tahu. Allah berfirman,
وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً
فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ
“Jika
kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka
kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan sama-sama tahu. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (Qs. Al Anfal: 58)
Kisah
Hatib bin Abi Balta’ah radhiyallahu ‘anhu
Untuk
menjaga misi kerahasiaan ini, Rasulullah mengutus satuan pasukan sebanyak 80
orang menuju perkampungan antara Dzu Khasyab dan Dzul Marwah pada awal bulan
Ramadhan. Hal ini beliau lakukan agar ada anggapan bahwa beliau hendak menuju
ke tempat tersebut. Sementara itu, ada seorang shahabat Muhajirin, Hatib bin
Abi Balta’ah menulis surat untuk dikirimkan ke orang Quraisy. Isi suratnya
mengabarkan akan keberangkatan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menuju
Makkah untuk melakukan serangan mendadak. Surat ini beliau titipkan kepada
seorang wanita dengan upah tertentu dan langsung disimpan di gelungannya.
Namun, Allah Dzat Yang Maha Melihat mewahyukan kepada NabiNya tentang apa yang
dilakukan Hatib. Beliau-pun mengutus Ali dan Al Miqdad untuk mengejar wanita
yang membawa surat tersebut.
Setelah
Ali berhasil menyusul wanita tersebut, beliau langsung meminta suratnya. Namun,
wanita itu berbohong dan mengatakan bahwa dirinya tidak membawa surat apapun.
Ali memeriksa hewan tunggangannya, namun tidak mendapatkan apa yang dicari. Ali
radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Aku
bersumpah demi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tidak
bohong. Demi Allah, engkau keluarkan surat itu atau kami akan menelanjangimu.”
Setelah
tahu kesungguhan Ali radhiyallahu ‘anhu, wanita itupun
menyerahkan suratnya kepada Ali bin Abi Thalib.
Sesampainya
di Madinah, Ali langsung menyerahkan surat tersebut kepada Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam. Dalam surat tersebut tertulis nama Hatib bin Abi
Balta’ah. Dengan bijak Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menanyakan
alasan Hatib. Hatib bin Abi Balta’ah pun menjawab:
“Jangan
terburu menuduhku wahai Rasulullah. Demi Allah, aku orang yang beriman kepada
Allah dan RasulNya. Aku tidak murtad dan tidak mengubah agamaku. Dulu aku
adalah anak angkat di tengah Quraisy. Aku bukanlah apa-apa bagi mereka. Di sana
aku memiliki istri dan anak. Sementara tidak ada kerabatku yang bisa melindungi
mereka. Sementara orang-orang yang bersama Anda memiliki kerabat yang bisa
melindungi mereka. Oleh karena itu, aku ingin ada orang yang bisa melindungi
kerabatku di sana.”
Dengan
serta merta Umar bin Al Khattab menawarkan diri,
“Wahai
Rasulullah, biarkan aku memenggal lehernya, karena dia telah mengkhianati Allah
dan RasulNya serta bersikap munafik.”
Rasulullah
shallallahu ‘alahi wa sallam dengan bijak menjawab,
“Sesungguhnya Hatib pernah ikut perang Badar… (Allah berfirman tentang pasukan Badar): Berbuatlah sesuka kalian, karena kalian telah Saya ampuni.”
“Sesungguhnya Hatib pernah ikut perang Badar… (Allah berfirman tentang pasukan Badar): Berbuatlah sesuka kalian, karena kalian telah Saya ampuni.”
Umar
pun kemudian menangis, sambil mengatakan, “Allah dan rasulNya lebih
mengetahui.”
Demikianlah
maksud hati Hatib. Beliau berharap dengan membocorkan rahasia tersebut bisa
menarik simpati orang Quraisy terhadap dirinya, sehingga mereka merasa
berhutang budi terhadap Hatib. Dengan keadaan ini, beliau berharap orang Quraisy
mau melindungi anak dan istrinya di Makkah. Meskipun demikian, perbuatan ini
dianggap sebagai bentuk penghianatan dan dianggap sebagai bentuk loyal terhadap
orang kafir karena dunia. Tentang kisah shahabat Hatib radhiyallahu ‘anhu
ini diabadikan oleh Allah dalam firmanNya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا
تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ
بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ
الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuhKu dan musuhmu sebagai
teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena
rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran
yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu
beriman kepada Allah….” (Qs. Al Mumtahanah: 1)
Satu
pelajaran penting yang bisa kita ambil dari kisah Hatib bin Abi Balta’ah radhiyallahu
‘anhu adalah bahwa sesungguhnya orang yang memberikan loyalitas terhadap
orang kafir sampai menyebabkan ancaman bahaya terhadap Islam, pelakunya
tidaklah divonis kafir, selama loyalitas ini tidak menyebabkan kecintaan karena
agamanya. Pada ayat di atas, Allah menyebut orang yang melakukan tindakan
semacam ini dengan panggilan, “Hai orang-orang yang beriman……” Ini
menunjukkan bahwa status mereka belum kafir.
Pasukan
Islam Bergerak Menuju Makkah
Kemudian,
beliau keluar Madinah bersama sepuluh ribu shahabat yang siap perang. Beliau
memberi Abdullah bin Umi Maktum tugas untuk menggantikan posisi beliau di
Madinah. Di tengah jalan, beliau bertemu dengan Abbas, paman beliau bersama
keluarganya, yang bertujuan untuk berhijrah dan masuk Islam. Kemudian, di suatu
tempat yang disebut Abwa’, beliau berjumpa dengan sepupunya, Ibnul Harits dan
Abdullah bin Abi Umayah. Ketika masih kafir, dua orang ini termasuk diantara
orang yang permusuhannya sangat keras terhadap Nabi shallallahu ‘alahi wa
sallam. Dengan kelembutannya, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
menerima taubat mereka dan masuk Islam.
Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda tentang Ibnul Harits radhiyallahu
‘anhu, “Saya berharap dia bisa menjadi pengganti Hamzah -radhiyallahu
‘anhu-”.
Setelah
beliau sampai di suatu tempat yang bernama Marra Dhahraan, dekat dengan Makkah,
beliau memerintahkan pasukan untuk membuat obor sejumlah pasukan. Beliau juga
mengangkat Umar radhiyallahu ‘anhu sebagai penjaga.
Malam
itu, Abbas berangkat menuju Makkah dengan menaiki bighal (peranakan kuda dan
keledai) milik Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau mencari
penduduk Makkah agar mereka keluar menemui Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
dan meminta jaminan keamanan, sehingga tidak terjadi peperangan di negeri
Makkah. Tiba-tiba Abbas mendengar suara Abu Sufyan dan Budail bin Zarqa’ yang
sedang berbincang-bincang tentang api unggun yang besar tersebut.
“Ada
apa dengan dirimu, wahai Abbas?” tanya Abu Sufyan
“Itu
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam di tengah-tengah orang. Demi
Allah, amat buruklah orang-orang Quraisy. Demi Allah, jika beliau
mengalahkanmu, beliau akan memenggal lehermu. Naiklah ke atas punggung bighal
ini, agar aku dapat membawamu ke hadapan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam,
lalu meminta jaminan keamanan kepada beliau!” jawab Abbas.
Maka,
Abu Sufyan pun naik di belakangku. Kami pun menuju tempat Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam. Ketika melewati obornya Umar bin Khattab, dia pun melihat
Abu Sufyan. Dia berkata,
“Wahai
Abu Sufyan, musuh Allah, segala puji bagi Allah yang telah menundukkan dirimu
tanpa suatu perjanjian-pun. Karena khawatir, Abbas mempercepat langkah
bighalnya agar dapat mendahului Umar. Mereka pun langsung masuk ke tempat
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.
Setelah
itu, barulah Umar masuk sambil berkata, “Wahai Rasulullah, ini Abu Sufyan.
Biarkan aku memenggal lehernya.”
Abbas
pun mengatakan, “Wahai Rasulullah, aku telah melindunginya.”
Rasulullah
shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Kembalilah ke kemahmu wahai
Abbas! Besok pagi, datanglah ke sini!”
Esok
harinya, Abbas bersama Abu Sufyan menemui Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam.
Beliau bersabda,”Celaka wahai Abu Sufyan, bukankah sudah tiba saatnya bagimu
untuk mengetahui bahwa tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain
Allah?”
Abu
Sufyan mengatakan,
“Demi ayah dan ibuku sebagai jaminanmu. Jauh-jauh hari aku sudah menduga, andaikan ada sesembahan selain Allah, tentu aku tidak membutuhkan sesuatu apa pun setelah ini.”
“Demi ayah dan ibuku sebagai jaminanmu. Jauh-jauh hari aku sudah menduga, andaikan ada sesembahan selain Allah, tentu aku tidak membutuhkan sesuatu apa pun setelah ini.”
Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,”Celaka kamu wahai Abu Sufyan,
bukankah sudah saatnya kamu mengakui bahwa aku adalah utusan Allah?”
Abu
Sufyan menjawab,”Demi ayah dan ibuku sebagai jaminanmu, kalau mengenai masalah
ini, di dalam hatiku masih ada sesuatu yang mengganjal hingga saat ini.”
Abbas
menyela, “Celaka kau! Masuklah Islam! Bersaksilah laa ilaaha illa Allah,
Muhammadur Rasulullah sebelum beliau memenggal lehermu!”
Akhirnya
Abu Sufyan-pun masuk Islam dan memberikan kesaksian yang benar.
Tanggal
17 Ramadhan 8 H, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam meninggalkan
Marra Dzahran menuju Makkah. Sebelum berangkat, beliau memerintahkan Abbas
untuk mengajak Abu Sufyan menuju jalan tembus melewati gunung, berdiam di sana
hingga semua pasukan Allah lewat di sana. Dengan begitu, Abu Sufyan bisa melihat
semua pasukan kaum muslimin. Maka Abbas dan Abu Sufyan melewati beberapa
kabilah yang ikut gabung bersama pasukan kaum muslimin. Masing-masing kabilah
membawa bendera. Setiap kali melewati satu kabilah, Abu Sufyan selalu bertanya
kepada Abbas, “Kabilah apa ini?” dan setiap kali dijawab oleh Abbas, Abu Sufyan
senantiasa berkomentar, “Aku tidak ada urusan dengan bani Fulan.”
Setelah
agak jauh dari pasukan, Abu Sufyan melihat segerombolan pasukan besar. Dia
lantas bertanya, “Subhanallah, wahai Abbas, siapakah mereka ini?”
Abbas
menjawab: “Itu adalah Rasulullah bersama muhajirin dan anshar.”
Abu
Sufyan bergumam, “Tidak seorang-pun yang sanggup dan kuat menghadapi mereka.”
Abbas
berkata: “Wahai Abu Sufyan, itu adalah Nubuwah.”
Bendera
Anshar dipegang oleh Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu. Ketika
melewati tempat Abbas dan Abu Sufyan, Sa’ad berkata,
“Hari ini adalah hari pembantaian. Hari dihalalkannya tanah al haram. Hari ini Allah menghinakan Quraisy.”
“Hari ini adalah hari pembantaian. Hari dihalalkannya tanah al haram. Hari ini Allah menghinakan Quraisy.”
Ketika
ketemu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, perkataan Sa’ad ini
disampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau pun
menjawab,
“Sa’ad
keliru, justru hari ini adalah hari diagungkannya Ka’bah dan dimuliakannya Quraisy oleh
Allah.”
Kemudian,
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan agar bendera di tangan
Sa’d diambil dan diserahkan kepada anaknya, Qois. Akan tetapi, ternyata bendera
itu tetap di tangan Sa’d. Ada yang mengatakan bendera tersebut diserahkan ke
Zubair dan ditancapkan di daerah Hajun.
Rasulullah
shallallahu ‘alahi wa sallam melanjutkan perjalanan hingga memasuki Dzi
Thuwa. Di sana Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menundukkan kepalanya
hingga ujung jenggot beliau yang mulia hampir menyentuh pelana. Hal ini sebagai
bentuk tawadlu’ beliau kepada Sang Pengatur alam semesta. Di sini pula, beliau
membagi pasukan. Khalid bin Walid ditempatkan di sayap kanan untuk memasuki
Makkah dari dataran rendah dan menunggu kedatangan Nabi shallallahu ‘alahi
wa sallam di Shafa. Sementara Zubair bin Awwam memimpin pasukan sayap kiri,
membawa bendera Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan memasuki Makkah
melalui dataran tingginya. Beliau perintahkan agar menancapkan bendera di
daerah Hajun dan tidak meninggalkan tempat tersebut hingga beliau datang.
Kemudian,
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memasuki kota Makkah dengan tetap
menundukkan kepala sambil membaca firman Allah:
إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا
“Sesungguhnya
kami memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” (Qs. Al Fath: 1)
Beliau
mengumumkan kepada penduduk Makkah,
“Siapa yang masuk masjid maka dia aman, siapa yang masuk rumah Abu Sufyan maka dia aman, siapa yang masuk rumahnya dan menutup pintunya maka dia aman.”
“Siapa yang masuk masjid maka dia aman, siapa yang masuk rumah Abu Sufyan maka dia aman, siapa yang masuk rumahnya dan menutup pintunya maka dia aman.”
Beliau
terus berjalan hingga sampai di Masjidil Haram. Beliau thawaf dengan menunggang
onta sambil membawa busur yang beliau gunakan untuk menggulingkan
berhala-berhala di sekeliling Ka’bah yang beliau lewati. Saat itu, beliau
membaca firman Allah:
جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ
الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
“Yang
benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu
adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (Qs. Al-Isra’: 81)
جَاءَ الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ
وَمَا يُعِيدُ
“Kebenaran
telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan
mengulangi.”
(Qs. Saba’: 49)
Kemudian,
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memasuki Ka’bah. Beliau melihat ada
gambar Ibrahim bersama Ismail yang sedang berbagi anak panah ramalan.
Beliau
bersabda, “Semoga Allah membinasakan mereka. Demi Allah, sekali-pun Ibrahim
tidak pernah mengundi dengan anak panah ini.”
Kemudian,
beliau perintahkan untuk menghapus semua gambar yang ada di dalam Ka’bah.
Kemudian, beliau shalat. Seusai shalat beliau mengitari dinding bagian dalam
Ka’bah dan bertakbir di bagian pojok-pojok Ka’bah. Sementara orang-orang
Quraisy berkerumun di dalam masjid, menunggu keputusan beliau shallallahu
‘alahi wa sallam.
Dengan
memegangi pinggiran pintu Ka’bah, beliau bersabda:
“لا إِله إِلاَّ الله وحدَّه لا شريكَ له، لَهُ المُلْكُ وله
الحمدُ وهو على كَلِّ شَيْءٍ قديرٌ، صَدَقَ وَعْدَه ونَصرَ عَبْدَه وهَزمَ
الأحزابَ وحْدَه
“Wahai
orang Quraisy, sesungguhnya Allah telah menghilangkan kesombongan jahiliyah dan
pengagungan terhadap nenek moyang. Manusia dari Adam dan Adam dari tanah.”
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ
مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai
orang Quraisy, apa yang kalian bayangankan tentang apa yang akan aku lakukan
terhadap kalian?”
Merekapun
menjawab, “Yang baik-baik, sebagai saudara yang mulia, anak dari saudara yang
mulia.”
Beliau
bersabda,
“Aku sampaikan kepada kalian sebagaimana perkataan Yusuf kepada saudaranya: ‘Pada hari ini tidak ada cercaan atas kalian. Allah mengampuni kalian. Dia Maha penyayang.’ Pergilah kalian! Sesungguhnya kalian telah bebas!”
“Aku sampaikan kepada kalian sebagaimana perkataan Yusuf kepada saudaranya: ‘Pada hari ini tidak ada cercaan atas kalian. Allah mengampuni kalian. Dia Maha penyayang.’ Pergilah kalian! Sesungguhnya kalian telah bebas!”
Pada
hari kedua, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkhutbah di hadapan
manusia. Setelah membaca tahmid beliau bersabda,
“Sesungguhnya
Allah telah mengharamkan Makkah. Maka tidak halal bagi orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhir untuk menumpahkan darah dan mematahkan batang pohon
di sana. Jika ada orang yang beralasan dengan perang yang dilakukan Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam, maka jawablah: “Sesungguhnya Allah mengizinkan RasulNya shallallahu
‘alahi wa sallam dan tidak mengizinkan kalian. Allah hanya mengizinkan
untukku beberapa saat di siang hari. Hari ini Keharaman Makkah telah kembali
sebagaimana keharamannya sebelumnya. Maka hendaknya orang yang hadir
menyampaikan kepada yang tidak hadir.”
Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam diizinkan Allah untuk berperang di Makkah
hanya pada hari penaklukan kota Makkah dari sejak terbit matahari hingga ashar.
Beliau tinggal di Makkah selama sembilan hari dengan selalu mengqashar shalat dan tidak
berpuasa Ramadhan
di sisa hari bulan Ramadhan.
Sejak
saat itulah, Makkah menjadi negeri Islam, sehingga tidak ada lagi hijrah dari
Makkah menuju Madinah.
Demikianlah
kemenangan yang sangat nyata bagi kaum muslimin. Telah sempurna pertolongan Allah.
Suku-suku arab berbondong-bondong masuk Islam. Demikianlah karunia besar yang
Allah berikan.