KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM KLASIK (750-1350 M)
Saturday, 16 February 2013
2 Comments
TULISAN INI SAYA DEDIKASIKAN UNTUK PENGEMBANGAN MATA KULIAH SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM UNTUK SELURUH MAHASISWA FAKULTAS TARBIYAH DI INDONESIA
Pendidikan
Islam sesungguhnya telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan adanya dakwah
Islam yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW.
Berkaitan dengan itu pula pendidikan Islam memiliki corak dan
karakteristik yang berbeda sejalan dengan upaya pembaharuan yang dilakukan
secara terus – meneruskan pascagenerasi nabi, sehingga dalam perjalanan
selanjutnya pendidikan Islam terus mengalami perubahan baik dari segi kurikulum
(mata pelajaran).
Secara
eksplisit, pendidikan mempunyai nilai yang strategis dan urgen dalam
pembentukan suatu bangsa. Untuk menjadikan pendidikan yang berarti harus
menyediakan kurikulum pendidikan yang baik tentunya kepada peserta didik.
Sebagaimana halnya dengan faktor-faktor pendidikan lainnya, maka kurikulum pun
memainkan peranan penting dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Kurikulum
mengalami perkembangan mengikuti perkembangan kebudayaan dan peradaban
masyarakat. Dalam perkembangannya, tentu saja kurikulum mengalami pembaruan
dalam isinya, sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Munculnya
pendidikan Islam bersamaan dengan lahirnya Islam itu sendiri. Pendidikan pada
awalnya dilakukan dari rumah ke rumah, di masjid-masjid dan sebagainya. Ini
dilakukan dengan peralatan yang sederhana sekali. Pendidikan Islam sebagai
suatu sistem merupakan sistem tersendiri di antara sistem pendidikan di dunia
ini, kendatipun memiliki banyak persamaan. Dikatakan sistem tersendiri karena
cakupannya dan kesadarannya terhadap detak jantung, karsa dan karya manusia.
Pendidikan
Islam di masa klasik yang dilakukan nabi di Makkah merupakan prototype
yang bertujuan untuk membina pribadi Muslim agar menjadi kader yang berjiwa
kuat dan dipersiapkan menjadi masyarakat Islam, mubalig dan pendidik yang baik.[1][1] Setelah
hijrah, pendidikan Islam mengalami perkembangan dan pendidikan diarahkan juga
untuk membina aspek-aspek kemanusiaan dalam mengelola dan menjaga kesejahteraan
alam semesta.[2][2]
Kurikulum
pendidikan Islam klasik merupakan suatu sistem pendidikan klasik yang berbeda
dengan sistem pendidikan Islam yang ada pada saat ini. Kalau ditinjau dari
aspek tujuan, guru, murid, kurikulum, metode, fasilitas, dan sarana prasarana,
jelas terlihat perbedaannya. Sudah banyak terjadi perkembangan-perkembangan
dalam dunia pendidikan Islam.
Runtuhya
kerajaan Romawi pada abad ke 5 M merupakan awal dari “zaman pertengahan yang
gelap” , yaitu ketika Eropa mengalami kemunduran peradaban, sedangkan di Timur
peradaban mengalami kemajuan yang pesat. Sehingga Islam selama kurang
lebih lima abad menjadi mercusuar dalam segala aspek.[3][3]
Usaha-usaha
penaklukan yang dilakukan umat Islam pada masa sebelumnya yaitu pada masa Khulafaur
rasyidin dan Bani Umayyah, pada masa Abbasiyah dikurangi dan mengarahkan
perhatian terhadap perdamaian.[4][4] Pelaksanaan
pendidikan Islam semakin meningkat pada masa dinasti Umayyah yang meletakkan
dasar-dasar bagi kemajuan pendidikan. Sehingga masa ini disebut dengan “masa
inkubasi” atau masa bagi perkembangan intelektual Islam.[5][5]
Peradaban
Islam mengalami puncak keemasan pada masa Bani Abbasiyah adalah pada
pemerintahan Al-Ma’mun (813-833 M), yaitu ketika orang-orang Islam mulai
menerjemahkan buku-buku Yunani, Persia dan India ke dalam bahasa mereka.[6][6] Perhatian
Al-Ma’mun terhadap proses pendidikan terutama proses penerjemahan buku-buku
tersebut sangat besar. Maka sejak awal periode penerjemahan ini, pendidikan
Islam mulai memiliki potensi-potensi dalam memgembangkan kurikulum yang
beraneka ragam, mencakup berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Sejak
saat itulah proses pendidikan Islam mulai mengalami kecenderungan untuk
mengembangkan diri dalam “merajut” kesatuan system yang ada di dalamnya. Satu
hal yang pasti, bahwa mengkaji system pendidikan Islam klasik tidak akan selalu
sama jika hanya dilihat dari system pendidikan Islam di masa sekarang.
Satu
dari sekian system itu adalah kurikulumnya. Sudah bisa dibayangkan bahwa
kurikulum klasik pendidikan Islam tidaklah sama dengan kurikulum pendidikan
Islam sekarang ini. Kurikulum pendidikan Islam klasik berkisar pada bidang
studi tertentu, sedangkan kurikulum dewasa ini merupakan sejumlah mata
pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari siswa. Lebih luas lagi kurikulum
bukan hanya sekedar rencana pelajaran, tetapi semua program pendidikan yang
disediakan oleh lembaga pendidikan bagi siswa.[7][7]
Yang
jadi persoalan adalah, bagaimana “sosok” kurikulum ditampilkan pada masa
pendidikan Islam klasik? Adakah penjenjangan dalam penggunaan kurikulum
—mengingat pentahapan dalam pendidikan Islam klasik—, dan bagaimana
perkembangan dalam masa awalnya?
Hal
ini sangat memungkinkan pada kajian-kajian sejarah pendidikan Islam klasik,
dalam mengupayakan eksistensi dan perkembangan pendidikan Islam. Untuk itulah
penulis sengaja mengahadirkan keberadaan kurikulum pendidikan Islam klasik.
Agar tidak melebarkan pembahasan, penulis secara khusus mencoba mencermati
hanya seputar kurikulum pendidikan klasik. Secara umum, meliputi pengertian,
perkembangan kurikulum klasik mulai sebelum berdirinya madrasah sampai
kurikulum setelah berdirinya madrasah.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana kurikulum pendidikan islam
klasik (750 – 1350 M)?
2.
Bagaimana kurikulum pendidikan islam
sebelum berdirinya madrasah?
3.
Bagaimana kurikulum pendidikan islam
sesudah berdirinya madrasah?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengkaji kurikulum pendidikan
islam klasik (750 – 1350 M)
2.
Untuk menganalisa perbedaan
kurikulum pendidikan islam sebelum dan sesudah berdirinya madrasah
D.
Definisi Operasional Variabel
1. Kurikulum
Pendidikan Islam Klasik
Dalam makalah ini yang di maksud kurikulum pendidikan Islam
klasik agaknya tidak dapat dipahami sebagaimana kurikulum pendidikan modern.
Pada kurikulum pendidikan modern, seperti kurikulum pendidikan nasional di
Indonesia, ditentukan oleh pemerintah dengan standar tertentu yang terdiri dari
beberapa komponen: tujuan, isi, organisai dan strategi. Pengertian dan komponen
demikian agaknya sangat sulit ditemukan dalam literatur-literatur kependidikan
Islam klasik. Untuk itu, kurikulum pendidikan Islam klasik dalam makalah ini
dipahami dengan subyek-subyek ilmu pengetahuan yang diajarkan dalam proses
pendidikan.
2. Islam
Klasik
Terminologi masa klasik ini memberi membuka peluang untuk
diperdebatkan : sejak dan hingga kapan(?). Apakah dalam kacamata dunia muslim
atau penulis barat. Sebab, para penulis Barat mengidentikkan abad ke-7 hingga
abad ke-12/13 M. sebagai zaman kegelapan (dark age); sementara para
penulis musllim mengidentikkannya dengan masa keemasan (al-‘ashr al-dzahabi).
Untuk memperoleh kejelasan batasan waktu, penulis membatasi masa klasik dalam
kacamata penulis muslim, seperti batasan yang dilakukan Harun Nasution. Ia
mengklasifikasi sejarah Islam pada tiga masa: [a] periode klasik dimulai tahun
650 hingga 1250 M., sejak Islam lahir hingga kehancuran Baghdad [b] periode
pertengahan sejak tahun 1250 hingga 1800 M., sejak Bghdad hancur hingga
munculnya ide-ide pembaharuan di Mesir dan [c] periode modern, mulai tahun 1800
M. hingga sekarang. Namun, dalam makalah ini, “periode islam klasik” dibatasi
pada sekitar tahun 750 - 1350 M, yaitu pada masa kedaulahan Bani Abbasiyah
(750-1258 M) dan masa setelahnya hingga tahun 1350 M.
3. Madrasah
Kata madrasah dalam bahasa Arab berarti tempat atau wahana
untuk mengenyam proses pembelajaran. Dalam bahasa Indonesia madrasah disebut
dengan sekolah yang berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi
pengajaran. Karenanya, istilah madrasah tidak hanya diartikan sekolah dalam
arti sempit, tetapi juga bisa dimaknai rumah, istana, kuttab,
perpustakaan, surau, masjid, dan lain-lain, bahkan seorang ibu juga bisa
dikatakan madrasah pemula.
Dari pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah adalah
wadah atau tempat belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan keahlian
lainnya yang berkembang pada zamannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
istilah madrasah bersumber dari Islam itu sendiri.
E. Study
Pustaka
Hasil
penelitian Hasani Asro tentang Kurikulum Pendidikan Islam Klasik[8][8] yang
diseminarkan pada 27 Oktober 2000 di
Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyimpulkan hal yang
dapat menjadikan Islam menghasilkan ilmu pengetahuan begitu banyak dalam waktu
yang singkat dikarenakan Islam yang bersifat dinamis dan kreatif pada satu
sisi, tetapi juga reaksioner dan finalistic di sisi lain.
Hasil
penelitian lain oleh Susari tentang Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Sebelum
Madrasah[9][9] yang melihat
bahwa kurikum yang diajarkan pada lembaga pendidikan periode awal hanyalah ilmu
agama. Namun setelah adanya persentuhan dengan peradaban Helenisme, maka materi
yang ditawarkan tidak hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum,
seperti filsafat, matematika dan kedokteran. Atas dasar ini, lembaga pendidikan
islam diklasifikasikan menjadi dua, yaitu lembaga pendidikan formal dan
informal.
KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KLASIK
A. Definisi Kurikulum Pendidikan Islam
1. Definisi Kurikulum
Secara formal, kemunculan[10][10]
kurikulum sebagai bidang kajian ilmiyah baru pada awal abad ke- 20.[11][11] Kurikulum
berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata Curire yang artinya pelari.
Kata Curere artinya tempat berpacu. Curriculum diartikan jarak
yang ditempuh dari seorang pelari. Pada saat itu kurikulum diartikan sejumlah
mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa/ murid untuk mendapatkan ijazah.
Rumusan kurikulum tersebut mengandung makna bahwa isi kurikulum tidak lain
adalah sejumlah mata pelajaran (subjek matter) yang harus dikuasai siswa
agar siswa memperoleh ijazah.[12][12]
Pada masa klasik, pakar pendidikan Islam menggunakan kata al-maddah
untuk pengertian kurikulum. Karena pada masa itu kurikulum lebih identik dengan
serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam tingkat
tertentu.[13][13] Ilmu-ilmu
agama mendominasi kurikulum di lembaga formal dengan mata pelajaran hadis dan
tafsir, fiqih, retorika dakwah[14][14] (dianggap
sesuatu yang sangat penting dalam dunia pendidikan klasik).[15][15]
Sejalan dengan perjalanan waktu, pengertian kurikulum mulai
berkembang dan cakupannya lebih luas, yaitu mencakup segala aspek yang
mempengaruhi pribadi siswa. Kurikulum dalam pengertian yang modern ini mencakup
tujuan, mata pelajaran, proses belajar dan mengajar serta evaluasi.
Pada masa klasik kurikulum didefinisikan dengan kata al-Maddah
yaitu serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam tingkat
tertentu.
Kurikulum ketika didefinisikan secara terminologis kurikulum
adalah seperti yang dikumukakan oleh adamardasy yang dikutip oleh Neng Muslihah
bahwa kurikulum adalah sejumlah pengalaman pendidikan, budaya, social, olah
raga dan seni yang disediakan oleh murid-muridnya di dalam dan luar sekolah.
Crow and crow mendefinisikan seperti yang dikutif oleh
Ramayulis, bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran atau sejumlah mata
pelajaran yang disusun secara sistematis untuk menyelesaikan seuatu program
untuk memperole ijasah. Menurut Zakiyah Darajat adalah suatu program yang
direncanakan dalam bidang pendidikan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah
tujuan-tujuan pendidikan tertentu.
Menurut Willian B. Ragan kurikulum adalah serluruh usaha
sekolah untuk meransang anak belajar baik di dalam kelas, di halaman sekolah
maupaun di luar sekolah. Kumudian menurut Harord Alberty kurikulum adalah
seluruh aktifitas yang dilakukan sekolah untuk para pelajar.
Sementara itu, menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang system
pendidikan nasional, pada bab I, tentang ketentuan umum pasal 1 ayat (1)
diyatakan bahwa: kurikulum adalah seperangkat dan pengaturan mengenai tujuan,
isi, dan bahan pengajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.
Kemudian pengertian kurikulum menurut fungsinya:
a. Kurikulum sebagai program studi
adalah seperangkat mata pelajaran yang mampu dipelajari oleh peserta didik di
sekolah atau di instansi pendidikan lainnya.
b. Kurikulum sebagai konten adalah
informasi yang tertera dalam buku-buku kelas tanpa dilengkapi dengan data atau
informasi lainnya yang memungkinkan timbulnya belajar.
c. Kurikulum sebagai kegiatan berencara
adalah kegiatan yang direncanakan tentang hal-hal yang akan diajarkan dan
dengan cara bagaimana hal itu dapat diajarkan dengan hasil baik.
d. Kurikulum sebagai hasil belajar
adalah seperangkat tujuan untuk memperoleh seuatu hasil tertentu.
e. kurikulum sebagai pengalaman belajar
adalah kesuluruhan pengaman belajar yang direncanakan di bawah pimpinan
sekolah.
2. Definisi Pendidikan
Pendidikan menurut para tokoh pendidikan. Pendidikan adalah
a. John Dewey
John Dewey merupakan tokoh pendidikan dalam aliran
progesifisme. Di mengatakan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan
kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam
dan sesama manusia.
b. Driyarkara
Pendidikan adalah Pemanusian manusia muda atau pengankatan
manusia muda ke taraf insani.
c. Ki Hajar Dewantara
Pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak.
adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada
pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat
dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
d. Menurut Athiyah al- Abrashi
Pendidikan adalah upaya mempersiapakan individu untuk
kehidupan yang lebih sempurna, kebahagiaan hidup, cinta tanah air,
berkompetensi dalam mengucapakan bahasa lisan dan bahasa tulisan serta terampil
dalam berkreatifitas.
e. Menurut UU No. 20 Th. 2003
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
seuasana belajar mengajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat bangsa dan negara.
f. Dalam bahasa arab pendidikan sering
diklasifikasikan dengan beberapa istilah, diantaranya:
1) Tarbiyah : mempersiapkan manusia
supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap
jasmaninya, sempurna budi pekertinya dan sebagainya.
2) Ta’lim : proses transmisi berbagai
ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan
tertentu.
3) Ta’dib : pengenalan dan pengakuan
tempat-tempat yang tepat dari sgala sesuatu yang di dalam tatanan penciptaan
sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan
dan keagungan Tuhan di dalam tatanan wujud dan keberadaannya.
g. Menurut Yahya Qahar
Pendidikan adalah filsafat yang bergerak di lapangan
pendidikan yang mempelajari proses kehidupan dan alternatif proses pendidikan
dalam pembentukan watak.
h. Pendidikan berlangsung seumur hidup
dan dilaksanakan dalam lingkungan rumah tangga, sekolah, dan masyarakat. Karena
itu pendidikan adalah tanggung jwab bersama antara keluarga, dan pemerintah.
B. Sejarah Kurukulum Pendidikan Islam
Klasik
1. Kurikulum Pendidikan Islam Sebelum
Berdirinya Masrasah
a. Kurikulum Pendidikan Rendah
Terdapat kesukaran ketika ingin membatasi mata
pelajaran-mata pelajaran yang membentuk kurikulum untuk semua tingkat
pendidikan yang bermacam-macam. Pertama, karena tidak adanya kurikulum
yang terbatas, baik untuk tingkat rendah maupun tingkat penghabisan, kecuali
Al-qur’an yang terdapat pada seluruh kurikulum. Kedua, kesukaran
membedakan di antara fase-fase pendidikan dan lamanya belajar karena tidak ada
masa tertentu yang mengikat murid-murid untuk belajar pada setiap lembaga
pendidikan.
Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam
pendidikan Islam, tetapi hanya satu tingkat yang bermula di kuttab dan
berakhir di diskusi halaqah. Tidak ada kurikulum khusus yang diikuti
oleh seluruh umat Islam. Di lembaga kuttab biasanya diajarkan membaca
dan menulis, di samping Al-qur’an. Kadang diajarkan bahasa, nahwu dan arudh.[16][16]
Terdapat contoh gambaran dari kurikulum tingkat ini.
Al-Mufaddal bin Yazid bercerita bahwa suatu hari ia melihat anak laki-laki dari
seorang perempuan Baduwi. Karena tertarik pada anak itu lalu ia bertanya pada
sang ibu. Sang ibu menjawab sebagai berikut, “apabila berumur lima tahun, saya
akan menyerahkan pada seorang muaddib (guru) agar ia mengajari menghafal
dan membaca alqur’an. Dengan demikian ia suka akan kebanggaan bangsanya dan ia
kan mencari peninggalan nenek moyangnya; apabila dewasa, saya akan mengajarinya
cara menunggang kuda sehingga ia terlatih dengan baik, lalu ia naik kuda sambil
memanggul senjata. Kemudian ia akan mondar mandir di lorong-lorong kampungnya
untuk mendengarkan suara orang-orang yang akan meminta bantuan.”[17][17]
Sedangkan kurikulum yang ditawarkan oleh Ibnu Sina untuk
tingkat ini adalah mengajari Alqur’an, karena anak-anak dari segi fisik dan
mental, telah siap menerima pendiktean, dan pada waktu yang sama diajarkan juga
huruf hijaiyah dan dasar agama kemudian syair berikut artinya. Setelah
anak-anak belajar Alqur’an dan dasar agama, kemudian diarahkan untuk
mempelajari sesuatu yang sesuai dengan kecenderungannya.
Namun demikian, ada perbedaan antara kuttab-kuttab
yang diperuntukkan bagi masyarakat umum dengan yang ada di istana. Di istana,
orang tua (para pembesar istana) adalah yang membuat rencana pelajaran tersebut
sesuai dengan anaknya dan tujuan yang dikehendakinya. Rencana pelajaran untuk
pendidikan istana ialah pidato, sejarah, peperangan-peperangan, cara bergaul
dengan masyarakat di samping pengetahuan pokok, seperti Al-qur’an, syair dan
bahasa.[18][18]
Harun Al-Rasyid telah memajukan pelajaran bagi putranya
(Al-Amin) dengan mengatakan sebagai berikut :
“Hai Ahmar! Sesungguhnya Amirul Mu’minin telah memberikan
kepadamu buah hatinya, maka bentangkanlah tanganmu kepadanya dan ketaatan
kepadamu adalah suatu kewajiban. Maka janganlah kamu merasa sungkan dan
hendaknya kamu tetap dalam posisimu sebagaimana yang telah ditetapkan oleh
Amirul Mu’minin. Bacakanlah kepadanya Al-Quran, ceritakanlah kepadanya
peristiwa-peristiwa, riwayatkanlah kepadanya syair-syair, ajarkanlah kepadanya
Sunnah Sunnah Nabi Muhammad Saw. Tunjukkanlah kepadanya bagaimana menyusun
perkataan dan cara memulainya. Laranglah ia tertawa kecuali pada
wakktunya………….”[19][19]
Kurikulum pada tingkat ini bervariasi tergantung pada
tingkat kebutuhan masyarakat. Karena sebuah kurikulum dibuat tidak akan pernah
lepas dari faktor sosiologis, politis ekonomis masyarakat yang melingkupinya.
Di lembaga pendidikan masyarakat umum, orang tua kurang mempunyai peran dalam
penyusunan kurikulum karena anak belajar suatu mata pelajaran tergantung pada
guru yang tersedia. Berbeda dengan yang ada di istana, dimana anak memang diarahkan
untuk menjadi pemimpin yang akan menggantikan bapak-bapak mereka, di lembaga
pendidikan ini rencana pelajaran disusun oleh orang tua mereka.
Kurikulum pada tingkat ini tidak dipersiapkan untuk menuju
pendidikan yang lebih tinggi. Ada jurang lebar yang memisah kedua lembaga
tersebut sehingga orang yang ingin belajar setelah tingkat dasar dalam masalah
sastra, kajian keagamaan, hukum dan filsafat, harus menempuh jalur sendiri dan
meminta secara pribadi untuk bergabung dengan halaqah milik seorang syaikh.
b. Kurikulum Pendidikan Tinggi
Kurikulum pendidikan tinggi, halaqah —kalau mau
menyebut demikian— bervariasi tergantung pada syaikh yang mau mengajar. Para
mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata pelajaran tertentu, demikian
juga guru tidak mewajibkan kepada mahasiswa untuk mengikuti kurikulum tertentu.
Mahasiswa bebas mengikuti pelajaran di sebuah halaqah dan berpindah dari
sebuah halaqah ke halaqah yang lain, bahkan dari satu kota ke
kota lain.
Menurut Fazlur Rahman, pendidikan jenis ini disebut
pendidikan orang dewasa, karena diberikan kepada orang banyak yang tujuan
utamanya adalah untuk mengajarkan mereka mengenai Al-Qur’an dan agama.[20][20] Kurikulum
pada pendidikan tingkat ini dibagi kepada dua jurusan, pertama jurusan
ilmu-ilmu agama (al-‘ulum al-naqliyah) dan kedua jurusan ilmu
pengetahuan (al-‘ulum al-aqliyah).
Kedua macam kurikulum ini sejalan dengan dua masa transisi
penting dalam perkembangan pemikiran Islam. Kurikulum pertama sejalan
dengan fase di mana dunia Islam mempersiapkan diri untuk mendalami masalah
agama, menyiarkan dan mempertahankannya. Namun perhatian pada agama itu
tidaklah terbatas pada ilmu agama semata, akan tetapi dilengkapi juga dengan
ilmu-ilmu bahasa, ilmu sejarah, ilmu hadist dan tafsir. Menurut Mahmud Yunus,
kurikulum jurusan ini adalah tafsir al-Qur’an, hadist, fiqih, ushul fiqih,
nahwu sharaf, balaghah, bahasa dan sastranya.[21][21]
Al-Khuwarazmi (Yusuf Al-Katib, 976) dalam bukunya, Mafatih
al-Ulum meringkas kurikulum agama sebagai berikut: ilmu fiqih, ilmu nahwu, ilmu
kalam, ilmu kitabah (sekretaris),dan ilmu ‘arudh. Ilmu sejarah
(terutama sejarah Persia, sejarah Islam, sejarah sebelum Islam, sejarah Yunani
dan Romawi).[22][22] Di samping
itu, diajarkan juga matematika dasar, karena banyak digunakan untuk ilmu faraid
dan pembuatan taqwim (mencocokkan tahun Hijriyah dengan tahun
Masehi). Adapun yang ditulis dalam risalah Ikhwan al-Shafa, kurikulum
untuk jurusan ini adalah ilmu al-Qur’an, tafsir, hadist, fiqih, zikir, zuhud,
tasawuf, dan syahadah.[23][23]
Sedangkan Al-Farabi memasukkan studi keagamaan di bawah
metafisika dan ilmu kemasyarakatan. Karena, menurutnya, kesempurnaan manusia,
bisa dicapai kalau manusia dapat memiliki jenis pengetahuan tertentu dan
manusia hidup dalam jenis kehidupan tertentu pula. Ia merasa pengetahuan yang
dibawa agama “tidak mencukupi”.[24][24] Maka tidak
heran jika di dalam karyanya, Ihsaal Ulum (Enumeration of The
Sciences) yang di Barat dikenal dengan dengan Scientist, dia tidak
memasukkan studi keagamaan dalam klasifikasi pengetahuannya.
Kurikulum kedua, yaitu kurikulum ilmu pengetahuan. Ia merupakan ciri khas
pada fase kedua perkembangan pada pemikiran umat Islam, yaitu ketika umat Islam
mulai bersentuhan dengan pemikiran Yunani, Persia dan India. Menurut Mahmud
Yunus, kurikulum untuk pendidikan jenis ini adalah mantiq, ilmu alam dan kimia,
ilmu musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu-ilmu ukur, ilmu-ilmu falak, ilmu ketuhanan,
ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan dan kedokteran.[25][25]
Ikhwan Al-Shafa mengklasifikasikan ilmu-ilmu umum kepada:
1)
Disiplin-disiplin Umum, antara lain:
baca-tulis, arti kata dan gramatika, ilmu hitung, sastra (sajak dan puisi),
ilmu tentang tanda-tanda dan isyarat, ilmu sihir dan jimat, kimia, sulap,
dagang, dan ketrampilan tangan, jual beli, komersial, pertanian, dan peternakan,
serta biografi dan kisah.
2)
Ilmu-ilmu Filosofis, antara lain:
mate-matika, logika, ilmu angka-angka, geometri, astronomi, musik, aritmatika,
dan hukum-hukum geometri, ilmu-ilmu alam dan antropologi zat, bentuk, ruang,
waktu dan gerakan kosmologi produksi, peleburan, dan elemen-elemen metereologi
dan minerologi, esensi alam dan manifestasinya, botani, zoology; anatomi dan
antropologi, persepsi inderawi, embriologi, manusia sebagai mikrokosmos,
perkembangan jiwa (evolusi psikologis), tubuh dan jiwa, perbedaan bahasa-bahasa
(filologi), psikologi dan teologi doktrin esoteris Islam, susunan dan
spiritual; serta ilmu-ilmu alam ghaib.[26][26]
Sedangkan klasifikasi yang diperkenalkan oleh Al-Farabi
adalah:
1)
Ilmu bahasa (sintaksis, tata bahasa,
pengucapan, cara bicara, puisi).
2)
Logika (pembagian, definisi dan
komposisi pikiran secara sederhana).
3)
Ilmu propaedeutic (ilmu hitung, ilmu
ukur, ilmu optik, ilmu tentang cakrawala, ilmu musik, ilmu gaya berat, ilmu
membuat alat).
4)
Fisika (ilmu alam, metafisika).
Adapun yang ditulis dalam Mafatih al-Ulum, yaitu
logika, ilmu kedokteran anatomi, patologi, bahan obat, terapetik, diet, berat
dan takaran, aritmatika, geometri, astronomi, musik, dan kimia.[28][28]
Masuknya ilmu-ilmu asing —yang notabene berasal dari tradisi
Hellenistik—, ke dalam kurikulum pendidikan Islam bukan merupakan bagian dari
pendidikan yang ditawarkan di masjid atau madrasah, tetapi dilakukan di halaqah-halaqah
pribadi atau juga di perpustakaan-perpustakaan, seperti Dar al-Hikmah
dan Bait al-Hikmah. Syalabi menggambarkan bagaimana giatnya umat Islam
mengadakan penelitian, penerjemahan, diskusi dalam berbagai aspek di kedua
lembaga tersebut.[29][29]
2. Kurikulum Pendidikan Islam Setelah
Berdirinya Madrasah
Pada zaman keemasan Islam, aktivitas-aktivitas kebudayaan
pendidikan Islam tidak mengizinkan teologi dan dogma membatasi ilmu pengetahuan
mereka. Mereka menyelidiki setiap cabang ilmu pengetahuan manusia, baik fisiologi,
sejarah, historiografi, hukum, sosiologi, kesusastraan, etika, filsafat,
teologi, kedokteran, mate-matika, logika, jurisprudensi, seni, arsitektur, atau
ilmu keramik.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan tingkat kebutuhan,
mendirikan madrasah adalah dianggap sesuatu yang signifikan. Pendirian lembaga
pendidikan tinggi Islam ini di bawah patronase wazir Nizam Al-Mulk (1064 M).[30][30] Biasanya
sebuah madrasah dibangun untuk seorang ahli fiqih yang termasyhur dalam suatu
mazhab empat. Nuruddin Mahmud bin Zanki misalnya, beliau telah mendirikan
beberapa madrasah untuk mazhab Hanafi dan Syafi’I di Damaskus dan Halab. Beliau
juga membangun sebuah madrasah untuk mazhab ini di kota Mesir.
Di satu sisi, berdirinya madrasah merupakan sumbangan Islam
bagi peradaban sesudahnya. Akan tetapi, disisi lain hal ini membawa dampak yang
buruk bagi dunia pendidikan setelah hegemoni negara yang terlalu kuat terhadap
madrasah. Akibatnya kurikulum madrasah ini dibatasi hanya pada wilayah hukum
(fiqih) dan teologi. Legitiumasi “makruh” terhadap penggunaan nalar setelah
runtuhnya Mu’tazilah, ilmu-ilmu profan yang sangat dicurigai dihapus dari
kurikulum madrasah. Hal ini menyebabkan mereka yang punya minat tinggi terhadap
ilmu-ilmu ini terpaksa belajar secara otodidak. Karenanya ilmu-ilmu
profan banyak berkembang di lembaga-lembaga non formal.
Satu pertanyaan yang dapat kita kembangkan, bahwa kenapa
legalisme fiqih atau syariat terlalu dominan terhadap lembaga-lembaga
pendidikan Islam? Menurut Fazlur Rahman, ada pandangan yang terus menerus
diungkap, yaitu karena ilmu itu luas dan hidup ini singkat, maka orang harus
memeberikan prioritas, dan prioritas itu dengan sendirinya diberikan pada
sains-sains agama yang membawa kejayaan di akhirat.[31][31]
Sedangkan menurut Azyumardi, karena memang lembaga-lembaga
ini dikuasai oleh mereka yang ahli agama, dan tidak kalah pentingnya adalah
tidak otonomnya madrasah dari tanah waqaf yang diberikan oleh para dermawan dan
penguasa politik. Motivasi kesalehan mendorong para dermawan untuk mengarahkan
madrasah bergerak dalam bidang ilmu-ilmu agama karena di anggap mendatangkan
pahala. Di pihak lain, para penguasa politik pemrakarsa pendirian madrasah,
—apakah karena didorong oleh motivasi politik atau motivasi murni untuk
menegakkan “ortodoksi” Sunni—, sering mendikte madrasah untuk tetap berada
dalam kerangka “ortodoksi itu sendiri”.[32][32]
Namun, bagi penulis hal itu adalah salah satu realitas dalam
perjalanan sejarah pendidikan Islam. Bukan maksud penulis mencurigai madrasah
sebagai “kambing hitam” bagi kemunduran ini, walaupun tentu saja ia mempercepat
dan melestarikan stagnasi tersebut. Sebab, sebenarnya penurunan kualitas
lmu pengetahuan Islam adalah kekeringan gradual dari ilmu-ilmu keagamaan karena
pengucilannya dari kehidupan intelektualisme awam yang kemudian juga mati.
c.
Kemajuan Dalam Masa Kedaulahan
Abbasiyah (750-1258 M) di Bidang Pendidikan dan Keilmuan
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, pendidikan dan pengajaran
mengalami kemajuan yang gemilang. Pada masa itu prioritas umat islam mampu
membaca dan menulis, pada masa ini pendidiakan dan pengajaran diselenggarakan
dirumah-rumah penduduk dan ditempat-tempat umum lainnya misalnya Muktab.
Menurut keterangan yang ada, terdapat sekitar 30.000 masjid yang sebagian besar dipergunakan sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran tingkat dasar, kurikulum pendidikan pendidikan pada tingkat dasar terdiri pelajaran membaca, menulis, tata bahasa, hadist, prinsip-prionsip dasar matematika dan pelajaran syair. Sedangkan pendidikan tingkat menengah terdiri dari pelajaran taysir Al - Qur’an pembahasan kandungan Al - Qur’an, Sunah Nabi, Fiqih, dan Ushul Fiqh, kajian ilmu kalam (teologi), ilmu Mntiq (retorika) dan kesustraan, pada pelajaran tingkat tinggi mengadakan pengkajian dan penelitian mandiri dibidang astronomi, geografi dunia, filsafat, geometri, musikdan kedokteran.
Menurut keterangan yang ada, terdapat sekitar 30.000 masjid yang sebagian besar dipergunakan sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran tingkat dasar, kurikulum pendidikan pendidikan pada tingkat dasar terdiri pelajaran membaca, menulis, tata bahasa, hadist, prinsip-prionsip dasar matematika dan pelajaran syair. Sedangkan pendidikan tingkat menengah terdiri dari pelajaran taysir Al - Qur’an pembahasan kandungan Al - Qur’an, Sunah Nabi, Fiqih, dan Ushul Fiqh, kajian ilmu kalam (teologi), ilmu Mntiq (retorika) dan kesustraan, pada pelajaran tingkat tinggi mengadakan pengkajian dan penelitian mandiri dibidang astronomi, geografi dunia, filsafat, geometri, musikdan kedokteran.
Dinasti bani
Abbasiyah yang berkuasa sekitar lima abad lebih, merupakan salah satu dinasti
islam yang sangat peduli didalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan
peradaban islam. Bani Abbasiyah telah menyiapkan segalanya, diantara fasilitas
yang diberikan adalah pembangunan pusat riset dan terjemah. Para ilmuan digaji
sangat tinggi dan kebutuhan hidupnya dijamin oleh Negara. Bahkan khalifah Bani
Abbasiyah meminta siapa saja termasuk para pejabat dan tentara untuk mencari
naskah-naskah yang berisi ilmu pengetahuan dan peradaban untuk dibeli dan
diterjemahkan menjadi bahasa arab.
Kesimpulan
Kurikulum pendidikan islam pada masa klasik dimunculkan oleh
cendikiawan muslim pada masa klasik, seperti al-Kindi, al-Ghazali, al-farabi,
Ibnu sina dan lain-lain. Kurikulum pendidikan ini di bagi kepada dua bagian.
Bagian pertama, kurikulum sebelum sebelum madrasah. Kedua, kurikulum setelah
bedirinya madrasah.
Kedua bagian ini, masing-masing mempunyai bagian-bagiannya.
Kurikulum pendidikan sebelum madrasah terbagi dua bagian, diantaranya:
kurikulum pendidikan rendah dan kurikulum pendidikan tinggi. Kemudian
pendidikan setelah berdirinya madrasah ini lebih menitik beratkan kepada
tingkat dewasa (mahasiswa).
Kurikulum pendidikan rendah terbagi ke dua bagian. Pertama,
kurikulum pendidikan untuk masyarakat umum. Kedua, kurikulum pendidikan untuk
orang istana. Untuk masyarakat umum, orang tua mereka tidak mempunyai peran
dalam maslah pendidikan, karena itu diatur oleh guru mereka langsung seperti
ilmu cara baca al-quran, sejarah dsb. Sedang kurikulum orang istana, diatur
oleh orang tua (para pejabat), karena anaknya dicetak untuk jadi pemimpin untuk
melanjutkan kepemimpinan orang tuannya, mereka konsentrasi ilmu kepemimpinan,
peperangan, sejarah, dan tanpa mengesampingkan ilmu al-quran dan agama.
Kemudian kurikulum pendidikan tinggi ini lebih kepada
kebebasan untuk memilih dan berpindah-pindah dengan menggunakan metode halaqoh.
Dan tidak diharuskan seorang murid untuk mengikuti syeikh-syeikhnya. Begitu
juga syeikhnya tidak mewajibkan kepada muridnya mengikutinya. Kurikululum pada
tingkat ini terbagi dua yaitu, kurikulum agama dan pengetahuan umum.
Kemudian kurikulum setelah berdirinya madrasah, hal ini
lebih kepada ilmu-ilmu syariat dan teologi. Karena para ahli atau yang berkuasa
pada saat itu adalah para ilmuan dibidang agama, tetapi tidak membuat patah
kepada pelajar untuk mempejari ilmu umum. Mereka mencari sendiri-sendiri
ilmu-ilmu umum itu.
Kurikulum pada zaman klasik secara garis besar sudah ada
walau tidak ada bukti tertulis tentang kurikulum tersebut, nyatanya yang lebih
mendominasi pada sebuah madrasah adalah kurikulum yang didalamnya adalah muatan
tentang agama. Dan biasa yang menentukan kurikulum adalah orang-orang yang
mempunyai otoritas atau penyusun perencanaan mata pelajaran pendidikan Islam
klasik adalah ulama yang menguasai bidangnya masing-masing.
DAFTAR
PUSTAKA
A. Lewy, (Ed). 1991. The International
Encyclopedia of Currikulum, Toronto: Pergamon Press
Ashraf, Ali. 1996. Horison Baru Pendidikan Islam,
Jakarta; Pustaka Firdaus
Asrohah, Hanun. 1999. Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta: Logos
Asrohah, Hanun. Sejarah
Pendidikan Islam,hal. 76
Azra, Azyumardi. 1994. “Pendidikan
Tinggi dan Kemajuan Sains: Sebuah Pengantar”, Pengantar Buku Stanton,
Pendidikan Tinggi dalam Islam, Jakarta; Logos wacana Ilmu
G. A. Beuchamp. 1968. Curriculum
Theory, Wilmete: The Kagg Press
Hamalik,Oemar. 2001. Proses Belajar
Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara
Hasan Fahmi, Asma. 1997.
Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta; Bulan Bintang
K. Hitty, Philip. 1974. History
of The Arab, London: Mac Millan Press
Langgulung, Hasan. 1992. Asas-asas Pendidikan Islam,
Jakarta; Pustaka al-Husna
Madjid,Nurcholis (Ed). 1994. Khazanah
Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang
Michael Stanton, Charles. 1990. Higler
Learning in Islam, Meryland: Rowman and Litle Field
Michael Stanton, Charles. 1994. Pendidikan
Tinggi dalam Islam, Jakarta: Logos.
Nakoesteen,Mehdi. 1996. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual
Barat: Deskriptif Analisis Abad Keemasan Islam, Surabaya; Risalah Gusti
Nata, Abuddin. 2010. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:
Rajawali Press
Rahman, Fazlur. 1995. Islam dan Tantangan
Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, Bandung; Penerbit Pustaka
Rahman,Fazlur. 1994. Islam,
Bandung; Penerbit Pustaka
Soekarno dan Supardi, Ahmad. 1985. Sejarah dan Filsafat Pendidikan
Islam, Bandung: Angkasa
Sudjana, Nana. 1995. Dasar-dasar
Proses Belajar Mengajar, Bandung; Sinar Baru Algesindo,
Syalabi, Ahmad. Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah,
Mesir; Dar al-Fikr al-Arabi
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perpektif Islam,
hal. 53
Zuhairini, et. al. 1992. Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta; Bumi Aksara
[1][1]
Lihat Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah
dan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa, 1985, hal. 54-59
[3][3] Kajian-kajian Filsafat dan penerjemahan
banyak didukung oleh khalifah-khalifah Abbasiyah, seperti Al-Mansur, Al-Rasyid,
Al-Makmun, Al-Watsiq, Al-Mutawakkil dan lainnya. Meskipun gerakan penerjemahan
mengalami puncak keemasannya pada masa pemerintahan Abbasiyyah, akan tetapi
perintisan tersebut sudah dimulai sejak zaman Umayyah di Damaskus —misalnya
disebut-sebut Khalifah Khalid bin Yazid (w. 84 H/ 704 M)— telah mencurahkan
perhatiannya kepada pengkajian filasafat. Lihat Nurcholis Madjid, (Ed), Khazanah Intelektual Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1994, hal. 23.
[8][8]
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 2010: Rajawali Press- hal 113
[9][9] Ibid…29
[10][10]
Kemunculan ini ditandai dengan semakin banyaknya hasil-hasil penelitian yang
dipublikasikan melalui jurnal-jurnal kependidikan. Lihat A. Lewy, (Ed), The International Encyclopedia of
Currikulum, Toronto: Pergamon Press, 1991, hal. 185
[12][12]
Nana Sudjana, Dasar-dasar
Proses Belajar Mengajar, Bandung; Sinar Baru Algesindo, 1995, hal.
1-2.
[13][13]
Kurikulum pada masa Islam klasik dapat dilihat ketika nabi berada di Madinah.
Kurikulum belajar meliputi: belajar menulis, membaca Al-Qur’an, keimanan,
ibadah, akhlak, dasar ekonomi, dasar politik dan kesatuan. Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perpektif
Islam, hal. 53
[14][14]
Retorika ini terbagi menjadi tiga cabang, yaitu al-Ma’ani, al-Bayan, dan
al-Badi’. Hanun Asrohah, Sejarah
Pendidikan Islam,hal. 76
[15][15]
Charles Michael Stanton, Higler
Learning in Islam, Meryland: Rowman and Litle Field, 1990, hal.43
[16][16]
Hasan Langgulung,
Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta; Pustaka al-Husna, 1992,
hal. 113. Lihat juga Asma Hasan Fahmi,
Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta; Bulan Bintang,
1997, hal. 17
[22][22]
Mehdi Nakoesteen, Kontribusi
Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskriptif Analisis Abad Keemasan Islam,
Surabaya; Risalah Gusti, 1996, hal. 73-74.
[26][26]
Mehdi Nakosteen, Kontribusi
Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskriptif Analisis Abad Keemasan Islam,
hal. 73
[29][29]
Ahmad Syalabi, Tarikh
al-Tarbiyah al-Islamiyah, hal. 181-184. Lihat juga, Muhammad
Athiyah Al- Abrasyi , Al-Tarbiyah
al-Islamiyah wa Falasifatuha, Mesir; Isa Al-Babi Al-Halabi, 1975,
hal. 96-98.
[30][30]
Pada dasarnya madrasah ini bukanlah merupakan madrasah yang pertama dilihat
dari berdirinya. Akan tetapi, madrasah ini merupakan madrasah pertama yang
mendapat pengakuan dan dukungan pemerintah, dan sekaligus menjadi cikal bakal
dari madrasah-madrasah sesudahnya. Dan anggapan yang berkembang bahwa Islam
Sunni memperoleh kemenangan berkat dukungan negara tidaklah semuanya benar.
Sebaliknya, kebijakan-kebijakan negara yang baru selalu mengikuti kecenderungan
yang sudah berakar di kalangan masyarakat. Adalah jelas sekali bahwa Dinasti
Fatimiyah, walaupun mereka melakukan usaha-usaha untuk menyebarkan doktrin
Ismailiyah melalui pendidikan dan sarana-sarana lain, akan tetapi gagal untuk
menimbulkan dampak yang berskala besar di masyarakat. Lihat Fazlur Rahman, Islam, hal. 268
[31][31]
Fazlur Rahman, Islam dan
Tantangan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, Bandung;
Penerbit Pustaka, 1995, hal. 39
[32][32]
Azyumardi Azra, “Pendidikan
Tinggi dan Kemajuan Sains: Sebuah Pengantar”, Pengantar Buku Stanton,
Pendidikan Tinggi dalam Islam, Jakarta; Logos wacana Ilmu,
1994, hal. 1X.
Angel dicoasnya, priwen ya caranyo
ReplyDeletekenapa susah dicopinya..........diprotek,,,diselimuti!!!!!
ReplyDelete