MAKALAH PENGANTAR ILMU HADIST
Tuesday, 23 April 2013
Add Comment
HADIST DITINJAU DARI SEGI KUALITAS DAN KUANTITASNYA
BAB I
PENDAHULUAN
Semua umat Islam telah sepakat dengan bulat bahwa Hadits Rasul adalah sumber dan dasar hukum Islam setelah Al – Qur’an, dan umat Islam diwajibkan mengikuti dan mengamalkan hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti dan mengamalkan Al – Qur’an. Al – Qur’an dan hadits merupakan dua sumber hukum pokok syariat Islam yang tetap, dan orang Islam tidak akan mungkin, bisa memahami syariat Islam secara mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid dan seorang ulama pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan mengambil salah satu keduanya. Banyak kita jumpai ayat – ayat Al – Qur’an dan Hadits – hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits merupakan sumber hukum islam selain Al – Qur’an yang wajib diikuti, dan diamalkan baik dalam bentuk perintah maupun larangannya. Hadits itu sendiri secara istilah adalah segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perkataan, segala keadaan, atau perilakunya.
BAB II
PENGGOLONGAN DAN KLASIFIKASI HADITS
Secara konsepsional bahwa hadits itu dari satu segimdapat dibagi menjadi dua, yaitu kuantitas dan kualitas. Yang dimaksud segi kuantitasnya adalah penggolongan hadits ditinjau dari banyaknya rowi yang meriwayatkan hadits. Sedangkan hadits berdasarkan kualitasnya adalah penggolongan hadits dilihat dari aspek diterimanya atau ditolaknya.
2.1 Penggolongan Hadits
Berdasarkan Banyaknya Rawi Para sahabat dalam menerima hadits dari Nabi Muhammad SAW. Terkadang berhadapan langsung dengan sahabat yang jumlahnya sangat banyak karena pada saat nabi sedang memberikan khutbah di hadapan kaum muslimin, kadang hanya beberapa sahabat bahkan juga bisa terjadi hanya satu atau dua orang sahabat saja. Demikian itu terus terjadi dari sahabat ke tabi’in sampai pada generasi yang menghimpun hadits dalam berbagai kitab. Dan sudah barang tentu informasi yang dibawa oleh banyak rowi lebih meyakinkan apabila dibandingkan dengan informasi yang dibawa oleh satu atau dua orang rowi saja. Dari sinilah para ahli hadits membagi hadits menurut jumlah rowinya
1. 2.1.1. Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain
2. Hadits mutawatir merupakan hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang dalam setiap generasi, sejak generasi shahabat sampai generasi akhir (penulis kitab), orang banyak tersebut layaknya mustahil untuk berbohong
3. Tentang seberapa banyak orang yang dimaksud dalam setiap generasi belum terdapat sebuah ketentuan yang jelas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadits mutawatir adalah laporan dari orang-orang yang jumlahnya tidak ditentukan (la yusha ‘adaduhum) yang tidak mungkin mereka bersepakat untuk berbuat dusta mengingat jumlah mereka yang besar (‘adalah) dan tempat tinggal mereka yang beragam
4. Sebagian besar ulama sepakat bahwa hadist mutawatir menimbulkan konsekuensi hukum dan pengetahuan yang positif (yaqin) dan orang yang menyangkalnya dianggap berbelit akalnya dan tidak bermoral
5. Ulama telah menyepakti bahwa hadits ini dapat dijadikan hujjah baik dalam bidang aqidah maupun dalam bidang syari’ah
6. Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir
7. Dapat dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawii hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajib bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (pelibatan pancaindera). Sebuah hadits dapat digolongkan ke dalam hadits mutawatir apabila memenuhi beberapa syarat. Adapun persyaratan tersebut antara lain adalah sebagai berikut
8 : Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi – rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar – benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa – peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta Abu Thayib menentukan sekurang – kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim 9. Ashabus Syafii menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi. Sebagian ulama menetapkan sekurang – kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah SWT tentang orang – orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang – orang kafir sejumlah 200 orang. Seimbang jumalah para perawi, sejak dalam tabaqat (lapisan/ tingkatan) pertama maupun tabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat- syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al – Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya 10. DR. Syamssuddin Arif menyimpulkan bahwa sebuah khabar dapat disebut mutawatir apabila memenuhi syarat sebagai berikut 11: Nara sumbernya harus benar-benar mengetahui apa yang mereka katakannya, sampaikan dan laporkan. Jadi tidak boleh menduga-duga atau apalagi meraba-raba. Mereka harus mengetahui secara pasti dalam arti pernah melihat,menyaksikan,mengalami, dan mendengarnya secara langsung tanpa disertai distorsi, ilusi, dan semacamnya. Jumlah nara sumbernya cukup banyak sehingga tidak mungkin suatu kekeliruan atau kesalahan dibiarkan atau lolos tanpa koreksi. Hadits Mutawatir ada 2 yaitu : Mutawatir Lafdzi yaitu mutawatir redaksinya. Contoh Hadits Mutawatir Lafzi : “Rasulullah SAW berkata, “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka.” Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat 12. Mutawatir Ma’nawi yaitu hadits yang isi serta kandungannyadiriwayatkan secara mutawatir dengan redaksi yang berbeda-beda 13. Contoh hadits mutawatir maknawi adalah : “Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa’ dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari Muslim) Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi : “Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.” Hadits Ahad Hadits Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau sedikit orang yang tidak mencapai derajat masyhur, apalagi mutawatir. Keterikatan manusia terhadap substansi hadits ini sangat dipengaruhi oleh kualitas periwayatannya dan kualitas kesinambungan sanadnya 14. Imam Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad asy- Syaukani menyatakan bahwa kabar wahid atau hadits ahada barau dapat diterima jika sumbernya memenuhi lima syarat sebagai berikut 15: 1. Sumbernya harus seorang mukallaf, yaitu orang yang telah kena kewajiban melaksanakan perintah agama dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu ucapan anak dibawah umur tidak dapat diterima. Sumbernya harus beragama Islam. Konsekuensinya, tidak dapat diterima khabar atau cerita dari orang kafir. Nara sumber harus memiliki integritas moral pribadi yang menunjukkan ktakwaan dan kewibawaan diri (muru’ah) sehingga timbul kepercayaan orang lain kepadanya, termasuk dalam hal ini meninggalkan dosa-dosa kecil. Atas dasar ini orang fasiq secara otomatis tidak mempunyai adalah dan ucapan mereka ditolak. Nara sumber harus memiliki kecermatan dan ketelitian, tidak sembrono dan asal jadi. Nara sumber diharuskan jujur dan terus terang, tidak menyembunyikan sumber rujukan dengan cara apa pun, sengaja maupun tidak sengaja. Di kalangan para ulama ahli hadits terjadi perbedaan pendapat mengenai kedudukan hadits ahad untuk digunakan sebagai landasan hukum. Sebagian ulama ahli hadits berkeyakinan bahwa hadits ahad tidak bisa dijadikan landasan hukum untuk masalah aqidah. Sebab, menurut mereka hadits ahad bukanlah qat’i as-tsubut (pasti ketetapannya). Namun menurut para ahli hadits yang lain dan mayoritas ulama, bahwa hadits ahad wajib diamalkan jika telah memenuhi syarat kesahihan hadits yang telah disepakati. Hadits ahad dibagi menjadi tiga macam, yaitu hadits masyhur, hadits aziz, dan hadits garib. Hadits Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan) 16. Hadits Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir .Hadits Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur). Hadits Garib juga biasa disebut hadits fardun yang artinya sendirian. Ibnu Hajar menganggap bahwa antara garib dan fardun adalah sinonim, baik secara istilah, tetapi kebanyakan para ahli hadits membedakan antara garib dan fardun, yakni istilah fardun merujuk kepada garib mutlak, sedangkan istilah garib dipakai pada garib nisbi. Hal ini sesuai dengan pengklasifikasian hadits garib yang memang menjadi dua bagian, yaitu: Hadits Garib Mutlak (fardun) Hadits garib mutlak yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu rowi secara sendirian. Kesendirian rowi itu terdapat pada generasi tabi’in atau pada generasi setelah tabi’in, dan bisa juga terjadi pada setiap tingkatan sanadnya. Hadits Garib Nisbi Yang termasuk sebagai hadits garib nisbi yaitu rowi hadits tersebut sendirian dalam hal sifat ataupun keadaan tertentu. Kesendirian dalam hal sifat atau keadaan rawi mempunyai tiga kemungkinan yaitu, sendirian dalam hal keadilan dan kedabitan, sendirian dalam hal tempat tinggal, sendirian dalam hal rawi 17. 2.2 Klasikfikasi Hadits Berdasarkan Diterima dan Ditolaknya (Kualitas) Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, da’if dan maudu’. Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut: Sanadnya bersambung; Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya; Haditsnya musnad, maksudnya hadits tersebut disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW; Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yang mencacatkan hadits (tidak ada ‘illah). Hadits Hasan, bila hadits yang tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat. Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal) dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat. Hadits Maudu’, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.
B. DARI SEGI KUALITAS SANAD DAN MATAN HADIS
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-rendahnya suatu hadis. Bila dua buah hadis menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi. Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi pendusta. Artinya : “Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan.” Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat pulu orang, bahkan ada yang membatasi cukup dengan empat orang pertimbangan bahwa saksi zina itu ada empat orang. Kata-kata (dari sejumlah rawi yng semisal dan seterusnya sampai akhir sanad) mengecualikan hadis ahad yang pada sebagian tingkatannya terkadang diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir. Contoh hadis : Artinya : “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya.” Awal hadis tersebut adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir. Maka hadis yang demikian bukan termsuk hadis mutawatir. Kata-kata (dan sandaran mereka adalah pancaindera) seperti sikap dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para sahabat menyatakan; “kami melihat Nabi SAW berbuat begini”. Dengan demikian mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal, seperti pernyataan tentang keesaan firman Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan bahwa satu itu separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah akal bukan berita. Bila dua hadis memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadis yang matannya seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-quran. Tingkatan{martabat) hadis ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau palsunya hadis berasal dari Rasulullah. Hadis yang tinggi tingkatannya berarti hadis yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf dugaan tentang benarnya hadis itu berasal Rasulullah SAW. Hadis yang rendah tingkatannya berarti hadis yang rehdah taraf kepastiannya atau taraf dugaan tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadis sebagai sumber hukum atau sumber Islam. Para ulama membagi hadis ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadis sahih, hadis hasan, dan hadis daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan, jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan matan dalam menentukan pembagian hadis-hadis tersebut menjadi hadis sahih, hasan, dan daif. 1. Hadis Sahih Hadis sahih menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis yng benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadis sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain : Artinya : “Hadis sahih adalah hadis yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit.” Keterangan lebih luas mengenai hadis sahih diuraikan pada bab tersendiri. 2. Hadis Hasan Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah : “yang kami sebut hadis hasan dalam kitab kami adalah hadis yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan hadisnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadis yang demikian kami sebut hadis hasan.” 3. Hadis Daif Hadis daif menurut bahasa berarti hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama memberi batasan bagi hadis daif : Yang Artinya : “Hadis daif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis hasan.” Jadi hadis daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadis hasan. Pada hadis daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
MAKNA PERNYATAAN ULAMA’ TENTANG SHAHIHUL ISNAD DAN ASHAHHU SYAI’IN FI AL-BAB
Dari uraian diatas kita bisa mengetahui, bahwa hadits yang memenui kelima syarat diatas dinilai shahih. Dan ulama’ menilai wajib mengamalkannya. Akan tetapi para kritikus hadits lebih memilih sebutan ’’ hadits shohihul isnad “ dari pada sebutan “hadits shohih”, karena kawatir matannya syadz atau mu’allal, sehinga yang shohih hanya sanadnya. Dalam kondisi seperti ini tidak ada kelaziman hubungan antara keshahihin sanad keshahihan matan. Syaikhul Islam Ibn Hajar mengatakan, yang tidak syak lagi adalah seorang imam diantara mereka tidak berlih dengan sebutan ”shahih” kesebutan “shahihul isnad”, kecuali karna alas an tertuntu.8 namun bila yang mengatakan itu adalah perowi yang hafidz lagi bias dipercaya, tanpa menyebut ‘illah qodihah terhadap hadits bersngkutan, maka jelas menunjukkan keshahihan pula.9 Sebagian para ulama’ muta’akhirin ketika menshahihkan sebagian hadits akan mengetakan “shahihul isnad”. Hal ini disebabkan oleh kewira’ian dan kehati-hatian mereka. Namun kita tidak perlu ragu, bahwa yang mereka maksud adalah hadits shahih. Peran At-Tabi' dalam analisis kualitas Sanad Sebelum kita mengetahui lebih jauh peran mutabi' terhadap kualitas sebuah hadits. Sebaiknya kita terlebuh dahulu mengetahui apakah pengertian at tabi'. Mutabi' merupakan isim fa'il taba'a yang berarti mengikuti. Sedangkan pengertian terminologinya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang berkapasitas sebagai al- mukhorij al- hadits. Di mana hadits itu sesuai dengan hadits yang yang diriwayatkan oleh perawinya. Sedangkan al-mukhorij itu meriwayatkan dari guru perawi pertama atau dari guru-gurunya perawi. Pengertian lain mutabi' adalah hadits yang rowinya itu ada kesesuaian dengan rowi lain yang berkapasitas sebagi mukharriij al hadits. Di mana rawi kedua meriwayatkan dari guru rawi pertama atau dari guru-gurunya rawi pertama. Posisi mutabi' sangat berpengaruh terhadap kualitas sebuah hadits. Karena ketika ada sebuah hadits yang kurang dari segi sanad, sehingga tidak bisa dapat dikategorikan sebagai hadits shohih maupun hadits hasan, maka ketika ditemukan hadits yang sama dari jalur lain, posisi hadits yang pertama bisa kuat dan naik menjadi hadits shohih lighoirihi atau hasan lighoirihi.. Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Syafii dari Malik dari Abdullah bin Umar dari Ibn Umar dari Nabi ألشهر تسع وعشرون فلا تصوم حتى تروا الهلال ولاتفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين يوما Hadits ini dinilai ghorib karena diduga hanya diriwayatkan oleh Syafi’i dari Malik. Akan tetapi ditemukan hadits lain yang sama dan diriwayatkan dari Abdullah bin Maslamah al-Qo'nabi dengan jalur sanad yang sama. Tsiqah adalah seseorang yang mempunyai sifat 'adil dan dlobid artinya tidak diragukan kualitas moral maupun intelektualnya.
HADIST HASAN
Definisi hadis hasan Hadits hasan adalah hadits yang memenuhi syarat –syarat hadits shohih seluruhnya, hanya saja semua perowinya atau sebagian kedhobitannya lebih sedikit disbanding kedhobitan para perawi hadits shohih. Hadits yang muttasil yang diriwayat kan oleh perawi yang adil yang lebih renda kedhobitannya tanpa syat dan tanpa illat. Dari sini jelaslah perbedaan hadits shahih dan hadits hasan, yaitu bahwa dalam hadits shahih disyaratkan dhabit dan sempurna, sedangkan dalam hasan disyaratkan dhabit dasar. Jenis –Jenis Hadits Hasan Hadits hasan ada dua jenis, yaitu hasan lidzatihi dan hasan lighairihi. Hasan lidhatihi adalah hadits yang diiwayatkan oleh orang adil, yang kurang kuat ingatannya, bersambung- sambung sanadnya, tidak mengandung cacat dan tidak ada kejanggalan.
HASAN LIGHOIRIHI
Hadits hasan lighairi adalah hadits yang sanadnya tidak sepi dari seorang yang tidak jelas perilakunya atau kurang baik hafalannya dan lain –lainnya. Hadits hasan lighairi ini harus memenuhi tiga syarat: Bukan pelupa yang banyak salahnya dalam hadits yang diriwayatkan. Tidak tampak dalam kefasikakarena dan pada diri perawinya. Hadits yang diriwayatkan benar-benar telah dikenal luas, karena ada periwayatan yang serupa dengannya atau semakna, yang diriwayatkan dari satu jalur lain atau lebih. Kududukan Hadits Hasan Tingkatan hadits hasan berada sedikit dibawah tingkatan hadits shahih, tetapi para ulama berbeda pendapat tentang kududukannya sebagai sumber ajaran islam atau sebagai hujjah dalam bidang hukum apalagi dalam bidang aqidah. Sebaliknya jumhur ulama’ memperlakukan hadits hasan seperti hadits shohih; mereka menerima hadits hadits sebagai hujjahatau sumber agama islam, dalam bidang hukum dan moral, atau dalam bidang aqidah. BAB III KESIMPULAN Hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al – Qur’an. Di dalam Hadits itu sendiri terpata klasifikasi atau penggolongan baik dari segi banyaknya rowi yaitu ada hadits mutawatir dan hadits ahad; dari segi kualitas hadits ada hadits sahih, hadits hasan, hadits daif , dan hadits maudu’ ; dari segi kedudukan dalam hujjah ada hadits maqbul dan hadits mardud; dari segi perkembangan sanadnya ada hadits muttasil dan munqati’.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kusnanto, Najib (2006). Qur’an Hadits Madrasah Aliyah. Sragen : AkikPustaka.
2. Zuhri Muh (2003). Hadits Nabi : Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta : Tiara Wacana.
3. Aghnides, Nicolas (1968). Pengantar Ilmu Hukum Islam. Surakarta.
4. Ahmad, Muhammad (1998). Ulumul Hadits. Bandung : Pustaka Setia.
5. Juanda, Asep (2007). Intisari Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung : Pustaka Setia
BAB I
PENDAHULUAN
Semua umat Islam telah sepakat dengan bulat bahwa Hadits Rasul adalah sumber dan dasar hukum Islam setelah Al – Qur’an, dan umat Islam diwajibkan mengikuti dan mengamalkan hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti dan mengamalkan Al – Qur’an. Al – Qur’an dan hadits merupakan dua sumber hukum pokok syariat Islam yang tetap, dan orang Islam tidak akan mungkin, bisa memahami syariat Islam secara mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid dan seorang ulama pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan mengambil salah satu keduanya. Banyak kita jumpai ayat – ayat Al – Qur’an dan Hadits – hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits merupakan sumber hukum islam selain Al – Qur’an yang wajib diikuti, dan diamalkan baik dalam bentuk perintah maupun larangannya. Hadits itu sendiri secara istilah adalah segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perkataan, segala keadaan, atau perilakunya.
BAB II
PENGGOLONGAN DAN KLASIFIKASI HADITS
Secara konsepsional bahwa hadits itu dari satu segimdapat dibagi menjadi dua, yaitu kuantitas dan kualitas. Yang dimaksud segi kuantitasnya adalah penggolongan hadits ditinjau dari banyaknya rowi yang meriwayatkan hadits. Sedangkan hadits berdasarkan kualitasnya adalah penggolongan hadits dilihat dari aspek diterimanya atau ditolaknya.
2.1 Penggolongan Hadits
Berdasarkan Banyaknya Rawi Para sahabat dalam menerima hadits dari Nabi Muhammad SAW. Terkadang berhadapan langsung dengan sahabat yang jumlahnya sangat banyak karena pada saat nabi sedang memberikan khutbah di hadapan kaum muslimin, kadang hanya beberapa sahabat bahkan juga bisa terjadi hanya satu atau dua orang sahabat saja. Demikian itu terus terjadi dari sahabat ke tabi’in sampai pada generasi yang menghimpun hadits dalam berbagai kitab. Dan sudah barang tentu informasi yang dibawa oleh banyak rowi lebih meyakinkan apabila dibandingkan dengan informasi yang dibawa oleh satu atau dua orang rowi saja. Dari sinilah para ahli hadits membagi hadits menurut jumlah rowinya
1. 2.1.1. Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain
2. Hadits mutawatir merupakan hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang dalam setiap generasi, sejak generasi shahabat sampai generasi akhir (penulis kitab), orang banyak tersebut layaknya mustahil untuk berbohong
3. Tentang seberapa banyak orang yang dimaksud dalam setiap generasi belum terdapat sebuah ketentuan yang jelas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadits mutawatir adalah laporan dari orang-orang yang jumlahnya tidak ditentukan (la yusha ‘adaduhum) yang tidak mungkin mereka bersepakat untuk berbuat dusta mengingat jumlah mereka yang besar (‘adalah) dan tempat tinggal mereka yang beragam
4. Sebagian besar ulama sepakat bahwa hadist mutawatir menimbulkan konsekuensi hukum dan pengetahuan yang positif (yaqin) dan orang yang menyangkalnya dianggap berbelit akalnya dan tidak bermoral
5. Ulama telah menyepakti bahwa hadits ini dapat dijadikan hujjah baik dalam bidang aqidah maupun dalam bidang syari’ah
6. Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir
7. Dapat dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawii hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajib bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (pelibatan pancaindera). Sebuah hadits dapat digolongkan ke dalam hadits mutawatir apabila memenuhi beberapa syarat. Adapun persyaratan tersebut antara lain adalah sebagai berikut
8 : Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi – rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar – benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa – peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta Abu Thayib menentukan sekurang – kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim 9. Ashabus Syafii menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi. Sebagian ulama menetapkan sekurang – kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah SWT tentang orang – orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang – orang kafir sejumlah 200 orang. Seimbang jumalah para perawi, sejak dalam tabaqat (lapisan/ tingkatan) pertama maupun tabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat- syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al – Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya 10. DR. Syamssuddin Arif menyimpulkan bahwa sebuah khabar dapat disebut mutawatir apabila memenuhi syarat sebagai berikut 11: Nara sumbernya harus benar-benar mengetahui apa yang mereka katakannya, sampaikan dan laporkan. Jadi tidak boleh menduga-duga atau apalagi meraba-raba. Mereka harus mengetahui secara pasti dalam arti pernah melihat,menyaksikan,mengalami, dan mendengarnya secara langsung tanpa disertai distorsi, ilusi, dan semacamnya. Jumlah nara sumbernya cukup banyak sehingga tidak mungkin suatu kekeliruan atau kesalahan dibiarkan atau lolos tanpa koreksi. Hadits Mutawatir ada 2 yaitu : Mutawatir Lafdzi yaitu mutawatir redaksinya. Contoh Hadits Mutawatir Lafzi : “Rasulullah SAW berkata, “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka.” Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat 12. Mutawatir Ma’nawi yaitu hadits yang isi serta kandungannyadiriwayatkan secara mutawatir dengan redaksi yang berbeda-beda 13. Contoh hadits mutawatir maknawi adalah : “Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa’ dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari Muslim) Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi : “Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.” Hadits Ahad Hadits Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau sedikit orang yang tidak mencapai derajat masyhur, apalagi mutawatir. Keterikatan manusia terhadap substansi hadits ini sangat dipengaruhi oleh kualitas periwayatannya dan kualitas kesinambungan sanadnya 14. Imam Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad asy- Syaukani menyatakan bahwa kabar wahid atau hadits ahada barau dapat diterima jika sumbernya memenuhi lima syarat sebagai berikut 15: 1. Sumbernya harus seorang mukallaf, yaitu orang yang telah kena kewajiban melaksanakan perintah agama dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu ucapan anak dibawah umur tidak dapat diterima. Sumbernya harus beragama Islam. Konsekuensinya, tidak dapat diterima khabar atau cerita dari orang kafir. Nara sumber harus memiliki integritas moral pribadi yang menunjukkan ktakwaan dan kewibawaan diri (muru’ah) sehingga timbul kepercayaan orang lain kepadanya, termasuk dalam hal ini meninggalkan dosa-dosa kecil. Atas dasar ini orang fasiq secara otomatis tidak mempunyai adalah dan ucapan mereka ditolak. Nara sumber harus memiliki kecermatan dan ketelitian, tidak sembrono dan asal jadi. Nara sumber diharuskan jujur dan terus terang, tidak menyembunyikan sumber rujukan dengan cara apa pun, sengaja maupun tidak sengaja. Di kalangan para ulama ahli hadits terjadi perbedaan pendapat mengenai kedudukan hadits ahad untuk digunakan sebagai landasan hukum. Sebagian ulama ahli hadits berkeyakinan bahwa hadits ahad tidak bisa dijadikan landasan hukum untuk masalah aqidah. Sebab, menurut mereka hadits ahad bukanlah qat’i as-tsubut (pasti ketetapannya). Namun menurut para ahli hadits yang lain dan mayoritas ulama, bahwa hadits ahad wajib diamalkan jika telah memenuhi syarat kesahihan hadits yang telah disepakati. Hadits ahad dibagi menjadi tiga macam, yaitu hadits masyhur, hadits aziz, dan hadits garib. Hadits Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan) 16. Hadits Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir .Hadits Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur). Hadits Garib juga biasa disebut hadits fardun yang artinya sendirian. Ibnu Hajar menganggap bahwa antara garib dan fardun adalah sinonim, baik secara istilah, tetapi kebanyakan para ahli hadits membedakan antara garib dan fardun, yakni istilah fardun merujuk kepada garib mutlak, sedangkan istilah garib dipakai pada garib nisbi. Hal ini sesuai dengan pengklasifikasian hadits garib yang memang menjadi dua bagian, yaitu: Hadits Garib Mutlak (fardun) Hadits garib mutlak yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu rowi secara sendirian. Kesendirian rowi itu terdapat pada generasi tabi’in atau pada generasi setelah tabi’in, dan bisa juga terjadi pada setiap tingkatan sanadnya. Hadits Garib Nisbi Yang termasuk sebagai hadits garib nisbi yaitu rowi hadits tersebut sendirian dalam hal sifat ataupun keadaan tertentu. Kesendirian dalam hal sifat atau keadaan rawi mempunyai tiga kemungkinan yaitu, sendirian dalam hal keadilan dan kedabitan, sendirian dalam hal tempat tinggal, sendirian dalam hal rawi 17. 2.2 Klasikfikasi Hadits Berdasarkan Diterima dan Ditolaknya (Kualitas) Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, da’if dan maudu’. Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut: Sanadnya bersambung; Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya; Haditsnya musnad, maksudnya hadits tersebut disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW; Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yang mencacatkan hadits (tidak ada ‘illah). Hadits Hasan, bila hadits yang tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat. Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal) dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat. Hadits Maudu’, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.
B. DARI SEGI KUALITAS SANAD DAN MATAN HADIS
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-rendahnya suatu hadis. Bila dua buah hadis menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi. Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi pendusta. Artinya : “Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan.” Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat pulu orang, bahkan ada yang membatasi cukup dengan empat orang pertimbangan bahwa saksi zina itu ada empat orang. Kata-kata (dari sejumlah rawi yng semisal dan seterusnya sampai akhir sanad) mengecualikan hadis ahad yang pada sebagian tingkatannya terkadang diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir. Contoh hadis : Artinya : “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya.” Awal hadis tersebut adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir. Maka hadis yang demikian bukan termsuk hadis mutawatir. Kata-kata (dan sandaran mereka adalah pancaindera) seperti sikap dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para sahabat menyatakan; “kami melihat Nabi SAW berbuat begini”. Dengan demikian mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal, seperti pernyataan tentang keesaan firman Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan bahwa satu itu separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah akal bukan berita. Bila dua hadis memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadis yang matannya seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-quran. Tingkatan{martabat) hadis ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau palsunya hadis berasal dari Rasulullah. Hadis yang tinggi tingkatannya berarti hadis yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf dugaan tentang benarnya hadis itu berasal Rasulullah SAW. Hadis yang rendah tingkatannya berarti hadis yang rehdah taraf kepastiannya atau taraf dugaan tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadis sebagai sumber hukum atau sumber Islam. Para ulama membagi hadis ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadis sahih, hadis hasan, dan hadis daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan, jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan matan dalam menentukan pembagian hadis-hadis tersebut menjadi hadis sahih, hasan, dan daif. 1. Hadis Sahih Hadis sahih menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis yng benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadis sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain : Artinya : “Hadis sahih adalah hadis yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit.” Keterangan lebih luas mengenai hadis sahih diuraikan pada bab tersendiri. 2. Hadis Hasan Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah : “yang kami sebut hadis hasan dalam kitab kami adalah hadis yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan hadisnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadis yang demikian kami sebut hadis hasan.” 3. Hadis Daif Hadis daif menurut bahasa berarti hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama memberi batasan bagi hadis daif : Yang Artinya : “Hadis daif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis hasan.” Jadi hadis daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadis hasan. Pada hadis daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
MAKNA PERNYATAAN ULAMA’ TENTANG SHAHIHUL ISNAD DAN ASHAHHU SYAI’IN FI AL-BAB
Dari uraian diatas kita bisa mengetahui, bahwa hadits yang memenui kelima syarat diatas dinilai shahih. Dan ulama’ menilai wajib mengamalkannya. Akan tetapi para kritikus hadits lebih memilih sebutan ’’ hadits shohihul isnad “ dari pada sebutan “hadits shohih”, karena kawatir matannya syadz atau mu’allal, sehinga yang shohih hanya sanadnya. Dalam kondisi seperti ini tidak ada kelaziman hubungan antara keshahihin sanad keshahihan matan. Syaikhul Islam Ibn Hajar mengatakan, yang tidak syak lagi adalah seorang imam diantara mereka tidak berlih dengan sebutan ”shahih” kesebutan “shahihul isnad”, kecuali karna alas an tertuntu.8 namun bila yang mengatakan itu adalah perowi yang hafidz lagi bias dipercaya, tanpa menyebut ‘illah qodihah terhadap hadits bersngkutan, maka jelas menunjukkan keshahihan pula.9 Sebagian para ulama’ muta’akhirin ketika menshahihkan sebagian hadits akan mengetakan “shahihul isnad”. Hal ini disebabkan oleh kewira’ian dan kehati-hatian mereka. Namun kita tidak perlu ragu, bahwa yang mereka maksud adalah hadits shahih. Peran At-Tabi' dalam analisis kualitas Sanad Sebelum kita mengetahui lebih jauh peran mutabi' terhadap kualitas sebuah hadits. Sebaiknya kita terlebuh dahulu mengetahui apakah pengertian at tabi'. Mutabi' merupakan isim fa'il taba'a yang berarti mengikuti. Sedangkan pengertian terminologinya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang berkapasitas sebagai al- mukhorij al- hadits. Di mana hadits itu sesuai dengan hadits yang yang diriwayatkan oleh perawinya. Sedangkan al-mukhorij itu meriwayatkan dari guru perawi pertama atau dari guru-gurunya perawi. Pengertian lain mutabi' adalah hadits yang rowinya itu ada kesesuaian dengan rowi lain yang berkapasitas sebagi mukharriij al hadits. Di mana rawi kedua meriwayatkan dari guru rawi pertama atau dari guru-gurunya rawi pertama. Posisi mutabi' sangat berpengaruh terhadap kualitas sebuah hadits. Karena ketika ada sebuah hadits yang kurang dari segi sanad, sehingga tidak bisa dapat dikategorikan sebagai hadits shohih maupun hadits hasan, maka ketika ditemukan hadits yang sama dari jalur lain, posisi hadits yang pertama bisa kuat dan naik menjadi hadits shohih lighoirihi atau hasan lighoirihi.. Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Syafii dari Malik dari Abdullah bin Umar dari Ibn Umar dari Nabi ألشهر تسع وعشرون فلا تصوم حتى تروا الهلال ولاتفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين يوما Hadits ini dinilai ghorib karena diduga hanya diriwayatkan oleh Syafi’i dari Malik. Akan tetapi ditemukan hadits lain yang sama dan diriwayatkan dari Abdullah bin Maslamah al-Qo'nabi dengan jalur sanad yang sama. Tsiqah adalah seseorang yang mempunyai sifat 'adil dan dlobid artinya tidak diragukan kualitas moral maupun intelektualnya.
HADIST HASAN
Definisi hadis hasan Hadits hasan adalah hadits yang memenuhi syarat –syarat hadits shohih seluruhnya, hanya saja semua perowinya atau sebagian kedhobitannya lebih sedikit disbanding kedhobitan para perawi hadits shohih. Hadits yang muttasil yang diriwayat kan oleh perawi yang adil yang lebih renda kedhobitannya tanpa syat dan tanpa illat. Dari sini jelaslah perbedaan hadits shahih dan hadits hasan, yaitu bahwa dalam hadits shahih disyaratkan dhabit dan sempurna, sedangkan dalam hasan disyaratkan dhabit dasar. Jenis –Jenis Hadits Hasan Hadits hasan ada dua jenis, yaitu hasan lidzatihi dan hasan lighairihi. Hasan lidhatihi adalah hadits yang diiwayatkan oleh orang adil, yang kurang kuat ingatannya, bersambung- sambung sanadnya, tidak mengandung cacat dan tidak ada kejanggalan.
HASAN LIGHOIRIHI
Hadits hasan lighairi adalah hadits yang sanadnya tidak sepi dari seorang yang tidak jelas perilakunya atau kurang baik hafalannya dan lain –lainnya. Hadits hasan lighairi ini harus memenuhi tiga syarat: Bukan pelupa yang banyak salahnya dalam hadits yang diriwayatkan. Tidak tampak dalam kefasikakarena dan pada diri perawinya. Hadits yang diriwayatkan benar-benar telah dikenal luas, karena ada periwayatan yang serupa dengannya atau semakna, yang diriwayatkan dari satu jalur lain atau lebih. Kududukan Hadits Hasan Tingkatan hadits hasan berada sedikit dibawah tingkatan hadits shahih, tetapi para ulama berbeda pendapat tentang kududukannya sebagai sumber ajaran islam atau sebagai hujjah dalam bidang hukum apalagi dalam bidang aqidah. Sebaliknya jumhur ulama’ memperlakukan hadits hasan seperti hadits shohih; mereka menerima hadits hadits sebagai hujjahatau sumber agama islam, dalam bidang hukum dan moral, atau dalam bidang aqidah. BAB III KESIMPULAN Hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al – Qur’an. Di dalam Hadits itu sendiri terpata klasifikasi atau penggolongan baik dari segi banyaknya rowi yaitu ada hadits mutawatir dan hadits ahad; dari segi kualitas hadits ada hadits sahih, hadits hasan, hadits daif , dan hadits maudu’ ; dari segi kedudukan dalam hujjah ada hadits maqbul dan hadits mardud; dari segi perkembangan sanadnya ada hadits muttasil dan munqati’.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kusnanto, Najib (2006). Qur’an Hadits Madrasah Aliyah. Sragen : AkikPustaka.
2. Zuhri Muh (2003). Hadits Nabi : Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta : Tiara Wacana.
3. Aghnides, Nicolas (1968). Pengantar Ilmu Hukum Islam. Surakarta.
4. Ahmad, Muhammad (1998). Ulumul Hadits. Bandung : Pustaka Setia.
5. Juanda, Asep (2007). Intisari Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung : Pustaka Setia
0 Response to "MAKALAH PENGANTAR ILMU HADIST "
Post a Comment