SEJARAH PERADABAN ISLAM TENTANG PERANG SALIB
Sunday, 31 March 2013
Add Comment
DISARIKAN DARI DISKUSI MATA KULIAH SEJARAH PERADABAN ISLAM
Bagi para pemimpin Kristen, kondisi waktu itu sangat tepat untuk memulai serangan ke dunia Islam, karena:
Berikut adalah penyebab terjadinya perang salib menurut beberapa ahli :
- Adanya desakan dinasti Seljuk terhadap posisi dan kedudukan kekuasaan Byzantium Timur di Syam dan Byzantium Barat Asia Kecil. Byzantium merasa semakin terancam setelah Seljuk memenangkan pertempuran yang sangat menentukan di Muzikert pada tahun 1071. Sehingga tidak mengherankan jika Kaisar Byzantium meminta bantuan dari Eropa Barat, termasuk dari Paus yang memiliki kekuasaan besar.
- Faktor agama. Faktor ini cukup dominan dalam mendoktrinkan Perang Salib meskipun persoalannya sebenarnya cukup kompleks. Agama Kristen berkembang pesat di Eropa Barat terutama setelah Paus mengadakan reformasi. Sementara itu, Kristen mendapat saingan agama-agama lain, terutama Islam yang berhasil mengambil alih kekuasaan Byzantium di Timur yang juga menganut agama Kristen seperti Syria, Asia Kecil, dan Spanyol. Spanyol adalah benteng Eropa bagian barat dan Konstantinopel adalah benteng Eropa sebelah timur. Kedua pintu gerbang ini telah digempur kaum muslimin sejak Bani Umayyah, dilanjutkan oleh dinasti Islam 'Abbasyiah, kemudian pemerintahan Seljuk. Oleh karena itu, tidak Eropa pun merasa resah menghadapi perkembangan kekuasaaan Islam yang dianggapnya sebagai pesaing. Sementara itu, pada abad ke-11 kedudukan Paus mulai dianggap penting. Ia menjadi pemimpin semua aliran Kristen, baik di Barat maupun di Timur. Ia berambisi untuk menyatukan semua gereja. Pada waktu itu gereja telah terpecah menjadi gereja Barat dan gereja Timur, itu terjadi setelah Konferensi Rom pada tahun 869 M dan Konferensi Konstantinopel pada tahun 879 M. Paus berusaha menundukkan gereja Ortodox Timur, tetapi pertentangan antara gereja Barat dengan pemerintahan Byzantium menghalangi niat Paus ini. Kesempatan Paus untuk melaksanakan niatnya datang ketika ada permintaan bantuan dari Byzantium untuk menghadapi tekanan Salajiqah dari Parsi. Peluang emas ini dimanfaatkan juga agar Paus muncul sebagai pemimpin tunggal untuk semua penganut ajaran Kristen dalam berjuang melawan kaum muslimin, dan sekaligus bercita-cita menyatukan gereja Timur dan gereja Barat di Byzantium, serta mengembalikan tanah-tanah suci di Palestina.
- Faktor ekonomi. Faktor ini juga turut berperan dalam mendorong terjadinya Perang Salib. Ketika Eropa Barat (terutama Perancis) melancarkan propaganda Perang Salib, negaranya sedang menghadapi krisis ekonomi yang amat parah. Karena itu, sebagian besar golongan rakyat yang miskin dan nomaden menyambut baik seruan ini, bukan karena panggilan agama, tetapi karena kebutuhan pribadi. Buktinya, mereka merampok serta merampas makanan dan harta benda sesama orang Kristen dalam perjalanan menuju Konstantinopel ketika menyerang Jerusalem. Selain itu, saat itu muncul "tiga pelabuhan besar" (Venisia, Genoa, dan Pisa) yang berada di bawah pemerintahan Italiaa, yang terutama memberikan bantuan berupa armada laut. Pemerintah Italiaa bermaksud untuk menguasai dan menduduki pelabuhan-pelabuhan timur dan selatan Mediterania, seperti pelabuhan-pelabuhan di Syam, agar perdagangan Timur dan Barat dapat mereka kuasai. Kepentingan ekonomi ini nampak ketika Tentara Salib mengarahkan serangannya ke Mesir dalam Perang Salib IV.
- Faktor sosial-politik juga memainkan peranan yang dominan dalam konflik Perang Salib ini. Hal itu dapat dilihat dari gejala berikut:
- masyarakat Eropa pada abad pertengahan terbagi atas tiga golongan masyarakat:
i. kelompok agamawan yang terdiri dari
orang-orang gereja dan bangsawan;
ii. kelompok kesatria yang terdiri dari para
bangsawan dan penunggang kuda (knights); dan
iii. kelompok petani dan hamba sahaya.
Dua kelompok pertama merupakan kelompok kecil
yang secara keseluruhan merupakan institusi yang berkuasa dan dipandang dari
segi sosial-politik yang aristokratis, sedangkan kelompok ketiga merupakan
golongan terbesar yang dikuasai oleh kelompok pertama dan kedua, yang harus
bekerja keras terutama untuk memenuhi kepentingan kedua kelompok tersebut.
Karena itu, kelompok ketiga ini secara spontan menyambut baik propaganda Perang
Salib. Bagi mereka, kalau pun ditakdirkan mati, lebih baik mati suci daripada
mati kelaparan dan hina. Kalau bernasib baik, selamat sampai ke Jerusalem,
mereka mempunyai harapan baru: hidup yang lebih baik daripada di negeri
sendiri.
- sistem masyarakat feodal, selain mengakibatkan timbulnya golongan tertindas, juga menimbulkan konflik sosial yang merujuk kepada kepentingan status sosial dan ekonomi, misalnya sebagai berikut :
- Sebagian bangsawan Eropa bercita-cita, dalam kesempatan perang Salib ini, mendapat tanah baru di Timur. Hal ini menarik mereka karena tanah-tanah di Timur subur, iklimnya baik, dan harapan mereka bahwa tanah itu lebih aman dibandingkan dengan di Eropa yang sering terlibat dalam perang saudara. Dalam proses perang Salib nampak bahwa dorongan ini merupakan faktor terlemah Tentara Salib karena timbul persaingan bahkan konflik sesama sendiri.
ii.
Undang-undang masyarakat feodal mengenai warisan menyebabkan sebagian generasi
muda menjadi miskin karena hak waris hanya dimiliki anak sulung. Dengan
mengembara ke Timur, melalui perang Salib, anak-anak muda ini berharap akan
memiliki tanah dan memperolehi kekayaan dari pampasan perang.
iii.
Permusuhan yang terus-menerus antara para penguasa feodal telah melahirkan
tentara-tentara yang kerjanya hanya berperang. Berperang adalah kesukaan
mereka. Ketika propaganda Perang Salib dilancarkan, mereka bangkit untuk
menunjukan kepahlawanan mereka.
iv.
Besarnya kekuasaan Paus pada abad pertengahan yang begitu nyata dan kelemahan
Raja itu sendiri adalah tidak berani untuk menolak permintaan Paus. Jika raja
menolak, gereja akan mencemarkan wibawa raja di mata rakyat. Hal ini terbukti
ketika Raja Frederic II terpaksa turut berperang dengan sedikit tentara, dan
membelok ke Syam ketika ia seharusnya memberikan bantuan ke Mesir. Ia tidak
bersemangat untuk berperang. Ia menghubungi Sultan al-Malik al-Kamil untuk
menerangkan keadaannya bahwa ia tidak membawa misi suci (Perang Salib). Karena
itu, ia memintanya untuk merahasiakan pernyataannya agar tidak diketahui oleh
orang Jerman. Selanjutnya Frederic II mencapai perdamaian dengan Al-Kamil,
suatu perdamaian yang mengecewakan Paus dan pimpinan gereja.
Hampir serupa, Al-Wakil menuliskan bahwa sebab-sebab
yang mendorong orang-orang Kristen terjun ke medan perang selama bertahun-tahun
adalah:
- Penyebab utama perang salib adalah kedengkian orang-orang Kristen kepada Islam dan umatnya. Umat Islam berhasil merebut wilayah-wilayah strategis yang sebelumnya mereka kuasai (terutama di Timur Tengah). Mereka menunggu kesempatan yang tepat untuk meraih apa yang hilang dari tangannya, balas dendam terhadap umat yang mengalahkannya. Kesempatan itu datang ketika umat Islam lemah dan kehilangan jati dirinya yang kuat yang sebelumnya meredam perpecahan dan menyatukan langkah. Para tokoh agamawan Kristen bangkit menyerukan pembersihan tanah-tanah suci di Palestina dari tangan-tangan kaum muslimin dan membangun gereja dan pemerintahan Eropa di dunia Timur. Perang mereka dinamakan perang salib karena tentara-tentara Kristen menjadikan salib sebagai simbol obsesi suci mereka dan meletakkannya di pundak masing-masing.
- Perasaan keagamaan yang kuat. Orang-orang Kristen meyakini kekuatan gereja dan kemampuannya untuk menghapus dosa walau setinggi langit.
- Perlakuan in-toleran orang-orang Saljuk terhadap orang-orang Kristen dan para peziarah Kristen yang menuju Yerusalem. Orang-orang Saljuk adalah penguasa wilayah Turki yang relatif belum lama memeluk Islam dan belum begitu memahami syariat Islam dalam memperlakukan agama lain.
- Ambisi Sri Paus yang ingin menggabungkan gereja Timur (ortodoks) dengan gereja Katolik Roma. Paus ingin menjadikan dunia Kristen seluruhnya menjadi satu negara agama yang dipimpin langsung Sri Paus.
- Kegemaran tokoh-tokoh dan tentara Kristen untuk berpetualang ke negara lain dan mendirikan pemerintahan boneka di sana.
Bagi para pemimpin Kristen, kondisi waktu itu sangat tepat untuk memulai serangan ke dunia Islam, karena:
- Ada kelemahan dinasti Saljuk, sehingga “front” terdepan dunia Islam terpecah belah.
- Tidak adanya orang kuat yang menyatukan perpecahan umat Islam. Khilafah de facto terbagi sedikitnya menjadi tiga negara: Abbasiyah di Bagdad, Umayah di Cordoba dan Fathimiyah di Kairo.
- Beberapa kabilah pesisir telah masuk agama Kristen seperti Genoa dan Venezia, dan ini memuluskan jalan antara Eropa dan negara-negara Timur.
- Kemenangan Sri Paus atas raja sehingga Sri Paus memiliki kekuatan mengendalikan para raja dan gubernur di Eropa.4
Fakta-fakta Perang Salib
Sampai abad ke-11 M, di bawah pemerintahan
kaum Muslimin, Palestina merupakan kawasan yang tertib dan damai. Orang-orang
Yahudi, Nasrani, dan Islam hidup bersama. Jerusalem merupakan kota Suci bagi
ketiga agama samawi yakni Islam, Yahudi dan Kristen. Di dalam kota inilah
letaknya Masjid Al-Aqsa yang dibangun oleh Nabi Sulaiman dan menjadi Kiblat
pertama umat Islam sebelum beralih ke Kabah di Mekah. Ketika Nabi Muhammad SAW
Isra', singgah dan solat di masjid ini sebelum Mi'raj ke langit. Nabi Isa AS
juga dilahirkan di Baitullaham berdekatan kota Jerusalem ini.
Di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab
(13-23 H/ 634-644 M) Jerusalem dapat direbut oleh kaum Muslimin dari tangan
Kekaisaran Byzantium (Romawi Timur) dalam suatu penyerahan kuasa secara damai.
Khalifah Umar sendiri datang ke Jerusalem untuk menerima penyerahan kota Suci
itu atas desakan dan persetujuan Bishop Agung Sophronius. Berabad-abad lamanya
kota itu berada di bawah kekuasaan Islam, tapi penduduknya bebas memeluk agama
dan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing tanpa ada gangguan. Orang-orang
Kristen dari seluruh dunia juga bebas datang untuk melaksanakan ziarah di Kota
Suci Jerusalem itu dan menjalankan upacara keagamaannya. Orang-orang Kristen
dari segenap pelosok Eropa datang berziarah dalam jumlah rombongan yang besar
dengan membawa obor dan pedang seperti tentara hendak berperang. Sebagian dari
mereka mempermainkan pedang dengan dikelilingi pasukan gendang dan seruling
serta diiringi oleh pasukan bersenjata lengkap.
Sebelum Jerusalem dikuasai Kekaisaran Turki
Seljuk pada tahun 1070, upacara seperti itu dibiarkan saja oleh umat Islam,
karena dasar toleransi dan menghormati kebebasan beragama. Namun ketika
Kekaisaran Turki Seljuk memerintah, upacara seperti itu tidak diperbolehkan lagi,
dengan alasan keselamatan. Kemungkinan karena upacara tersebut semakin
berbahaya. Terlebih lagi kelompok-kelompok yang turut andil dalam upacara itu
sering menimbulkan kegaduhan dan huruhara. Disebutkan bahwa pada tahun 1064
Bishop memimpin pasukan sejumlah 7000 orang penziarah yang terdiri dari
kumpulan bangsawan (baron) dan para pahlawan yang telah menyerang orang-orang
Arab dan Turki.
Hal tersebut membuat Kekaisaran Turki Seljuk
melakukan pertimbangan dengan menjadikan larangan tersebut demi keselamatan
penziarah Kristen itu sendiri. Namun ternyata tindakan ini mendapat tanggapan
yang salah dari orang-orang Eropa. Para pemimpin agama mereka telah mendapat
kesan bahwa kebebasan agamanya telah dinodai oleh orang-orang Islam dan
menyerukan agar Tanah Suci itu dibebaskan dari genggaman umat Islam.
Kedamaian di
kota itupun seolah lenyap ditelan bumi begitu Tentara Salib datang
melakukan invasi. Secara keseluruhan perang salib berlangsung selama hampir dua
abad, dengan momen-momen penting sebagai berikut:
Bermula
ketika orang-orang Seljuk (orang-orang Turki yang baru saja memeluk Islam) dari
kekhalifahan Turki Utsmani melakukan ekspansi ke wilayah sekitar yang
mengundang kegelisahan Kekaisaran Byzantium, tetangganya. Terlebih lagi setelah
mereka berhasil merebut Anatolia (Asia Kecil, sekarang termasuk wilayah Turki)
dari tangan Spanyol dan negeri-negeri milik Byzantium Kristen dari kekuasaan
sang Kaisar, Alexius I. Petinggi kaum Kristen itu dan para raja Eropa lainnya
segera minta tolong kepada Paus Urbanus II (1088-1099) guna merebut kembali
wilayah mereka dari cengkeraman kaum yang mereka sebut “orang kafir”, pada
bulan Maret 1095, saat Paus sedang mengadakan persidangan kepausannya di
Piacenza yang dihadiri oleh duta besar dari Konstantinopel. Ditambah lagi
dengan kondisi pada awal abad ke-13, dimana Gereja Katolik Roma berada pada
situasi yang tidak menentu. Di satu sisi institusi ini terancam oleh banyaknya
korupsi di dalam strukturnya. Di sisi lain dihadapkan dengan menurunnya
popularitas pengajaran Paulicia. Perhatiannya kemudian terbagi dan tercurah
pada keterlibatannya dalam Perang Salib. Tindakan utamanya adalah menghentikan
pertumbuhan pesat Islam dan merebut kembali Jerusalem: para pemimpin Vatikan
melihat banyak kemiripan antara Islam dan Unitarianisme yang diajarkan oleh
Arius. Keduanya percaya pada satu Tuhan. Keduanya mengakui Jesus (Isa) sebagai
Nabi yang masih merupakan manusia. Keduanya percaya pada Maria sang Perawan
(Siti Maryam) dan pada konsep kesempurnaan Jesus dan Jiwa Suci (Holy Spirit)
namun menolak keTuhanan yang ditujukan kepadanya. Sehingga kebencian terhadap
orang-orang Aria diarahkan kepada kaum Muslim. Melihat Perang Salib melalui
perspektif ini mereka tidak lagi melihatnya sebagai fenomena tertutup dari
sejarah Gereja, namun meluas menjadi pembantaian kaum Aria oleh gereja Pauline.5
Paus Urbanus
II segera memutuskan untuk mengadakan ekspedisi besar-besaran yang ambisius (25
November 1095). Tekad itu makin membara setelah Paus menerima laporan bahwa
Khalifah Abdul Hakim—yang menguasai Palestina saat itu—menaikkanpajak ziarah ke
Palestina bagi orang-orang Kristen Eropa. “Ini perampokan! Oleh karena itu,
tanah suci Palestina harus direbut kembali,” kata Paus.
Perang
melawan kaum Muslimin diumumkan secara resmi pada tahun 1096 oleh Takhta Suci
Roma. Paus juga mengirim surat ke semua raja di seluruh Eropa untuk ikut serta.
Mereka dijanjikan kejayaan, kesejahteraan, emas, dan tanah di Palestina, serta
surga bagi para ksatria yang mau berperang. Mereka juga dijanjikan diampuni
dosanya walaupun sangat berat. Praktek pemberian dispensasi dosa ini telah
diterapkan sejak abad kelima oleh Gereja Katolik. Dengan imbalan sejumlah uang
Paus akan menjamin lisensi untuk mengijinkan tindakan yang sebetulnya ilegal.
Paus juga
meminta anggota Konsili Clermont di Prancis Selatan—terdiri atas para uskup,
kepala biara, bangsawan, ksatria, dan rakyat sipil—untuk memberikan bantuan.
Paus menyerukan agar bangsa Eropa yang bertikai segera bersatu padu untuk
mengambil alih tanah suci Palestina. Hadirin menjawab dengan antusias, “Deus
Vult!” (Tuhan menghendakinya!)6
Dari
pertemuan terbuka itu ditetapkan juga bahwa mereka akan pergi perang dengan
memakai salib di pundak dan baju. Dari sinilah bermula sebutan Perang Salib
(Crusade). Paus sendiri menyatakan ekspedisi ini sebagai “Perang Demi Salib”
untuk merebut tanah suci. Dalam khotbahnya: "Christ himself will be your
leader.. Wear his cross as your badge. If you are killed your sins will be
pardoned.. Let those who have been fighting against their own brothers and
kinsfolk now fight lawfully against the barbarians." Seruan Paus adalah
yang paling berpengaruh, hal ini karena di Eropa kekuasaan Paus di atas para
Raja. Peran kepemimpinan para pendeta juga besar, karena sebagai bawahan Paus,
merekalah yang menggerakkan kegiatan Paus. Sambutan ini juga memberi kesempatan
bagi Paus untuk merebut kembali Jerusalem di pantai timur Laut Mediterania, yang merupakan tanah suci bagi kaum
Kristen, Yahudi, dan Muslim, namun pada tahun 1095 dikuasai oleh Muslim.7 Selain itu Paus memang berinisiatif mempersatukan dunia Kristen (yang
saat itu terbelah antara Romawi Barat di Roma dan Romawi Timur atau Byzantium
di Konstantinopel).
Sasaran
jangka pendek terhadap penyerangan umat Muslim ini adalah pembebasan
tempat-tempat suci Kristen di bumi Islam, termasuk Baitul Maqdis. Adapun
sasaran jangka panjangnya adalah melumat umat Islam. Pasukan salib tidak
berencana membunuh Khalifah. Yang mereka rencanakan adalah membunuh Islam,
menghapus khilafah dan menghancurkan umat yang melindunginya dan hidup
untuknya. “Apa artinya seorang Khalifah jika lembaga Khilafah tak ada lagi? Apa
yang bisa dikerjakan Khalifah jika umat yang dipimpinnya tewas semua?” (Qs.
Ali-Imran [3]: 169).
Pada awalnya
Paus Urban II menyatakan 15 Oktober 1095 sebagai keberangkatan Tentara Salib menuju
Timur Tengah, tapi kalangan awam sudah tidak sabar menunggu lebih lama lagi
setelah dijanjikan dengan berbagai kebebasan, kemewahan dan lainnya. Mereka
mendesak Pendeta Ermite (Peter the Hermit) sebagai pelaksana kepemimpinan agar
berangkat memimpin mereka.
Maka
dilancarkanlah serangan salib pertama
(1096) untuk merebut Yerusalem. Pendeta Ermite (Peter the Hermit) pun
berangkat dengan 60,000 orang pasukan (1096), kemudian diikuti oleh kaum petani
dan miskin yang dipimpin oleh Walter dari Jerman sejumlah 20.000 orang yang
berangkat dari Cologne pada bulan Mei dan mencapai Konstatinopel pada bulan
Juli, dan datang lagi 200,000 orang yang menjadikan jumlah keseluruhannya
300,000 orang.8 Sepanjang perjalanan, mereka diizinkan merompak, memperkosa, berzina
dan mabuk-mabukan. Setiap penduduk negeri yang dilaluinya, akan mengelu-elukan
dan memberikan bantuan seperlunya. Anak-anak muda, bangsawan, petani, kaya dan
miskin memenuhi panggilan Paus. Di Jerman izin melakukan Perang Salib digunakan
untuk melakukan pembantaian terhadap kaum Yahudi lokal, mereka menganggap bahwa
sebelum menyerang Muslim yang telah melanggar kekuasaan Jesus di Jerusalem,
lebih dahulu menghukum yang terdekat, kaum Yahudi yang para leluhurnya
bertanggung jawab atas kematian Jesus. Di Spier pada awal Mei, di Worms dan
Mainz bulan berikutnya, dan di Cologne, Trier dan Metz pada bulan Juni,
komunitas Yahudi dibantai oleh pasukan Perang Salib saat hendak ke Timur.
Sementara
itu, tentara yang berjumlah 300.000 itu, ketika sampai di Hungaria dan
Bulgaria, sambutan sangat dingin, menyebabkan pasukan Tentara Salib yang sudah
kekurangan makanan ini marah dan merampas harta benda penduduk setempat.
Pasukan Jerman juga membantai komunitas Yahudi di Prague saat mereka tiba
disana pada bulan Juni. Penduduk asli di dua negara ini tidak tinggal diam.
Walau pun mereka sama-sama beragama Kristen, mereka tidak senang dan membalas.
Terjadilah pertempuran sengit dan pembunuhan yang mengerikan. Raja Hungaria,
Kálmán, berusaha melindungi kaum Yahudi. Pasukan ini juga dihadang oleh kaum
Paulicia yang leluhurnya telah diusir ke utara dari Thrace oleh Kaisar Theodora
dan anak buahnya; terjadi pertempuran besar dan yang selamat hanya sepertiga
pasukan yang kemudian mengungsi ke pegunungan di Semenanjung Thrace (Albania).
3000 pasukan diselamatkan oleh Paus dan dikembalikan ke Konstantinopel, namun
ketika sampai disana mereka malah tertarik dengan kemegahan kota dan berniat
menjarahnya, akibatnya Kaisar mengirim mereka ke Bosphorus. 7000 pasukan
lainnya melanjutkan perjalanan ke Anatolia. Sesampai di Anatolia, pantai Asia
Kecil (Turki), pasukan kaum Muslimin yang di pimpin oleh Sultan Kalij Arselan
dari Kekaisaran Turki Seljuk telah menyambut mereka dengan hayunan pedang. Maka
terjadilah pertempuran sengit antara Tentara Salib dengan pasukan Islam yang berakhir
dengan kekalahan di pihak pasukan Tentara Salib itu. Mereka gagal mencapai
Baitul Maqdis (Yerusalem).
Setelah
Tentara Salib yang dipimpin oleh para Rahib Orthodox yang tidak memiliki
strategi perang itu hancur, muncullah Tentara Salib yang terdiri dari pasukan
Prancis, Jerman, dan Normandia (Prancis Selatan). Mereka dikomandani oleh Raja
Godfrey dari Lorraine Perancis, Bohemund dan Tancred dari Normandy (Utara
Perancis), Raymond dari Toulouse (Perancis), dan Robert Baldwin dari Flanders
(Belgia). Mereka berkumpul di Konstantinopel dengan kekuatan 150,000 laskar,
kemudian menyeberang Selat Bhospuros (bergabung dengan pasukan sebelumnya) dan
memenuhi wilayah Islam bagaikan air bah. Pasukan Tentara Muslimin yang hanya
berkekuatan 50,000 orang bertahan sekuat tenaga di bawah pimpinan Sultan Kalij
Arselan.
Satu persatu
kota dan benteng Tentara Muslim jatuh ke tangan Tentera Salib, memaksa Sultan
Kalij Arselan berpindah dari satu benteng ke benteng yang lain sambil menyusun
kekuatan dan taktik baru. Bala bantuan Tentara Salib datang bertubi-tubi dari
negara-negara Eropa. Sedangkan Sultan Kalij Arselan tidak mengharapkan bantuan
dari wilayah-wilayah Islam yang lain, kerana mereka sibuk dengan masalah
internal masing-masing. Ini menandakan bahwa Byzantium telah merebut kembali
apa yang telah dikuasai dari Antioch (barat daya Turki) selama enam
tahun.
Tentara
Salib terus mengarah ke selatan Turki. Pertempuran di Darylaeum (Eski-Shar)
meluas ke tenggara Nicaea sampai akhir 1097. Tentara Salib meraih kemenangan karena
Seljuk dalam keadaan lemah. Mereka berhasil memasuki selatan Anatolia (tenggara
Turki) dan Torres. Di bawah pimpinan Baldwin, mereka mengepung Edessa, yang
penduduk Armenia-nya beragama Kristen. Rajanya, Turus, telah melantik Baldwin
untuk menggantikannya setelah ia wafat, sehingga Baldwin dapat menaklukan Ruha
di Eddessa pada tahun 1098.
Bohemond
menaklukan kaum Muslimin di medan perang Antakiyah (Syria), ibu kota lama
Byzantium, pada tanggal 3 Jun 1098 setelah susah payah mengepungnya selama
sembilan bulan. Antakiyah termasuk benteng yang sangat kuat karena secara
geografs letaknya kedua paling strategis--setelah Konstatinople-- dengan
gunung-gunungnya yang mengelilingi sebelah utara dan timur, dan sungai yang
membatasinya. Jatuhnya Antakiyah dari Yagi Sian (Seljuk) disebabkan oleh
perpecahan dimana saat itu Islam sendiri masih sering bertikai, terutama antara
Syiah Fatimiyah di Mesir, Sunni Abbasiyah, dan Turki Seljuk di Syria; sehingga
pada tahun 1098, Fatimiyah mengambil keuntungan dari kekalahan Seljuk di
Antakiyah dengan merebut Jerusalem untuk mereka sendiri, setelah membayar
garnisun Seljuk untuk meninggalkan kota.
Selain
karena perpecahan internal, kekalahan juga disebabkan oleh lambatnya bantuan
dari Salajiqoh Persia (Karbugha) dan terjadinya pengkhianatan di dalam
Antakiyah sendiri oleh bangsa Armenia yang sudah tentu memihak kepada Tentera
Salib Kristen. Bantuan logistik dan perlengkapan dari Inggris dan armada laut
Genoa yang tiba di pelabuhan Suwaida semakin memperkuat Tentera Salib. Di tambah
pula kehadiran para ahli ‘peralatan blokade’ perang. Serbuan ini seperti
balasan terhadap kaum barbar yang telah menghancurkan Kekaisaran Romawi di
Eropa. Mereka dipenuhi perasaan benar sendiri yang menjadi ciri Barat
sesudahnya dalam berurusan dengan Timur. Tindakan ini menunjukkan gairah
keagamaan dengan merangkak keluar dari abad Kegelapan.
Bahemond
telah menunjukan keberaniannya yang luar biasa. Ketika Tentara Salib mengalami
krisis dalam pengepungan Antakiyah ini, ia pura-pura bersedia pulang ke Italia.
Para tentaranya lalu memintanya untuk tidak ditinggalkan oleh sang pemimpin,
terutama pada saat yang sangat kritis, ketika mendapat serangan dari Tentara
Seljuk. Ia menuduh panglima Byzantium, Titikios, telah mengkhianati Tentara
Salib karena melakukan hubungan rahasia dengan penguasa Seljuk-Turki untuk
menghancurkan Tentara Salib. Hal ini menyebabkan kemarahan Tentara Salib.
Akhirnya, Tatikios dengan tentaranya melarikan diri melalui pelabuhan Suwaida
ke Pulau Cyprus karena takut dibunuh Tentara Salib. Nampaknya kali ini Bahemond
berhasil menempatkan dirinya sebagai satu-satunya panglima-- setelah mendapat
pengalaman menghadapi Tentara Kaisar di Nicaea- sehingga ada alasan untuk tidak
menyerahkan Antakiyah kepada Kaisar Byzantium. Di sini nampak persaingan
kekuasaan antara Byzantium dan raja Eropa.
Setelah penaklukan Antakiyah (Antioch),
Bohemond dapat menguasai daerah-daerah sekitarnya. Ketika Raymond menguasai
sebelah barat daya Antakiyah dan tidak mau menyerahkannya kepada Bohemond, hal
ini disebabkan karena dia pun mempunyai cita-cita menguasai seluruh Antakiyah.
Krisis ini dapat diselesaikan jika Raymond ditugaskan oleh Paus untuk menyerang
Jerusalem. Akhirnya, Antakiyah berada di bawah kekuasaan Kristen selama
seperempat abad.
Sepanjang perjalanan menuju Palestina, Tentara
Salib ini membantai orang-orang Islam. Tentara Jerman juga membunuhi
orang-orang Yahudi. Dalam perjalanan ke Jerusalem, Raymond mengadakan hubungan
kerja sama dengan amir-amir Arab, antara lain dengan Muwaranah yang memberikan
bantuan kepada Tentara Salib. Pemerintah Tripoli dan Beirut (Lebanon) juga
memberikan bantuan kepada Tentara Salib, mungkin karena solidaritas agamanya
lebih diutamakan daripada tanah airnya, atau tidak suka akan Tentara Seljuk
Turki. Rombongan besar ini akhirnya sampai di Baitul Maqdis pada tahun 1099.
Mereka langsung melancarkan pengepungan, dan tak lupa melakukan pembantaian.
Sekitar lima minggu kemudian, tepatnya 15 Juli 1099, mereka berhasil merebut
Baitul Maqdis dari tangan kaum Muslimin. Kota ini akhirnya dijadikan ibukota
Kerajaan Katolik yang terbentang dari Palestina hingga Antakiyah. Mereka
mendirikan negara-negara salib, yakni negara-negara boneka di wilayah-wilayah
yang diduduki Tentara Salib. Namun karena kelemahan Byzantium dan perpecahan di
kalangan Muslim sendiri, negara-negara boneka ini berkembang sebagai
negara-negara Latin yang feodalistis dan tirani, yang menghabisi hampir seluruh
penduduk Yahudi dan Muslim.
Kekalahan
kaum muslimin Pemerintahan Fatimiyah yang menguasai Jerusalem sudah dapat
diramalkan dalam Perang Salib I, karena kota-kota penting yang merupakan pintu
gerbang satu-satunya telah berhasil ditawan. Jumlah Tentara Salib jauh lebih
banyak daripada Tentara Fatimiyah, yaitu 40.000 orang (20.000 orang merupakan
tentara terlatih).
Penaklukan Jerusalem oleh Tentara Salib
diwarnai dengan pembantaian yang tidak berperikemanusian, mulai dari para
lelaki, perempuan hingga anak-anak Muslim. Mereka juga membantai orang-orang
Yahudi dan orang-orang Kristen yang enggan bergabung dengan Tentara Salib.
Keganasan Tentara Salib Kristen ini dikutuk dan dikecam oleh para saksi dan
penulis sejarah yang terdiri dari berbagai agama dan bangsa.
Akhirnya
misi Tentara Salib tercapai, yaitu merebut Jerusalem dan berhasil mendirikan
pemerintahan masing-masing, Baldwin memegang tampuk kekuasaan di Edessa (1098),
Bohemond menguasai pemerintahan di Antakiyah, dan Godfrey menjadi penguasa di
Jerusalem, karena Raymond tidak terpilih menjadi penguasa di sana. Godfrey
meninggal dunia dan digantikan saudaranya, Baldwin I, tanpa ada yang menyaingi
karena Bohemond ditawan Raja Al-Ghazi Kamusytakin Turki. Walaupun Jerusalem
telah dikuasai oleh Tentara Salib sepenuhnya, peperangan di Syam (selatan
Palestina) masih berlanjut. Raja Jerusalem menyerahkan kepemimpinan kepada
Raymond (1101) untuk menaklukan Tripoli di Syam.
Kaum
muslimin di Tripoli dapat mempertahankan pengepungan Tentara Salib selama
delapan tahun. Pada tahun 1109, Tripoli akhirnya jatuh ke tangan Tentara Salib,
tetapi Raymond tidak sempat menyaksikan kejatuhan kota itu karena meninggal
dunia (1105) ketika pengepungan Tripoli mencapai puncaknya. Ia digantikan oleh
Wiliam Jordan, yang meninggal dunia pada tahun 1108. William kemudian diganti
oleh Bertrand. Pada zaman Bertrand, Tripoli telah berhasil ditaklukan.
Kota-kota penting lain yang ditaklukan ialah Arqah (ditaklukan pada tahun 1104)
dan Sur (ditaklukan pada tahun 1124).
Selama
Perang Salib sudah terlihat kelemahan di pihak Tentara Salib, yaitu
perselisihan dan persaingan antara para raja dengan Kaisar Alexius (Byzantium)
dan persaingan antar raja itu sendiri, apalagi ketika musuh bersama mereka
(Tentara Muslim) sudah tidak berdaya lagi. Kelemahan itu bertambah dengan
kembalinya sebagian besar Tentara Salib ke Eropa.
Di pihak
lain, kaum muslimin yang menyadari kelemahannya mulai meminta bantuan. Dari
selatan, Tentara Salib didesak oleh Angkatan Perang Mesir sehingga Ar-Ramlah
berhasil ditaklukan pada tahun 1102 melalui pertempuran yang hebat. Dari utara
mereka mendapat serangan dari kerajaan-kerajaan Atabek yang didirikan di atas
reruntuhan dinasti Seljuk, antara lain Atabek al-Mausal yang dipimpin oleh
Imadiddim Zangi pada tahun 1127.
Ia mampu
menahan perluasan kekuatan Tentara Salib, bahkan mampu menyerang
wilayah-wilayah yang dikuasai Kristen satu per satu, sehingga Edessa dapat
ditaklukan lagi pada tahun 1144. Edessa dianggap oleh penganut Kristen sebagai
salah sebuah kota suci. Oleh sebab itu, di sana didirikan sebuah biara yang
besar. Ketika Imaduddin dan Tentaranya memasuki daerah itu, mereka tidak
menghukum atau bertindak kejam terhadap semua orang Kristen, kecuali yang ikut
berperang dan membantu Tentara Salib Jerman. Imaduddin dibunuh oleh Tentaranya
sendiri ketika sedang melakukan operasi di Kalat-Jabir.
Puteranya,
Nuruddin Zangi, kemudian menggantikannya dan menjadikan Aleppo (kini Tel Aviv)
sebagai pusat pemerintahannya.
Pada perang salib kedua (1147-1149) pasukan
salib berusaha merebut wilayah-wilayah di sepanjang pantai laut tengah, baik
yang dikuasai muslim maupun bukan, seperti misalnya wilayah Athena, Korinthia
dan beberapa pulau-pulau Yunani.
Perang Salib
II terjadi pada masa Nuruddin memimpin. Pada masa ini, Paus Eugenius III
memilih seorang dari pendeta, Pendeta Bernand dari Clairvaux, untuk membakar
semangat orang-orang Eropa untuk mengangkat pedang membantu Tentara-Tentara
Perang Salib Pertama di Timur setelah jatuhnya Edessa ke tangan Muslim pada
tahun 1144. Pendeta ini berhasil mempengaruhi Louis VII (raja Perancis), dan
Conrand III (raja Jerman), untuk memimpin serangan baru menyelamatkan wilayah
Kristen di Syam itu. Baron-baron dari kedua negara itu turut serta mengikuti
jejak raja-raja mereka.
Tentara
Jerman lebih dahulu bergerak menyeberangi Sungai Danube (selatan Jerman) menuju
Konstatinopel. Di sana mereka disambut Kaisar Manual (Byzantium) yang memiliki
semangat tanpa perhitungan matang dan tidak sepandai Kaisar Alexius.
Sesampainya Tentara Jerman di Asia Kecil, dengan mudah Tentara Islam
menggempurnya hingga sebagian besar Tentara Jerman ini terbunuh. Demikian pula
nasib Tentara Perancis yang sampai ke Konstatinopel, mereka mengalami nasib
yang sama seperti tentara Jerman--selain banyak yang mati karena wabah
penyakit. Rata-rata dari mereka yang gagal menembus gerbang masuk kota mati
kelaparan karena hanya diberi makan seadanya. Dengan sisa Tentara yang masih
selamat mereka berangkat menuju Syria untuk menyerang Damaskus sebagai bentuk
perluasan kekuasaan. Pemerintan dan Tentara Nuruddin Zangi dapat memerangi
mereka dalam pertempuran yang hebat. Mereka pulang ke Eropa dengan kekalahan,
Perang Salib II selesai. Akan tetapi Jerusalem masih lagi di kuasai oleh
penguasa penguasa Kristen yang telah di lantik oleh pimpinan Gereja. Secara
keseluruhan, kaum Kristen kalah, kemenangan terjadi pada saat perjalanan
tentara Perang Salib Belanda dan Inggris untuk menyusul pasukan lainnya di
tempat tujuan berhasil membantu Raja Alfonso dari Portugal untuk merebut
kembali Lisbon dari tangan Muslim.
Penyebab
kegagalan Tentara Salib dalam Perang Salib II adalah tidak adanya kerjasama yang
baik antara mereka. Satu dengan yang lain tidak saling mempercayai karena
masing-masing merasa khawatir bila kekuasaannya akan dilanggar, ditambah lagi
wabah penyakit dan kelaparan yang terutama menimpa Tentara Perancis, disamping
serangan yang tidak dilakukan secara serentak seperti pada Perang Salib I.
Sejak
Pemeritntahan Islam, Dinasti Zangi memegang kembali kepemimpinan, perimbangan
kekuatan berubah lagi. Kemenangan Nuruddin mempertinggi semangat untuk
menaklukan lagi wilayah-wilayah yang dikuasai Kristen. Pada tahun 1149, ia
menaklukan Antakiyah, pada tahun 1151 menaklukan Edessa, dan tahun 1164
menguasai Bohemond III dan Raymond III yang memerintah Tripoli. Kemudian,
Nuruddin mengambil alih Damaskus dari Muiddin Umar yang dianggapnya lemah dalam
menghadapi gerakan Tentara Salib, bahkan secara rahasia ia berusaha
mengkhianati Nuruddin.
Yang penting
pula Nuruddin mengirimkan seorang panglima yang gagah berani, Asaduddin
Syirkuh, ke Mesir dalam rangka memperkuat sayap kiri menghadapi Tentara Salib.
Syirkuh diterima baik oleh rakyat Mesir dan Khalifah Fatimiyyah. Ia diangkat
sebagai perdana menteri, dan memegang kekuasaan pada tahun 1169. Namun, tidak
lama kemudian ia wafat.
Kedudukannya
lalu digantikan oleh Salahuddin al-Ayyubi. Kemenangan Tentara Muslim dibawah
pimpinan Salahuddin berhasil mengembalikan kota suci Jerusalem (Peperangan
Hittin). Kota suci itu tetap berada di tangan Muslim hingga Salahuddin menjadi
Prajurit Hebat.
Perang salib ketiga (1189-1192) terjadi
setelah Sholahuddin al Ayubi berhasil mempersatukan kembali wilayah-wilayah
Islam di Mesir dan Syria. Perang ini merupakan Perang Salib yang terbesar, pada
perang ini pihak Kristen dipimpin Phillip Augustus dari Prancis dan Richard
Lionheart dari Inggris, sementara kaum Muslimin dipimpin Shalahuddin Al-Ayyubi.
Pada masa itu, Kekhalifahan Islam terpecah menjadi dua, yaitu Dinasti
Fathimiyah di Kairo (bermazhab Syi’ah) dan Dinasti Seljuk yang berpusat di
Turki (bermazhab Sunni). Pada 1171 Sholahuddin berhasil menyingkirkan kekuasaan
Fathimiyah di Mesir yang merupakan separatisme dari Khilafah di Bagdad, dan
mendirikan pemerintahan Ayubiah yang loyal kepada Khalifah. Pada 1187 al-Ayubi
berhasil merebut kembali Yerusalem. Hal ini setelah Salahuddin merekrut pasukan
yang kemudian berperang melawan Pasukan Salib di Hattin (dekat Acre, kini
dikuasai Israel). Orang-orang Kristen bahkan akhirnya terdesak dan terkurung di
Baitul Maqdis. Kaum Muslimin meraih kemenangan (1187).
Serangan
salib ketiga ini dipimpin oleh tokoh-tokoh Eropa yang paling terkenal: Friedrich
I Barbarosa dari Jerman, Richard I Lionheart dari Inggris dan Phillip II dari
Perancis. Namun di antara mereka ini sendiri terjadi perselisihan dan
persaingan yang tidak sehat, sehingga Friedrich mati tenggelam, Richard
tertawan (akhirnya dibebaskan setelah memberi tebusan yang mahal), sedang
Phillip bergegas kembali ke Perancis untuk merebut Inggris justru selama
Richard tertawan. Dua pemimpin tentara Perang Salib, Reynald dari Chatillon
(Prancis) dan Raja Guy, dibawa ke hadapan Salahuddin. Reynald akhirnya dijatuhi
hukuman mati karena terbukti memimpin pembantaian yang sangat keji kepada
orang-orang Islam. Namun Raja Guy dibebaskan karena tidak melakukan kekejaman
yang serupa. Tiga bulan setelah pertempuran Hattin, pada hari yang tepat sama
ketika Nabi Muhammad diperjalankan dari Mekah ke Yerusalem dalam Isra’ Mi’raj,
Salahuddin memasuki Baitul Maqdis. Kawasan ini akhirnya bisa direbut kembali
setelah 88 tahun berada dalam cengkeraman musuh (2 Oktober 1187). Setelah
Salahudin mengurangi intensitas ketegangan, Richard pun menawarkan damai dan
berjanji akan menarik mundur pasukan Kristen pulang ke Eropa. Mereka pun
menandatangani perjanjian damai (1197) yang isinya membebaskan orang Kristen
untuk mengunjungi Palestina, asal tidak membawa senjata dan bermaksud damai.
Selama delapan abad berikutnya, Palestina berada di bawah kendali kaum
Muslimin.
Bila
dibandingkan dengan Perang Salib I, pada Perang Salib I, Paus yang menjadi
penggerak utama sekaligus dijadikan lambang dalam perang itu, sedangkan pada Perang
Salib III, penggerak utamanya adalah intitusi politik, yaitu raja-raja Eropa
Barat. Pada Perang Salib I, faktor agama menjadi pendorong yang penting,
sedangkan pada Perang Salib III, faktor agama bukan lagi menjadi penyebab
berkobarnya semangat. Pada Perang Salib III banyak orang Eropa yang turut
berperang agar terbebas dari kewajiban membayar cukai.
Pada Perang
Salib III, Raja Perancis Louis VII membebankan cukai 10% kepada rakyatnya yang
tidak turut ke medan perang. Demikian pula Philip Augustus (Italia) dan Raja
Inggris Richard the Lion Heart, ia menaikkan pajak yang disebut "Pungutan
Pajak Salahuddin" yang diwajibkan kepada para pemimpin agama dan rakyat
umum.
"I
would sell the city of London, if only I had a buyer.", demikian
diungkapkan oleh Raja Richard I Lion Heart. Pihak gereja (Paus) juga giat
mengumpulkan "Dana Perang Salib" sambil mengeluarkan fatwa bahwa
orang yang tidak mampu berperang harus memberikan dana, dan akan diampuni
segala dosanya sebagaimana orang yang turut berperang. Kepada setiap penderma
diberikan "Daftar Pengampunan". Akhirnya, gereja menjadi sumber dana
yang penting dan terbesar dalam menjalankan misi untuk mengumpulkan semua bala
Tentara Perang Salib III. Berbeda dengan Perang Salib I, yang dengan jumlah
Tentara Salib cukup besar memiliki semangat dan bersatu dalam menghadapi
Tentara Muslim Seljuk yang lemah dan berpecah belah, dalam Perang Salib III
keadaan berbalik drastis.
Orang-orang
yang memimpin Perang Salib III adalah raja-raja Eropa terkenal seperti:
1. Raja
Jerman Frederic II Barbarosa
2. Raja
Inggris Richard the Lion Heart
3. Raja
Perancis Phillip Agustus.
Yang paling
menonjol dan energetik adalah Frederic II yang memilih jalan darat menuju medan
perang, menyeberangi sungai dekat Armenia, Ruha. Tetapi nasibnya malang, ia
tenggelam dan meninggal ketika menyeberang sungai itu.
Tentara
Inggris dan Perancis yang bergerak menuju jalan laut bertemu di Saqliah.
Richard menuju Cyprus kemudian ke Palestina, sedangkan Phillip terus ke
Palestina, dan mengepung Arqah dengan bantuan sisa-sisa Tentara Frederic.
Dalam
pengepungan ini turut pula orang-orang Syam di bawah pimpinan Guys yang pernah
mengadakan perjanjian damai dengan Salahuddin. Berkat dukungan tentara Richard
dan angkatan lautnya, Arqah dapat direbut dan dikuasai. Tentara Salib melakukan
pembunuhan besar-besaran meskipun setelah itu tidak ada lagi serangan ketentaraan.
Perang Salib III ini diakhiri dengan perjanjian Ramallah (September 1192)
setelah perang tiada henti selama 5 tahun. Perjanjian ini mengakui Salahuddin
sebagai penguasa Palestina seluruhnya kecuali bandar Acra (satu jalur kecil
dari Tyre ke Jaffa) yang berada di bawah pemerintahan Kristen.
Perang salib keempat (1202-1204) terjadi
ketika pasukan salib dari Eropa Barat ingin mendirikan kerajaan Normandia
(Eropa Barat) di atas puing-puing Yunani. Paus Innocentius III menyatakan
pasukan salib telah murtad. Di Konstantinopel perampokan dan pemerasan Tentara
Salib menimbulkan perlawanan rakyat, yang dibalas Tentara Salib dengan membakar
kota itu serta mendudukkan kaisar dan padri Latin. Sebelumnya, kaisar dan padri
Konstantinopel selalu berasal dari Yunani.
Tahun 1212,
ribuan pemuda Perancis diberangkatkan dengan kapal untuk bergabung dengan
pasukan Salib, namun oleh kapten kapal mereka justru dijual sebagai budak ke
Afrika Utara. Reputasi pasukan salib sudah semakin pudar. Sebenarnya perang ini
bukan antara Islam dan Kristen, melainkan antara Takhta Suci Katolik Roma
dengan Takhta Kristen Ortodoks Romawi Timur di Konstantinopel (sekarang
Istambul, Turki).
Pada masa
Paus Innocent III, gereja membakar kembali semangat untuk meneruskan kembali
Perang Salib. Dalam hal semangat dan kepemimpinan perang ini bercorak Perancis
seperti Perang Salib I. Target perang ini diarahkan ke Mesir, yang disebabkan
karena:
- Mesir adalah pangkalan segala kekuatan Tentara Islam dan semua kekuatan Tentara Islam sudah beralih ke Mesir, sehingga Mesir harus dikuasai lebih dahulu;
- Penaklukan Mesir akan membawa keuntungan perdagangan bagi para pedagang Italia. Jika serangan di arahkan dengan menguasai Jerusalem terlebih dahulu, orang Mesir akan melakukan tindakan pembalasan terhadap para pedagang di Delta Sungai Nil, Dimyat, dan Alexanderia.
Ketika
Tentara Salib di Venisia (1202) bersiap hendak menuju Mesir, tiba-tiba semua
pasukan perang diperintahkan untuk menyerang Konstatinopel pada bulan Juli
1203, dan berhasil menguasai kota itu pada bulan April 1204. Setelah itu,
Baldwin VII diangkat sebagai Kaisar di Konstatinopel. Kekuatan ini berkuasa
selama 60 tahun disana.
Serangan salib kelima (1218-1221) diumumkan
oleh Paus Innocentius dan Konzil Lateran IV, yang juga menetapkan undang-undang
inkuisisi dan berbagai aturan anti-Yahudi. Untuk mendapatkan kembali kontrol
atas pasukan salib, jabatan raja Yerusalem digantikan oleh wakil Paus. Jabatan
“raja Yerusalem” ini hanyalah “formalitas idealis”, tanpa kekuasaan
sesungguhnya, karena de facto Yerusalem telah direbut kembali oleh al-Ayubi.
Pada perang ini, orang-orang Kristen yang sudah bersatu berusaha menaklukkan
Mesir yang merupakan pintu masuk ke Palestina. Tapi upaya ini gagal total.
Sebelumnya pada tahun 1217 Leopold VI dari Austria dan Andrew II dari Hungaria
berhasil merebut kota Damietta, namun setelah kekalahan mereka pada Pertempuran
Al-Mansura mereka dipaksa mengembalikannya. Mereka sempat ditawari kekuasaan
atas Jerusalem dan tempat-tempat suci Kristen di Palestina untuk ditukarkan
dengan Damietta, namun Kardinal Pelagius menolaknya.9
Perang Salib
ini merupakan rentetan dari Perang Salib I dan IV, dengan sasaran utamanya
Mesir. Ketika itu Mesir berada di bawah Pemerintahan Al-Malik al-'Adil, yang
meninggal dunia (1218) setelah Tentara Salib menguasai menara Al-Silsilah.
Al-Malik kemudian digantikan oleh putranya Al-Malik al-Kamil (1218--1238).
Al-Malik al-kamil menghadapi permasalahan internal, yaitu konspirasi yang
dipimpin oleh seorang panglima yang berasal dari Kurdi, Ibn Masytub, yang
hendak menggulingkannya. Ia lalu melarikan diri ke Yaman. Namun dengan bantuan
adiknya, Al-Malik Mu'azzam dari Syam, ia kembali menduduki takhta Kesultanan
Mesir. Tantangan dari luar--selain dari Tentara Salib, datang dari Tentara
Mongol yang mulai menguasai dunia Islam bagian Timur, Khawarizami,
negeri-negeri Transoxiana, dan sebagian negeri Parsi pada tahun 1220. Bahkan
Baghdad pun turut di gempur oleh Tentara Mongol.
Kedudukan
Tentara Salib cukup baik dengan jumlah Tentara yang besar atas seruan Paus
Innocent III yang dilanjutkan oleh Paus Honorius III. Raja Juhanna de Brienne
dan Wakil Paus, Plagius, memimpin pasukan ini. Kota Dimyat (Mesir) dengan mudah
mereka kuasai pada tahun 1218. Serangan gempuran ke Kaherah tidak dapat
diteruskan karena menunggu bantuan Frederic II dalam perjalanan untuk bantuan
serangan selanjutnya.
Dengan
situasi yang dramatis, sebagaimana digambarkan di atas, ditambah situasi
ekonomi yang sulit, terutama karena surutnya Sungai Nil, Mesir terancam bahaya
kelaparan. Al-Kamil pun mengajukan permintaan perdamaian. Ia menawarkan dengan
menyerahkan Jerusalem dan hampir semua kota yang ditaklukkan Salahudin kepada
Tentara Salib dengan syarat mereka (Tentara Salib) mundur dari Kota Dimyat.
Tawaran yang
begitu menguntungkan pihak Tentara Salib itu ditolak, mereka malah ingin
menguasai seluruh Mesir dan Syam. Penolakan ini mendapat persetujuan dari wakil
Paus, Pelagius, karena kepentingan perdagangan Italia dan Barat terancam oleh
kemajuan Pelabuhan Mesir.
Tidak ada
pilihan bagi Al-Kamil: hancur atau menang. Munculah pemikiran untuk
menghancurkan cabang-cabang sungai Nil yang menuju Kota Dimyat. Akhirnya banjir
pun melanda seluruh Kota Dimyat, pemikiran ini kemudian direalisasikan olehnya.
Banyak Tentara Salib yang meninggal akibat terancam bahaya kelaparan. Karena
bantuan Frederic II yang diharapkan masih belum datang, Tentara Salib pun
meninggalkan Kota Dimyat tanpa syarat.
Perang salib keenam (1228-1229) dipimpin
oleh kaisar Suci Romawi Freidrich II dari Hohenstaufen, menjadi Raja Jerusalem
melalui perkawinannya dengan Yolanda, puteri John dari Brienne.
Perang ini
terjadi tanpa pertempuran yang berarti, disebabkan karena Frederick sebelumnya
telah bersumpah untuk ikut dalam Perang Kelima namun gagal, sehingga merasa
sangat wajib untuk ikut berperang kembali meskipun dia tidak menginginkannya.
Ia lebih memilih berdialog dengan Sultan Mesir, Malik Al-Kamil, yang juga
keponakan Shalahuddin. Dicapailah Kesepakatan Jaffa. Isinya, Baitul Maqdis
tetap dikuasai oleh Muslim, tapi Betlehem (kota kelahiran Nabi Isa
‘alaihis-salaam) dan Nazareth (kota tempat Nabi Isa dibesarkan) dikuasai orang
Eropa-Kristen. Sebagai “orang yang dimurtadkan” (excommuned) dia berhasil
merebut kembali Jerusalem. Paus terpaksa mengakui dia sebagai raja Yerusalem.
Sepuluh tahun kemudian Yerusalem berhasil direbut kembali oleh kaum muslimin.
Perang salib ketujuh (1248-1254) dipimpin
oleh Louis IX (1215-1270) dari Perancis yang telah dinobatkan sebagai “orang
suci” oleh Paus Bonifatius VIII. Meski di negerinya Ludwig dikenal sebagai
penegak hukum yang baik, namun ia memimpin sebuah organisasi yang amburadul
sehingga ketika pada tahun 1248 menyerbu Mesir untuk merebut kembali Damietta
tapi justru gagal dan tertangkap di Mesir. Prancis perlu menebus dengan emas
yang sangat banyak untuk membebaskannya. Tahun 1270 Louis mencoba membalas
kekalahan itu dengan menyerang Tunisia. Namun pasukannya berhasil dikalahkan
Sultan Dinasti Mamaluk, Bibars. Louis meninggal di medan perang.10
Perang Salib Kedelapan (1270) masih
dipimpin oleh Raja Louis IX dari Perancis, dia berhasil mendarat di Afrika
Utara untuk menaklukkan Kesultanan Tunisia menjadi Kristen, namun sudah
terlanjur meninggal sebelum berhasil melaksanakannya.
Perang Salib
Kesembilan (1271) dipimpin oleh Raja Edward I dari Inggris yang mencoba
bergabung dengan Raja Louis di Tunisia, namun gagal karena Edward tiba setelah
Louis meninggal. Sementara itu suku Baibar merebut Kastil Putih Tentara
Templar, dan kemudian Krak des Chevaliers, pusat kesehatan yang utama. Dia
kemudian melakukan perjanjian sepuluh tahun dengan Bohemond di Tripoli,
kemudian ke Selatan dan merebut Montfort pada bulan Juni. Pada musim gugur itu,
Raja Edward meminta Abaga mengirim 10.000 pasukan berkuda ke Syria; ini
merupakan aliansi terkuat antara Mongolia dan kaum Kristen. Mereka menyerang
Aleppo dan Apamea, namun tidak berhasil. Ketika Sultan Mamluk memimpin pasukan
besar ke utara pada bulan November, Mongolia pergi dan tidak kembali.
Pada tahun
1272, dia menerima tawaran perjanjian sepuluh tahun dari Edward. Baibar telah
merebut banyak kota dan benteng utama, sehingga merasa dapat menunda
menyelesaikan pekerjaan tersebut. Namun dia juga tetap memikirkan ancaman dari
Mongol. Pada bulan Juni, Sultan menyuruh Assassin untuk membunuh Raja Edward.
Usaha ini hampir berhasil dimana Edward akhirnya sakit selama enam bulan, namun
tidak lama setelah sembuh ia kembali ke Inggris setelah mengetahui ayahnya
Henry III meninggal.
Mamluks menghabiskan
tahun-tahun berikutnya menginvasi Sisilia dan Armenia. Kaum Seljuk berada di
bawah kendali Mongol. Saat Baibar mengalahkan garnisun Mongol pada tahun 1277,
Abaga melakukan balas dendam. Baibar pergi ke Syria dan Abaga mampu memulihkan
Anatolia. Sultan Mamluk meninggal pada 1 Juli 1277.
Di bawah
Paus Gregorius X (1274) dan juga setelah jatuhnya Konstantinopel (1453), perang
salib pernah diserukan kembali, namun tak pernah dimulai. Sejak perang salib
keempat, perang ini sudah jatuh popularitasnya.
Sementara
itu, tanpa di bawah lambang pasukan salib, pada 1236 Cordoba pusat Daulah Islam
di Andalusia direbut kembali oleh pasukan Katolik Kastilia. Pada 1258 Bagdad
–pusat Khilafah– dihancurkan oleh Mongol-Tartar.11 Kedua serangan ini juga punya akibat yang sangat fatal pada sejarah
umat Islam selanjutnya.
Bagi Eropa,
hasil positif perang salib yang utama adalah motivasi yang dalam banyak hal
ikut memajukan Eropa. Ini karena perang salib mempertemukan bangsa Eropa dengan
peradaban yang lebih tinggi.
Dampak Perang Salib
Bangsa Eropa
belajar berbagai disiplin ilmu yang saat itu berkembang di dunia Islam lalu
mengarangnya dalam buku-buku yang bagi dunia Barat tetap terasa mencerahkan.
Mereka juga mentransfer industri dan teknologi konstruksi dari kaum muslimin,
sehingga pasca perang salib terjadi pembangunan yang besar-besaran di Eropa.
Gustav Lebon berkata: “Jika dikaji hasil perang salib dengan lebih mendalam,
maka didapati banyak hal yang sangat positif dan urgen. Interaksi bangsa Eropa
selama dua abad masa keberadaan pasukan salib di dunia Islam boleh dikatakan
faktor dominan terhadap kemajuan peradaban di Eropa. Perang salib membuahkan
hasil gemilang yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.”
Efek
negatifnya adalah secara teologis Eropa makin terpolarisasi. Dunia Kristen
Barat makin membentengi diri dan bersikap memusuhi terhadap segala yang berasal
dari luar. Dan ini berjalan hingga abad 20. Mentalitas perang salib ini juga
pernah digunakan beberapa penguasa Barat untuk menekan kaum protestan. Dan pada
Perang Dunia II, Hitler memotivasi pasukannya dalam melawan Rusia sebagai
“Perang salib melawan Atheisme”.
Sedangkan
umat Islam tidak mendapatkan apapun. Umat Islam tak bisa mengambil apa-apa dari
satu pasukan yang bermoral bejat, yang sebagian besar berasal dari para
penganggur dan penjahat. Perang salib menghabiskan aset umat Islam baik sumber
daya alam maupun manusia. Kemiskinan terjadi karena seluruh kekayaan negara
dialokasikan untuk perang. Dekadensi moral terjadi karena perang memakan habis
kaum laki-laki dan pemuda. Kemunduran ilmu pengetahuan terjadi karena umat
menghabiskan seluruh waktunya untuk memikirkan perang sehingga para ulama tidak
punya waktu untuk mengadakan penemuan-penemuan dan karya-karya baru kecuali
yang berhubungan dengan dunia perang.
Perang salib
merupakan salah satu titik balik dari sejarah keemasan umat Islam. Perang salib
yang melelahkan telah ikut berkontribusi atas proses hancurnya Khilafah
Abbasiyah, sehingga serangan Tartar atas Bagdad pada 1258 hanya sekedar
finalisasi dari proses tersebut.
Salahuddin al-Ayyubi Peletak Dasar Nilai
Kemanusiaan dalam Perang Islam
Banyak hal
yang dapat dipelajari dari akhlak Salahuddin al-Ayyubi selama masa Perang
Salib. Ketika tentara Kristen, Jerman, Yahudi membantai orang Islam di
jalan-jalan, hal ini berbalik 180 derajat dengan perlakuan pasukan Islam
terhadap pasukan Kristen. Sebagaimana dituturkan oleh Raymond, salah satu
serdadu Perang Salib yang pengakuannya didokumentasikan oleh August C Krey,
dalam buku ‘The First Crusade: The Accounts of Eye-Witnesses and Praticipants’
(Princeton & London: 1991) bahwa: “Pemandangan mengagumkan akan terlihat.
Beberapa orang lelaki kami memenggal kepala-kepala musuh; lainnya menembaki
mereka dengan panah-panah, sehingga mereka berjatuhan dari menara-menara;
lainnya menyiksa mereka lebih lama dengan memasukkannya ke dalam api menyala.
Tumpukan kepala, tangan, dan kaki terlihat di jalan-jalan kota. Kami berjalan
di atas mayat-mayat manusia dan kuda. Tapi ini hanya masalah kecil jika
dibandingkan dengan apa yang terjadi di Biara Sulaiman, tempat dimana ibadah
keagamaan kini dinyanyikan kembali. Di sana, para pria berdarah-darah disuruh
berlutut dan dibelenggu lehernya.”
Selain itu,
untuk membangkitkan semangat para tentara Muslim yang menyertainya, yang saat
itu perilakunya lemah, tidak memiliki semangat jihad, dan tidak memiliki nilai-nilai
luhur yang dimiliki para pemimpin perang terdahulu; Salahuddin melakukan
berbagai upaya untuk merekrut kaum Muslim agar mau turut bertempur merebut
Palestina, seperti menggelar peringatan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam selama dua bulan berturut-turut dengan membahas sirah
nabawiyah (sejarahnabi) dan atsar (perkataan) sahabat, terutama yang berkaitan
dengan nilai-nilai jihad. Salahuddin berhasil menghimpun pasukan yang terdiri
atas para pemuda dari berbagai negeri Islam.
Poin lain
adalah ketika Shalahuddin dan tentaranya memasuki Baitul Maqdis (setelah
berhasil merebutnya dalam pertempuran 8 hari) sebagai penakluk yang berpegang
teguhpada ajaran Islam yang mulia. Tidak ada dendam untuk membalas pembantaian
tahun 1099, seperti yang dianjurkan Al-Qur`an dalam surat An-Nahl ayat 127:
“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan
pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka
dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.”
Permusuhan
dihentikan dan Shalahuddin menghentikan pembunuhan. Ini sesuai dengan firman
dalam Al-Qur`an: “Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi dan
agama itu hanya untuk Allah. Jika mereka berhenti (memusuhi kamu), maka tidak
ada permusuhan lagi, kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.” (Al-Baqarah:
193)
Tak ada satu
orang Kristen pun yang dibunuh dan tidak ada perampasan. Jumlah tebusan pun
disengaja sangat rendah. Shalahuddin bahkan menangis tersedu-sedu karena keadaan
mengenaskan keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah. Ia membebaskan banyak
tawanan, meskipun menyebabkan keputusasaan bendaharawan negaranya yang telah
lama menderita. Saudara lelakinya, Al-Malik Al-Adil bin Ayyub, juga sedih
melihat penderitaan para tawanan sehingga dia meminta Salahuddin untuk membawa
seribu orang di antara mereka dan membebaskannya saat itu juga.
Beberapa
pemimpin Muslim sempat tersinggung karena orang-orang Kristen kaya melarikan
diri dengan membawa harta benda, yang sebenarnya bisa digunakan untuk menebus
semua tawanan. [Uskup] Heraclius membayar tebusan dirinya sebesar sepuluh dinar
seperti halnya tawanan lain, dan bahkan diberi pengawal pribadi untuk
mempertahankan keselamatan harta bendanya selama perjalanan ke Tyre (Libanon).
Shalahuddin
meminta agar semua orang Nasrani Latin (Katolik) meninggalkan Baitul Maqdis.
Sementara kalangan Nasrani Ortodoks—bukan bagian dari Tentara Salib—tetap
dibiarkan tinggal dan beribadah di kawasan itu.
Pada tahun
1194, Richard yang digambarkan sebagai seorang pahlawan dalam sejarah Inggris,
memerintahkan untuk menghukum mati 3000 orang Islam, yang kebanyakan di
antaranya wanita-wanita dan anak-anak. Tragedi ini berlangsung di Kastil Acre.
Meskipun orang-orang Islam menyaksikan kekejaman ini, mereka tidak pernah
memilih cara yang sama.
Suatu hari,
Richard sakit keras. Mendengar kabar itu, Shalahuddin secara sembunyi-sembunyi
berusaha mendatanginya. Ia mengendap-endap ke tenda Richard. Begitu tiba,
bukannya membunuh, malah dengan ilmu kedokteran yang hebat Shalahudin mengobati
Richard hingga akhirnya sembuh.
Richard
terkesan dengan kebesaran hati Shalahuddin. Ia pun menawarkan damai dan
berjanji akan menarik mundur pasukan Kristen pulang ke Eropa. Mereka pun
menandatangani perjanjian damai (1197). Dalam perjanjian itu, Shalahuddin
membebaskan orang Kristen untuk mengunjungi Palestina, asal mereka datang
dengan damai dan tidak membawa senjata. Selama delapan abad berikutnya,
Palestina berada di bawah kendali kaum Muslimin.12
Perang Salib dan Kaitannya dengan ‘Perang Salib’ modern
Pada saat
ini maupun pada abad pertengahan, Perang Salib sering dianggap sebagai perang
pembebasan. Sebagaimana Paus Urban II dulu sering meneriakan pembebasan, dalam
pengertian membebaskan tanah kaum Kristen di Timur dari pendudukan Muslim. Saat
ini pun Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, melegitimasi serangannya ke
Irak bukan sebagai intervensi politik, namun sebagai ‘crusade’ untuk
membebaskan rakyat Irak dari pemerintahan tirani Saddam Hussein –meskipun
sebagaimana ‘bebas’ perasaan warga Fallujah masih dipertanyakan. Tentu saja
tindakan Amerika ini bukan dimotivasi oleh agama; melainkan keamanan dan
kendali atas sumber daya minyak. Dan sekali lagi Bush menyerukan bahwa
menyebarkan kebebasan adalah tujuan ideologis kegiatannya.
Sebagaimana
dituturkan oleh Jonathan Riley-Smith dalam ‘The First Crusade and the Idea of
Crusading: A Short History’ yang mengkaitkan berbagai fenomena dalam Perang
Salib dengan kejadian-kejadian saat ini, bahwa ketika Paus Leo IX (1049-54)
memerangi kaum Normandia Italia selatan, dia menjanjikan pengampunan dosa bagi
yang berperang, ini sangat serupa dengan perintah Paus yang menjanjikan surga
bagi yang berangkat Perang Salib. Justifikasi teologis terdapat dalam
Perjanjian Lama mengenai perang untuk Tuhan, meskipun Perjanjian Lama tidak
mencantumkan kekerasan yang disucikan, inilah mengapa melakukan perang suci
menjadi anatema bagi Protestan seperti Martin Luther.
Paus
Gregorius VII, dalam reaksinya terhadap kemenangan Turki di pertempuran di
Manzikert pada tahun 1071, berseru kepada umat Katolik untuk membebaskan
saudara-saudaranya di Timur, terutama Jerusalem. Urban II kemudian dipengaruhi
oleh kemenangan umat Katolik di Spanyol dan Sisilia. Sehingga kata pembebasan
bagi para neo-cons berarti kebebasan di bawah dominasi Amerika Serikat– paralel
dengan Urban, yang mana pembebasannya berarti kebebasan di bawah kepausan.
Pemebebasan
gereja-gereja di Timur juga paralel dengan Bush yang dipengaruhi oleh sekte di
dalam Protestan Evangelis yang bernama ‘Dispensational Premillenialism’,
leluhur dari ‘Zionisme Kristen’, yang dicirikan oleh orang-orang seperti Pat
Robertson dan Franklin Graham, Graham termasuk rasis anti-Arab dan komentator
Islamophobis. Salah satu kegagalan para komentator Muslim adalah dalam
membedakan Protestantisme dari Katoliksisme dalam penerapan mereka atas Perang
Salib, dan untuk mengakui bahwa tidak seluruh Evangelis adalah Zionis Kristen.
Seperti para Zionis Kristen pasukan Perang Salib menganggap tindakan mereka
sebagai pembuktian ramalan dan tulisan mengenai pengepungan Jerusalem oleh Roma
pada tahun 70, Luke 21:24 (Jerusalem will be trampled by the Gentiles until the
times of the Gentiles are fulfilled’, ‘Gentiles’ dalam hal ini adalah
orang-orang Roma), mendukung pandangan ini, tulisan yang sering kali diterapkan
di luar konteksnya oleh Zionis Kristen modern.
Persamaan
lain adalah klaim Bush bahwa dia memerangi teror dimana dia tidak membedakan
antara HAMAS dan Hezbollah di satu sisi dan Al-Qaida di sisi lain (meskipun dia
tidak pernah mengecualikan Anggota Kongres Republik New York Peter King, yang
merupakan komentator Islamophobis dan mendukung Sinn Fein), sehingga Urban
tidak melihat perbedaan utama antara membebaskan orang-orang di Spanyol dengan
di Palestina: ‘pada hari ini Tuhan telah berperang melalui umat Kristen di Asia
melawan Turki dan di Eropa melawan kaum Moor’.
Terdapat
pula keterkaitan dengan jihad gerilya Islamis modern– konsep baraka (kekuatan supernatural) dalam
senjata. Pembunuhan Sadat dikatakan dilakukan oleh Bismillah Al-Muntaqim (atas nama Tuhan sang Penghukum)
sebagaimana tertulis pada senjatanya. Demikian pula degan kepercayaan umum
Katolik Abad Pertengahan bahwa Jerusalem dan lingkungannya telah ‘menyerap kebaikan, kekuasaan suci, dari para
nabi dan Kristus sendiri’. Tidak ada dasar Injil atas paham tersebut, dimana
kaum Evangelis sendiri menolaknya, namun ternyata memenuhi imajinasi para
pasukan Perang Salib itu sendiri. Para pasukan yang terkepung di Antakiyah
mendapat inspirasi untuk menang dengan menemukan Tombak Suci yang membunuh
Kristus di Salib; fenomena ajaib yang memenuhi pikiran para pasikan Perang
Salib dengan mimpi akan Krsitus dan orang-orang suci, serta fenomena surgawi–
yang banyak diantaranya juga diklaim oleh kaum Zionis Kristen.
Sementara
itu Thomas Asbridge dengan bukunya ‘The First Crusade: A New History’,
menjelaskan dengan baik mengenai
pengepungan Antakiyah oleh pasukan Perang Salib dan pengepungan oleh Muslim itu
sendiri. Disini diperlihatkan bagaimana kesetiaan pasukan Perang Salib terhadap
kepercayaan mereka bahkan ketika dihadapkan pada kelaparan, tekanan penguasa,
diberi pilihan oleh pemimpin Muslim Kerbogha untuk memeluk Islam atau dibunuh
atau dijadikan budak; pasukan Perang Salib lebih memilih untuk melawan.
Keterkaitannya
dengan saat ini adalah ketika Komisi Pelaporan 9/11 mengklaim bahwa dalam sudut
pandang Al-Qaida, satu-satunya yang dapat dilakukan Amerika untuk mengakhiri
jihad adalah memeluk agama Islam, sementara Perdana Menteri Blair bahwa
ideology di balik Al-Qaida hanyalah dipuaskan dengan ‘eliminasi fisik’
orang-orang Barat. Suatu studi elementer tentang komunike Al-Qaida
menganggapnya tidak benar. Apakah mungkin sumber besar dari pemerintah Amerika
Serikat dan Inggris salah paham dengan komunike tersebut? Atau apakah bahwa
kedua pemerintahan tersebut menyadari bahwa dengan menyatakan klaim tersebut,
penduduk Amerika dan Inggris akan setuju –seperti orang-orang Barat yang
dikepung di Antakiyah –bahwa mereka tidak memiliki pilihan selain berperang
untuk melawan? Perbedaannya adalah bahwa permintaan Kerbogha adalah asli, dan
merupakan suatu kesalahan tragis taktis yang menyebabkan kekalahannya.
Dalam buku
Asbridge juga dijelaskan permusuhan internal antar pasukan Perang Salib,
terutama antara Bohemond dan Raymond dari Toulouse, yang melemahkan kekuatan
pasukan Perang Salib dan menunda perjalanan ke Jerusalem. Juga mengenai
kekejaman Marrat, dimana pasukan Perang Salib menerapkan senjata pemusnah
massal mereka sendiri, dengan menggunakan ‘api dan bubuk sulfur’ untuk
mengasapi orang-orang Muslim yang bersembunyi di gua, kemudian menyiksa mereka
hingga meninggal, serta ketika kemenangan kaum Frank menyebabkan kelaparan dan
kanibalisme. Jatuhnya Jerusalem dicirikan dengan pembantaian massal populasi
Muslim dan Yahudi, termasuk anak-anak dan wanita, di hadapan umum. Polisi
militer Koalisi Irak menggambarkan hal yang serupa, dengan pembantaian ratusan
warga Fallujah, pembunuhan oleh The
Lancet dimana sekitar 100,000 warga Irak dibunuh, dan pencurian minyak
Irak oleh perusahaan Amerika Serikat yang terkait erat dengan pemerintahan
Bush.
Namun
seperti digambarkan dalam buku Asbridge, baik kaum Kristen maupun Muslim
memiliki perilaku yang pragmatis satu sama lain. Pasukan Perang Salib bukan
merupakan petani yang brutal, melainkan dipimpin oleh ksatria mereka untuk
menyerang komunitas Yahudi Eropa, ketika benteng berada di tengah-tengah
mereka. Kaum Muslim Barat menderita karena dianggap bertanggung jawab atas
berbagai penyerangan setelah 9/11 yang mana menggambarkan masa lalu. Sementara
itu komunitas Kristen Timur Tengah juga membantu pasukan Perang Salib, setelah
mendapat perlakuan buruk dari pemimpin Muslim mereka. Di Afghanistan Amerika
mampu merekrut bantuan dari kaum non-Pashtun dan Syiah, Syiah sebelumnya
diperlakukan dengan buruk oleh Taliban, dan di Irak mereka dibantu oleh kaum
Kurdi yang tertindas. Ini menggambarkan kebutuhan negara-negara Muslim
menghindari seluruh bentuk diskriminasi komunal, karena dapat menyebabkan
pasukan Perang Salib modern untuk meniru para leluhur mereka. Asbrige
menyatakan bahwa: ‘Sejak tahun 1300, ingatan akan perang salib sebagai perang
yang diperkuat oleh kebencian fanatik telah mengakar dalam persepsi kolektif
masyarakat barat dan timur. Kristen dan Islam telah ditempatkan pada jalan
menuju konflik yang tiada akhir’.13
DAFTAR PUSTAKA
1 Angeliki E. Laiou and Roy Parviz Mottahedeh. The Crusades from the Perspective of Byzantium and the Muslim World.
Downloaded from: www.doaks.org/etexts.html.
2 Fahmi Amhar. Kilas Balik
Perang Salib. Downloaded from: Swaramuslim_net For Izzatul Islam Wal Muslimin
wal Mu'minat.htm.
3 Fahmi Amhar. Kilas Balik
Perang Salib. Downloaded from: Swaramuslim_net For Izzatul Islam Wal
Muslimin wal Mu'minat.htm.
4 Fahmi Amhar. Kilas Balik Perang Salib. Downloaded from: Swaramuslim_net For Izzatul Islam Wal Muslimin wal Mu'minat.htm.
5 Dr. A. Zahoor from 'For Christ's Sake' by A. Thomson and M. 'Ata'ur-Rahim. A Brief Account of the Crusades. http://cyberistan.org/islamic/crusades1.htm.
4 Fahmi Amhar. Kilas Balik Perang Salib. Downloaded from: Swaramuslim_net For Izzatul Islam Wal Muslimin wal Mu'minat.htm.
5 Dr. A. Zahoor from 'For Christ's Sake' by A. Thomson and M. 'Ata'ur-Rahim. A Brief Account of the Crusades. http://cyberistan.org/islamic/crusades1.htm.
6 Latar Belakang Perang Salib.
Downloaded from: perang.coconia.net.
7 The Crusades and The Rise of
Islam. Downloaded from: http://www.mrdowling.com/606islam.html.
8 Karen Armstrong. Perang Suci: Dari Perang Salib hingga Perang Teluk. 2001. Serambi.
9 www.atheism
8 Karen Armstrong. Perang Suci: Dari Perang Salib hingga Perang Teluk. 2001. Serambi.
9 www.atheism
10 Agung Pribadi, Pambudi. Latar
Belakang Perang Salib. Sumber: Majalah Hidayatullah edisi Desember 2004.
11 Miyuki bin Afsha. The
Crusaders. Downloaded from: http://miyukibinafsha.blogdrive.com.
12 Agung Pribadi, Pambudi. Latar
Belakang Perang Salib. Sumber: Majalah Hidayatullah edisi Desember 2004.
13 Dr. Anthony McRoy. Crusades of
‘Liberation’ – From Urban II to Bush. Downloaded from:
www.mpacuk.com.
0 Response to "SEJARAH PERADABAN ISLAM TENTANG PERANG SALIB "
Post a Comment