MAKALAH PENGANTAR ILMU HADIST TENTANG KUALITAS HADIS
Tuesday, 23 April 2013
Add Comment
PEMBAGIAN HADITS SECARA UMUM
Hadits yang dapat dijadikan pegangan adalah
hadits yang dapat diyakini kebenarannya. Untuk mendapatkan hadits tersebut
tidaklah mudah karena hadits yang ada sangatlah banyak dan sumbernya pun
berasal dari berbagai kalangan.
Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau
banyak sedikitnya perawi yang menjadi sumber berita, maka dalam hal ini pada
garis besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni hadits mutawatir dan
hadits ahad.
1. Hadits Mutawatir
a. Ta’rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah
mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan
yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah:
“Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera,
yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil
mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.”
Artinya:
“Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang
diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat
dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak
terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.”
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits
mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada
pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang
terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang
banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita
secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar
hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak
mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian
hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan
keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi
diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau
mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya
dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula
banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian
banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak
mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara
mutawatir.
b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir
apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh
rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera.
Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran
semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya,
dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat)
sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun
rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2. Bilangan para perawi mencapai suatu
jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama
berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat
dusta.
a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya
4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh
hakim.
b. Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5
orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar
Ulul Azmi.
c. Sebagian ulama menetapkan
sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah
difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat
mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah
tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman
Allah:
“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang
yang mengikutimu (menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam
thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits
mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya,
bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak
mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu
Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya
sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa
pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka
kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat
memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan
dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun
hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri
al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi
al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).
c. Faedah Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu
daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang
diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti), dengan
seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau
mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa
penelitian terhadap rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan dan
kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya
mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh
karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits
mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti
tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari
hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang
berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).
d. Pembagian Hadits Mutawatir
Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
1. Hadits Mutawatir Lafzi
Muhadditsin memberi pengertian Hadits
Mutawatir Lafzi antara lain :
“Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi
lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya.”
Pengertian lain hadits mutawatir lafzi
adalah :
“Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi
lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi.”
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :
“Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang
sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk
di neraka.”
Silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah
sebagai berikut :
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits
tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam
kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.
2. Hadits mutawatir maknawi
Hadits mutawatir maknawi adalah :
Artinya :
“Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan
maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum.”
Artinya:
“Hadis yang disepakati penulisannya atas
maknanya tanpa menghiraukan perbedaan pada lafaz.”
Jadi hadis mutawatir maknawi adalah hadis
mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis tersebut,
namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.
Contoh :
Artinya :
“Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua
tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa’ dan beliau
mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya.” (HR.
Bukhari Muslim)
Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di
atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang
berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad,
Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :
Artinya :“Rasulullah SAW mengangkat tangan
sejajar dengan kedua pundak beliau.”
3. Hadis Mutawatir Amali
Hadis Mutawatir Amali adalah :
Artinya :
“Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa
hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa
Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan
itu.”
Contoh :
Kita melihat dimana saja bahwa salat Zuhur
dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa
hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai
sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkannya
demikian.
Di samping pembagian hadis mutawatir
sebagimana tersebut di atas, juga ulama yang membagi hadis mutawatir menjadi 2
(dua) macam saja. Mereka memasukkan hadis mutawatir amali ke dalam mutawatir
maknawi. Oleh karenanya hadis mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi
dan mutawatir maknawi.
2. Hadis Ahad
a. Pengertian hadis ahad
Menurut Istilah ahli hadis, tarif hadis
ahad antara laian adalah:
Artinya:
“Suatu hadis (khabar) yang jumlah
pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita
itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah
tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis
mutawatir: ”
Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:
Artinya:
“Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul
syara-syarat mutawatir.”
b. Faedah hadis ahad
Para ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak Qat’i, sebagaimana hadis
mutawatir. Hadis ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu
diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau
temyata telah diketahui bahwa, hadis tersebut tidak tertolak, dalam arti
maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadis tersebut wajib untuk diamalkan
sebagaimana hadis mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam
berhujjah dengan suatu hadis, ialah memeriksa “Apakah hadis tersebut maqbul
atau mardud”. Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita
tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.
Kemudian apabila telah nyata bahwa hadis
itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang
berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadis itu kita
sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan
salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin
dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita
tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang
nasikh.
Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita
usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang
marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu.
Walhasil, barulah dapat kita dapat
berhujjah dengan suatu hadis, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia
muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.
B. DARI SEGI KUALITAS SANAD DAN MATAN HADIS
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu
hadis bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi,
dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-rendahnya suatu hadis.
Bila dua buah hadis menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka
hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari
hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadis yang diriwayatkan oleh
tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh
dua orang rawi.
Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan
jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat
ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh
rawi yang lemah tingkatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur
lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.
Artinya :
“Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari
kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan.”
Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat
pulu orang, bahkan ada yang membatasi cukup dengan empat orang pertimbangan
bahwa saksi zina itu ada empat orang.
Kata-kata (dari sejumlah rawi yng semisal
dan seterusnya sampai akhir sanad) mengecualikan hadis ahad yang pada sebagian
tingkatannya terkadang diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir.
Contoh hadis :
Artinya :
“Sesungguhnya amal-amal itu tergantung
niatnya.”
Awal hadis tersebut adalah ahad, namun pada
pertengahan sanadnya menjadi mutawatir. Maka hadis yang demikian bukan termsuk
hadis mutawatir.
Kata-kata (dan sandaran mereka adalah
pancaindera) seperti sikap dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau
didengar sabdanya. Misalnya para sahabat menyatakan; “kami melihat Nabi SAW
berbuat begini”. Dengan demikian mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang
disandarkan pada akal, seperti pernyataan tentang keesaan firman Allah dan
mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan bahwa
satu itu separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan
adalah akal bukan berita.
Bila dua hadis memiliki rawi yang sama
keadaan dan jumlahnya, maka hadis yang matannya seiring atau tidak bertentangan
dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang matannya
buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-quran. Tingkatan{martabat) hadis
ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau palsunya hadis
berasal dari Rasulullah.
Hadis yang tinggi tingkatannya berarti
hadis yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf dugaan tentang benarnya
hadis itu berasal Rasulullah SAW. Hadis yang rendah tingkatannya berarti hadis
yang rehdah taraf kepastiannya atau taraf dugaan tentang benarnya ia berasal
dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis menentukan tinggi
rendahnya kedudukan hadis sebagai sumber hukum atau sumber Islam.
Para ulama membagi hadis ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadis sahih,
hadis hasan, dan hadis daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan, jumlah
rawi, keadaan rawi, dan keadaan matan dalam menentukan pembagian hadis-hadis
tersebut menjadi hadis sahih, hasan, dan daif.
1. Hadis Sahih
Hadis sahih menurut bahasa berarti hadis
yng bersih dari cacat, hadis yng benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan
hadis sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :
Artinya :
“Hadis sahih adalah hadis yng susunan
lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hdis
mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit.”
Keterangan lebih luas mengenai hadis sahih
diuraikan pada bab tersendiri.
2. Hadis Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau
baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah :
Artinya :
“yang kami sebut hadis hasan dalam kitab
kami adalah hadis yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadis yang diriwayatkan
melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan
hadisnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang
sederajat. Hadis yang demikian kami sebut hadis hasan.”
3. Hadis Daif
Hadis daif menurut bahasa berarti hadis
yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (keci atau rendah)
tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW.
Para ulama memberi batasan bagi hadis daif :
Artinya :
“Hadis daif adalah hadis yang tidak
menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis
hasan.”
Jadi hadis daif itu bukan saja tidak
memenuhi syarat-syarat hadis sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat
hadis hasan. Pada hadis daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih
besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah
SAW.
C. DARI SEGI KEDUDUKAN DALAM HUJJAH
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu
hadis perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan pemhahasan yang seksama
khususnya hadis ahad, karena hadis tersebut tidak mencapai derajat mutawatir.
Memang berbeda dengan hadis mutawatir yang memfaedahkan ilmu darury, yaitu
suatu keharusan menerima secara bulat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas,
hadis ahad ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi
2 (dua) macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.
a. Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil,
yang diterima, yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul
ialah:
Artinya:
“Hadis yang menunjuki suatu keterangan
bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya.”
Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis maqbul
ini wajib diterima. Sedangkan yang temasuk dalam kategori hadis maqbul adalah:
* Hadis sahih, baik yang lizatihu maupun
yang ligairihi.
* Hadis hasan baik yang lizatihi maupun
yang ligairihi.
Kedua macam hadis tersebut di atas adalah
hadis-hadis maqbul yang wajib diterima, namun demikian para muhaddisin dan juga
ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis yang maqbul itu harus diamalkan,
mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis yang telah dihapuskan hukumnya
disebabkan datangnya hukum atau ketentuan barn yangjugaditetapkan oleh hadis
Rasulullah SAW.
Adapun hadis maqbul yang datang kemudian
(yang menghapuskan)disebut dengan hadis nasikh, sedangkan yang datang terdahulu
(yang dihapus) disebut dengan hadis mansukh. Disamping itu, terdapat pula
hadis-hadis maqbul yang maknanya berlawanan antara satu dengan yang lainnya
yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini hadis yang kuat
disebut dengan hadis rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan hadis marjuh.
Apabila ditinjau dari segi kemakmurannya,
maka hadis maqbul dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni hadis maqbulun bihi dan
hadis gairu ma’mulin bihi.
1. Hadis maqmulun bihi
Hadis maqmulun bihi adalah hadis yang dapat
diamalkan apabila yang termasuk hadis ini ialah:
a. Hadis muhkam, yaitu hadis yang tidak
mempunyai perlawanan
b. Hadis mukhtalif, yaitu dua hadis yang
pada lahimya saling berlawanan yang mungkin dikompromikan dengan mudah
c. Hadis nasih
d. Hadis rajih.
2. Hadis gairo makmulinbihi
Hadis gairu makmulinbihi ialah hadis maqbul
yang tidak dapat diamalkan. Di antara hadis-hadis maqbul yang tidak dapat
diamalkan ialah:
a. Hadis mutawaqaf, yaitu hadis muthalif
yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat ditansihkan dan tidak pula dapat
ditarjihkan
b. Hadis mansuh
c. Hadis marjuh.
B. Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak;
yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf Muhaddisin, hadis mardud ialah :
Artinya:
“Hadis yang tidak menunjuki keterangan yang
kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya,
tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan.”
Ada juga yang menarifkan hadis mardud adalah:
Artinya:
“Hadis yang tidak terdapat di dalamnya
sifat hadis Maqbun.”
Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa
jumhur ulama mewajibkan untuk menerima hadis-hadis maqbul, maka sebaliknya
setiap hadis yang mardud tidak boleh diterima dan tidak boleh diamalkan (harus
ditolak).
Jadi, hadis mardud adalah semua hadis yang
telah dihukumi daif.
D. DARI SEGI PERKEMBANGAN SANADNYA
1. Hadis Muttasil
Hadis muttasil disebutjuga Hadis Mausul.
Artinya:
“Hadis muttasil adalah hadis yang didengar
oleh masing-masing rawinya dari rawi yang di atasnya sampai kepada ujung
sanadnya, baik hadis marfu’ maupun hadis mauquf.”
Kata-kata “hadis yang didengar olehnya”
mencakup pula hadis-hadis yang diriwayatkan melalui cara lain yang telah
diakui, seperti Al-Arz, Al-Mukatabah, dan Al-Ijasah, Al-Sahihah. Dalam definisi
di atas digunakan kata-kata “yang didengar” karena cara penerimaan demikian
ialah cara periwayatan yang paling banyak ditempuh. Mereka menjelaskan,
sehubungan dengan hadis Mu ‘an ‘an, bahwa para ulama Mutaakhirin menggunakan
kata ‘an dalam menyampaikan hadis yang diterima melalui Al-Ijasah dan yang
demikian tidaklah menafikan hadis yang bersangkutan dari batas Hadis Muttasil.
Contoh Hadis Muttasil Marfu’ adalah hadis
yang diriwayatkan oleh Malik; dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah
SAW bersabda:
Artinya: “Orang yang tidak mengerjakan
shalat Asar seakan-akan menimpakan bencana kepada keluarga dan hartanya”
Contoh hadis mutasil maukuf adalah hadis
yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ bahwa ia mendengar Abdullah bin Umar berkata:
Artinya:
“Barang siapa yang mengutangi orang lain
maka tidak boleh menentukan syarat lain kecuali keharusan membayarnya.”
Masing-masing hadis di atas adalah muttasil
atau mausul, karena masing-masing rawinya mendengarnya dari periwayat di
atasnya, dari awal sampai akhir.
Adapun hadis Maqtu yakni hadis yang
disandarkan kepada tabi’in, bila sanadnya bersambung. Tidak diperselisihkan
bahwa hadis maqtu termasuk jenis Hadis muttasil; tetapi jumhur mudaddisin
berkata, “Hadis maqtu tidak dapat disebut hadis mausul atau muttasil secara
mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-kata yang membedakannya dengan Hadis
mausul sebelumnya. Oleh karena itu, mestinya dikatakan “Hadis ini bersambung
sampai kepada Sayid bin Al-Musayyab dan sebagainya “. Sebagian ulama
membolehkan penyebutan hadis maqtu sebagai hadis mausul atau muttasil secara
mutlak tanpa batasan, diikutkan kepada kedua hadis mausul di atas. Seakan-akan
pendapat yang dikemukakan jumhur, yaitu hadis yang berpangkal pada tabi’in
dinamai hadis maqtu. Secara etimologis hadis maqtu’ adalah lawan Hadis mausul.
Oleh karena itu, mereka membedakannya dengan menyadarkannya kepada tabi’in.
2. Hadis Munqati’
Kata Al-Inqita’ (terputus) berasal dari
kata Al-Qat (pemotongan) yang menurut bahasa berarti memisahkan sesuatu dari
yang lain. Dan kata inqita’ merupakan akibatnya, yakni terputus. Kata inqita’
adalah lawan kata ittisal (bersambung) dan Al-Wasl. Yang dimaksud di sini
adalah gugurnya sebagaian rawi pada rangkaian sanad. Para
ulama berbeda pendapat dalam memahami istilah ini dengan perbedaan yang tajam.
Menurut kami, hal ini dikarenakan berkembangnya pemakaian istilah tersebut dari
masa ulama mutaqaddimin sampai masa ulama mutaakhirin.
Definisi Munqati’ yang paling utama adalah
definisi yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, yakni:
Artinya:
“Hadis Munqati adalah setiap hadis yang
tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi SAW, maupun
disandarkan kepada yang lain.”
Hadis yang tidak bersambung sanadnya adalah
hadis yang pada sanadnya gugur seorang atau beberapa orang rawi pada tingkatan
(tabaqat) mana pun. Sehubungan dengan itu, penyusun Al-Manzhumah Al-Baiquniyyah
mengatakan:
Artinya:
Setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya
bagaimanapun keadannya adalah termasuk Hadis Munqati’ (terputus)
persambungannya.”
Demikianlah para ulama Mutaqaddimin
mengklasifikasikan hadis, An-Nawawi berkata, “Klasifikasi tersebut adalah sahih
dan dipilih oleh para fuqaha, Al-Khatib, Ibnu Abdil Barr, dan Muhaddis
lainnya”. Dengan demikian, hadis munqati’ merupakan suatu judul yang umum
yangmencakup segala macam hadis yang terputus sanadnya.
Adapun ahli hadis Mutaakhirin menjadikan
istilah tersebut sebagai berikut:
Artinya:
“Hadis Munqati adalah hadis yang gugur
salah seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat atau beberapa tempat,
dengan catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat tidak lebih dari
seorang dan tidak terjadi pada awal sanad.”
Definisi ini menjadikan hadis munqati’
berbeda dengan hadis-hadis yang terputus sanadnya yang lain. Dengan ketentuan
“Salah seorang rawinya” defnisi ini tidak mencakup hadis mu’dal; dengan
kata-kata, “Sebelum sahabat” definisi ini tidak mencakup hadis mursal; dan
dengan penjelasan kata-kata “Tidak pada awal sanad” definisi ini tidak mencakup
hadis muallaq.
0 Response to "MAKALAH PENGANTAR ILMU HADIST TENTANG KUALITAS HADIS"
Post a Comment