SEJARAH PERADABAN ISLAM TENTANG MUAWIYAH BIN ABI SUFYAN (19 th 3 bln 41 H / 661 M : 60 H / 681 M)
Sunday, 31 March 2013
Add Comment
KEPEMIMPINAN MUAWIYAH BIN ABI SUFYAN
A. Biografi
Muawiyah bin Abi Sufyan (19 th 3 bln 41 H / 661 M : 60 H / 681 M)
Dok. Republika |
Muawiyah bin Abi Sufyan merupakan
pendiri Dinasti bani Umayyah. Muawiyah masuk Islam pada saat peristiwa Fathu
Makkah. Muawiyah lahir lahir empat tahun menjelang Rasulullah menjalankan
dakwah di kota Makkah. Riwayat lain menyebutkan ia lahir dua tahun sebelum
diutusnya Muhammad Saw menjadi Nabi. Beberapa riwayat menyatakan bahwa Muawiyah
memeluk Islam bersama ayahnya, Abu Sufyan bin Harb dan ibunya Hindun binti
Utbah tatkala terjadi Fathu Makkah.
Namun riwayat lain menyebutkan,
Muawiyah masuk Islam pada peristiwa Umrah Qadha’ tetapi menyembunyikan keislamannya
sampai peritistiwa Fathu Makkah.
Di masa Rasulullah Saw, ia diangkat sebagai salah seorang pencatat wahyu setelah bermusyawarah dengan Malaikat Jibril. Ambillah dia sebagai penulis wahyu karena dia jujur,” kata Jibril.
Pada masa Khulafaur Rasyidin, Muawiyah diangkat menjadi salah seorang panglima perang di bawah komando utama Abu Ubaidah bin Jarrah. Kaum Muslimin berhasil menaklukkan Palestina, Syria (Suriah), dan Mesir dari tangan Imperium Romawi Timur. Berbagai kemenangan ini terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Al-Khathab.
Ketika Utsman bin Affan menjabat sebagai khalifah
menggantikan Umar, Muawiyah diangkat sebagai gubernur untuk wilayah Syria dan
Palestina yang berkedudukan di Damaskus menggantikan Gubernur Abu Ubaidah bin
Jarrah.
Pada masa pemerintahan Ali, terjadi beberapa konflik antara kaum Muslimin. Di antaranya Perang Shiffin. Perang yang terjadi antara Ali dan Muawiyah ini berakhir dengan perdamaian.
Ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib terbunuh, kaum Muslimin sempat mengangkat putranya, Hasan bin Ali.
Namun melihat keadaan yang tidak
menentu, setelah tiga bulan, akhirnya Hasan mengundurkan diri dan menyerahkan
jabatan khalifah kepada Muawiyah bin Abi Sufyan.
Serah terima jabatan itu berlangsung di kota Kufah. Tahun inilah yang dalam sejarah dikenal dengan Amul Jama’ah (Tahun Kesatuan). Dengan demikian, Muawiyah resmi menjadi khalifah.
Beberapa kalangan ada yang menyebut Muawiyah dengan julukan yang jauh dari akhlak islami. Padahal walau bagaimanapun ia tetap sahabat Rasulullah, yang telah banyak memberikan sumbangan untuk Islam.
Ia ikut di berbagai peperangan, baik di masa Rasuullah atau Khulafaur Rasyidin. Mengenai tudingan yang menjelekkannya, tidak semuanya bisa diterima begitu saja. Bahkan beberapa kebijakan yang oleh sebagian sahabat dianggap ‘menyimpang’ masih bisa dimaklumi. Kendati pun ada, hal itu wajar mengingat ia adalah manusia biasa yang kadang khilaf atau dipengaruhi orang-orang sekitarnya. Semua itu tidak mengurangi keutamaannya sebagai sahabat, bahkan masih terbilang keluarga dekat Rasulullah Saw.
Serah terima jabatan itu berlangsung di kota Kufah. Tahun inilah yang dalam sejarah dikenal dengan Amul Jama’ah (Tahun Kesatuan). Dengan demikian, Muawiyah resmi menjadi khalifah.
Beberapa kalangan ada yang menyebut Muawiyah dengan julukan yang jauh dari akhlak islami. Padahal walau bagaimanapun ia tetap sahabat Rasulullah, yang telah banyak memberikan sumbangan untuk Islam.
Ia ikut di berbagai peperangan, baik di masa Rasuullah atau Khulafaur Rasyidin. Mengenai tudingan yang menjelekkannya, tidak semuanya bisa diterima begitu saja. Bahkan beberapa kebijakan yang oleh sebagian sahabat dianggap ‘menyimpang’ masih bisa dimaklumi. Kendati pun ada, hal itu wajar mengingat ia adalah manusia biasa yang kadang khilaf atau dipengaruhi orang-orang sekitarnya. Semua itu tidak mengurangi keutamaannya sebagai sahabat, bahkan masih terbilang keluarga dekat Rasulullah Saw.
Berikut
biografi Muawiyah :
Nama
: Muawiyah
Julukan
: Abu Abdurrahman
Lahir
: tahun 606 M ( tahun ke-5 sebelum kenabian)
Ayah
: Abu Sufyan
Ibu
: Hindun
Silsilah ayah dan ibu bertemu pada :
Abdu Syam
Silsilah Muawiyah dan Nabi Muhammad
bertemu pada : Abdi Manaf
B. Pengangkatan
Menjadi Kholifah
Karier Politik Muawiyah dimulai
sejak ia masuk Islam yaitu :
●
Pada masa Nabi
Muhammad
: menjadi anggota penulis wahyu
●
Pada masa Kholifah Abu
Bakar :
Panglima perang di wilayah Syam
●
Pada masa Kholifah
Umar
: Gubernur Syiria
●
Pada Masa Kholifah
Utsman
: Gubernur Damaskus dan Syiria
Muawiyah melakukan pemberontakan
pada masa pemerintahan Kholifah Ali, dengan alasan menuntut balas kematian
Utsman, bahkan ia menuduh bahwa Ali terlibat dalam peristiwa pembunuhan
Kholifah Utsman.
Sedangkan Ali beranggapan bahwa
kepemimpinan Muawiyah sebagai gubernur Damaskus banyak melakukan penyelewengan,
selain itu Muawiyah juga berambisi menduduki jabatan Kholifah oleh karena itu
Ali mencopot Muawiyah dari jabatannya sebagai Gubernur Damaskus.
Karena merasa sakit hati maka
Muawiyah melakukan pemberontakan sehingga terjadilah Perang Shiffin, dalam
peperangan ini diakhiri dengan perdamaian / Arbitrase / Tahkim. Namun sayang
dalam peristiwa tahkim ini, pihak Muawiyah melakukan tipu muslihat atas saran
dari Amr bin Ash.
Setelah peristiwa tahkim, pihak Ali
merasa dirugikan dan pendukunh Ali terpecah menjadi 2 kelompok yaitu Syi’ah dan
Khawarij.Orang-orang khawarij melakukan rencana hendak membunuh 3 orang yang
dianggap sebagai dalang perpecahan umat Islam yaitu (Muawiyah bin Abi Sufyan,
Amr bin Ash, dan Ali bin Abi Tholib). Namun rencana tersebut gagal hanya orang yang
bertugas membunuh Ali yang berhasil.
Setelah Ali terbunuh, orang-orang
Syi’ah mengangkat Hasan bin Ali sebagai Kholifah, namun pihak muawiyah menolak.
Disisi lain Hasan tidak berambisi menjadi Kholifah dan tidak mau terjadi
perpecahan berlanjut di tubuh umat Islam, akhirnya Hasan bersedia menyerahkan
kekuasaan kekholifaha kepada Muawiayah.
Hasan bersedia menyerahkan kekuasaan
kepada Muawiyah dengan beberapa syarat yaitu :
1.
Muawiyah tidak menarik pajak dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak
2.
Muawiyah tidak lagi mencacimaki Ali dan keluarganya
3.
Muawiyah menyerahkan sebagian harta Baitul Mal kepada Hasan
4.
Setelah kekholifahan muawiyah berahir, jabatan Kholifah diserahkan kepada umat
Islam.
Muawiyah berjanji memenuhi syarat
tersebut, akhirnya Muawiyah secara resmi diangkat sebagaiKholifah pada tahun
661 H.
C. Gaya
Kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan
Sistem pemerintahan yang dijalankan
pemerintahan bani Umayyah adalah Monarchi Heridities. Yaitu system
pemerintahan kerajaan / turun temurun, hal ini dibuktikan setelah Muawiyah
wafat ia menyerahkan kekuasaan kekholifahan kepada putranya yaitu Yazid bin
Muawiyah.
Hal inilah yang menyebabkan
pemberontakan yang dilakukan oleh Husain bin Ali (saudara Hasan).
Sehingga terjadi perang di padang Karba’ Irak. Dalam perang ini Hasan
beserta seluruh keluarganya terbunuh.
Dalam menjalankan pemerintahan
Muawiyah memang terkenal keras dan otoriter. Namun gaya kepemimpinan inilah
yang menjadikan pemerintahan Islam berjalan stabil karena ia selalu berusaha
menumpas para pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah.
Sejalan dengan watak dan prinsip
Muawiyah tersebut serta pemikirannya yang perspektif dan inovatif, ia membuat
berbagai kebijaksanaan dan keputusan politik dalam dan luar negeri. Dan jejak
ini diteruskan oleh para penggantinya dengan menyempurnakannya. Pertama,
pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus.
Keputusan ini didasarkan pada
pertimbangan politik dan alasan keamanan. Karena letaknya jauh dari Kufah pusat
kaum Syiah pendukung Ali, dan jauh dari Hijaz tempat tinggal mayoritas Bani
Hasyim dan Bani Umayah, sehingga bisa terhindar dari konflik yang lebih tajam
antara dua bani itu dalam memperebutkan kekuasaan. Lebih dari itu, Damaskus
yang terletak diwilayah Syam (Suria) adalah daerah yang berada di bawah
gengaman pengaruh Muawiyah selama 20 tahun sejak ia diangkat menjadi Gubernur
di distirk itu sejak zaman Khalifah Umar bin Khatab.
Kedua, Muawiyah memberi penghargaan
kepada orang-orang yang berjasa dalam perjuangannya mencapai pundak kekuasaan.
Seperti Amr bin Ash ia angkat kembali menjadi Gubernur di Mesir, Al-Mughirah
bin Syu’bah juga ia diangkat menjadi Gubernur diwilayah Persia. Ia juga
memperlakukan dengan baik dan mengambil baik para sahabat terkemuka yang
bersikap netral terhadap berbagai kasus yang ditimbul waktu itu, sehingga
mereka berpihak kepadanya.
Ketiga, Menumpas orang-orang yang
beroposisi yang dianggap berbahaya jika tidak bisa dibujuk dengan harta dan
kedudukan, dan menumpas kaum pemberontak. Ia menumpas kaum Khawarij yang
merongsong wibawa kekuasaannya dan mengkafirkannya. Golongan ini menunduhnya
tidak mau berhukum kepada Al-Qur’an dalam mewujudkan perdamaian dengan Ali
diperang Shiffin melainkan ia mengikuti ambisi hawa nafsu politiknya.
Keempat, membangun kekuatan militer
yang terdiri dari tiga angakatan, darat, laut dan kepolisian yang tangguh dan
loyal. Mereka diberi gaji yang cukup, dua kali lebih besar dari pada yang
diberi pada yang diberikan Umar kepada tentaranya. Ketiga angkatan ini bertugas
menjamin stabilitas keamanan dalam negeri dan mendukung kebijaksanaan politik
luar negeri yaitu memperluas wilayah kekuasaan.
Kelima, meneruskan wilayah kekuasaan Islam baik ke Timur maupun ke Barat. Perluasan wilayah ini diteruskan oleh para penerus Muawiyah, seperti Khalifah Abd al-Malik ke Timur, Khalifah al-Walid ke Barat, dan ke Perancis di zaman Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Perluasan wilayah dizaman Dinasti ini merupakan ekspansi besar kedua setelah ekspansi besar pertama di zaman Umar bin Khattab.
Daerah-daerah yang dikuasai umat
Islam dizaman Dinasti ini meliputi Spanyol, Afrika Utara, Suria, Palestina,
Semenanjung Arabia, Irak, sebahagian dari Asia Kecil, Persia, Afganistan,
daerah yang sekarang disebut Pakistan, Rurkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia
Tengah dan pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah, sehingga Dinasti ini
berhasil membangun Negara besar di zaman itu.
Bersatunya berbagai suku bangsa di
bawah naungan Islam melahirkan benih-benih peradaban baru yang bercorak Islam,
sekalipun Bani Umayah lebih memusatkan perhatiannya kepada pengembangan
kebudayaan Arab. Benih-benih peradaban baru itu kelak berkembang pesat di zaman
Dinasti Abbasiyah sehingga Dunia Islam menjadi pusat peradaban dunia selama berabad-abad.
Keenam, baik Muawiyah maupun para
penggantinya membuat kebijaksanaan yang berbeda dari zaman Khulafa al-Rasyidin.
Mereka merekrut orang-orang non-musim sebagai pejabat-pejabat dalam
pemerintahan, seperti penasehat, administrator, dokter dan dikesatuan-kesatuan
tentara. Tapi di zaman Khulafaur Umar bin Abd al-Aziz kebijaksanaan itu ia
hapuskan. Karena orang-orang non-Muslim (Yahudi, Nasrani, Majusi) yang
memperoleh privilege di dalam pemerintahan banyak merugikan kepentingan umat
Islam bahkan menganggap rendah mereka. Didalam Al-Qur’an memang terdapat
peringatan-peringatan yang tidak membolehkan orang-orang mukmin merekrut
orang-orang non-muslim sebagai teman kepercayaan dalam mengatur urusan
orang-orang mukmin.
Ketujuh, Muawiyah mengadakan pembaharuan
dibidang administrasi pemerintahan dan melengkapinya dengan jabatan-jabatan
baru yang dipengaruhi oleh kebudayaan Byzantium.
Kedelapan, Kebijaksanaan dan
keputusan politik penting yang dibuat oleh Khalifah Muawiyah adalah Mengubah
system pemerintahan dari bentuk Khalifah yang bercorak Demokratis menjadi
system Monarki dengan mengankat putranya, Yazid, menjadi putra Mahkota untuk
menggantikannya sebagai Khalifah sepeninggalnya nanti. Ini berarti suksesi
kepemimpinan berlansung secara turun-temurun yang diikuti oleh para pengganti
Muawiyah.
Dengan demikian ia mempelopori
meninggalkan tradisi di Zaman Khulafa al-Rasyidin dimana Khalifah ditetapkan
melalui pemilihan oleh umat. Lebih dari itu Muawiyah telah melanggar asas
musyawarah yang diperintahkan oleh Al-Qur’an agar segala urusan diputuskan
melalui musyawarah.
Karena itu keputusan politik Muawiyah itu mendapat protes
dari umat Islam golongan Syi’ah, pendukung Ali, Abd al-Rahman bin Abi Bakar,
Husein bin Ali, dan Abdullah bin Zubeir. Bahkan kalangan tokoh masyarakat
Madinah mengadakan dialog dengan Muawiyah. Mereka menyarankan agar ia mengikuti
jejak Rasulullah atau Abu Bakar dan atau Umar dalam urusan Khalifah tidak
mendahulukan kabilah dari umat. Muawiyah tidak mengubris saran ini. Alasan yang
dikemukakan karena ia khawatir akan timbul kekacauan, dan akan mengancam
stabilitas keamanan kalau ia tidak mengangkat putra mahkota sebagai
penggantinya.
Keputusan ini direkayasa oleh
Muawiyah seolah-seolah mendapatkan dukungan dari para pejabat penting pemerintah.
Ia memanggil para Gubernur datang ke Damaskus agar mereka membuat semacam
“kebulatan tekad” mendukung keputusannya. Ia meminta salah seorang gubernur
yang bernama Al-Dhahhak bin Qais al-Fahri agar, setelah ia (Muawiyah) berpidato
dan memberi nasehat dalam suatu pertemuan, minta izin berbicara dengan memuji
Allah dan menyatakn, Yazid adalah orang yang pantas memangku jabatan khalifah
setelah Muawiyah. Kepada para Gubernur lain diminta oleh Muawiyah agar
membenarkan ucapan Dhahhak. Mereka memenuhi perintah itu, kecuali Gubernur
Ahnaf bin Qais.
Walaupun Muawiyah mengubah system
pemerintahan menjadi monarki, namun dinasti ini tetap memakai gelar khalifah.
Bahkan Muawiyah menyebut dirinya sebagai Amir al-Mu’minin. Dan status jabatan
Khalifah diartikan sebagai “Wakil Allah” dalam mempimpin umat dengan
menggantikannya kepada Al-Qur’an (surat al-Baqarah ayat 30). Atas dasar ini
Dinasti menyatakan bahwa keputusan-keputusan khalifah didasarkan atas perkenaan
Allah. Siapa yang menentangnya adalah kafir.
Pengelolaan administrasi pemerintahan dan struktur pemerintahan Dinasti Bani Umayah merupakan penyempurnaan dari pemerintahan Khulafaur Rasyidin yang diciptakan oleh Khalifah Umar. Wilayah kekuasaan yang luas itu, sebagaimana pada periode Negara madinah, dibagi menjadi beberapa wilayah provinsi. Setiap provinsi dikepalai oleh Gubernur dengan gelar wali atau amir yang diangkat oleh Khalifah. Gubernur didampingi oleh seorang atau beberapa katib (sekretaris), seorang hajib (pengawal) dan pejabat-pejabat penting lain, yaitu shahib al-kharaj (pejabat pendapatan), shahib al-syurthat (pejabat kepolisian), dan qadhi (kepala keagamaan dan hakim). Pejabat pendapatan dan qadhi diangkat oleh khalifah dan bertanggung jawab kepadanya.
Di tingkat pemerintahan pusat dibentuk beberapa lembaga dan departemen, al-katib, al-hajib dan diwan. Lembaga al-katib terdiri dari katib al-rasail (Sekretaris Negara), katib al-kharaj (sekretaris Pendapatan Negara), katib al-jund (sekretaris militer) katib al-syurthat (sekretaris kepolisian) dan katib al-qadhi (panitera). Katib al-rasail dianggap paling penting posisinya. Karena itu pejabatnya selalu orang terpercaya dan pandai serta dari keluarga kerajaan.
Para katib betugas mengurus administrasi Negara secara baik dan rapih untuk mewujudkan kemaslahatan Negara. Al-Hanib (pengawal dan kepala rumah tangga istana) bertugas mengatur para pejabat atau siapapun yang ingin bertemu dengan khalifah. Lembaga ini belum dikenal dizaman Negara Madinah. Karenanya siapa saja boleh bertemu dan berbicara langsung dengan khalifah tanpa melalui birokrasi. Tapi ada tiga orang yang boleh langsung bertemu dengan khalifah tanpa hijab, yaitu muzin untuk memberitahukan waktu shalat kepada khalifah. Shahib al-barid (pejabat pos) yang membawa berita-berita penting untuk khalifah, dan shahib al-tha’am, petugas yang mengurus hal-ihwal makanan di istana. Lembaga al-syurthat yang dipimpin oleh shihab al-syurthat bertugas memilihara keamanan masyarakat dan Negara.
Lembaga lain adalah dibidang pelaksanaan hukum, yaitu Al-Nizham al-qadhai terdiri dari tiga bagian, yaitu al-qadha, al-hisbat dan al-mazhalim. Badan al-qadha dipimpin oleh seorang qadhi yang bertugas membuat fatwa-fatwa hukum dan peraturan yang digali langsung dari al-Qur’an, Sunnah Rasul, atau Ijmak dan atau Ijtihad. Badan ini bebas dari pengaruh penguasa dalam menetapkan keputusan hukum terhadap para pejabat, pegawai Negara yang melakukan pelanggaran. Pejabat badan al-hisbat disebut al-muhtasib, tugasnya menangani krimininal yan perlu penyelesaian segera.
Pejabat badan al-mazhalim disebut
qadhi al-mazhalim atau shahib al-mazhalim. Kedudukan badan ini lebih dari
al-qadha dan al-hisbat. Karena badan ini bertugas meninjau kembali akan
kebenaran dan keadilan keputusan-keputusan hukum yang dibuat oleh qadhi dan
muhtasib. Bila ada suatu kasus perkara yang keputusannya dianggap perlu
ditinjau kembali baik perkara seorang rakyat maupun pejabat yang menyalagunakan
jabatannya, badan ini menyelenggarakan mahkamat al-mazhalim yang mengambil
tempat di masjid. Sidang ini dihadiri oleh lima unsur lengkap, yaitu para
pembantu sebagai juri, para hakim, para fuqaha, para katib dan para saksi, yang
dipimpin oleh qadhi al-mazhalim.
Berarti pemerintahan Dinasti Umayah,
sebagaimana pada periode Negara Madinah, peradilan bebas tetap dilaksanakan.
Didalam tubuh organisasi pemerintahan Dinasti Umayah juga dibentuk beberapa diwan atau departemen. 1). Diwan al-Rasail, departemen yang mengurus surat-surat Negara dari Khalifah kepada para Gubernur atau menerima surat-surat dari Gubernur. Departemen ini memiliki dua sekretariat, untuk pusat menggunkan bahsa Arab, dan untuk daerah menggunakan bahasa Yunani dan bahasa Persia. Tapi pada masa Khalifah Abd al-Malik diadakan arabisasi, yaitu hanya menggunakan bahasa Arab dalam surat-surat Negara.
Politik arabisasi ini berlanjut pada masa
putranya, Khalifah Al-Walid, yaitu penggunaan bahasa Arab sebagai linguafranca
dan bahsa ilmu pengetahuan untuk seluruh wilayah pemerintahan. Pengaruhnya
berlanjut sampai sekarang. Misalnya Mesir dan Irak menggunakan bahasa Pahlawi
dan Kpti, dan Damaskus bahasa Greek, kini menggunakan bahasa Arab.
Kebijaksanaan ini mendorong seorang ulama, sibawaih, untuk menyususn Al-Kitab
yang selanjutnya menjadi pegangan dalam soal tata bahasa Arab.
Diwan al-Khatim, departemen pencatatan yang
bertugas menyalin dan meregistrasi semua keputusan khalifah atau
peraturan-peraturan pemerintah untuk dikirim kepada pemerintahan di daerah. 3).
Diwan al-Kharaj, usyur, zakat, jizyah, fa’I dan ghanimah dan sumber lain. Semua
pemasukan keuangan yang diperoleh dari sumber-sumber itu disimpan di Baitul Mal
(kantor perbendaharaan Negara. 4).
Diwan al-Barid, departemen pelayanan
pos bertugas melayani informasi tentang berita-berita penting di daerah kepada
pemerintahan pusat dan sebaliknya, sehingga khalifah dapat mengetahui apa yang
terjadi di daerah dan memudahkannya untuk mengontrol jalannya pemerintahan di
daerah. 5). Diwanul al-jund, departemen pertahanan yang bertugas mengornisir
militer. Personilnya mayoritas orang-orang Arab.
D. Jasa
Peninggalan Kholifah Muawiyah bin Abi Sufyan
Pada masa Umayyah, baitul Mal = Lembaga
pemerintahan yang bertugas mengurus masalah keuangan Negara, beralih fungsi
dari harta hak seluruh rakyat menjadi harta kekayaan pribadi kholifah.
Adapun kebijakan-kebijakan yang
dilakukan pada masa pemerintahan Kholifah Muawiyah antara lain adalah :
1.
Pembentukan Diwanul Hijabah
Bertugas memberikan pengawalan
khusus terhadap Khlifah, hal ini dikarenakan kekhawatiran muawiyah melihat 3
kholifah sebelumnya meninggal karena terbunuh
2.
Pembentukan Diwanul Khatam
Bertugas mencatat semua kebijakan
Kholifah mengantisipasi peristiwa pembunuhan Kholifah Utsman yang disebabkan
Surat misterius
3.
Pembentukan Diwanul Barid
Departemen pos yang bertugas
mengantarkan surat-surat resmi pemerintah
4.
Pembentukan Shohibul Kharaj
Bertugas memungut pajak dari rakyat.
Daftar Pustaka
Pulungan, J Suyuthi . 2002. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta
Pulungan, J Suyuthi . 2002. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta
Syalabi, Ahmad. 1998. Sejarah dan
Kebudayaan Islam. Jilid I. terjemahan Muchtar Yahya dan Sanusi Latif. Pustaka
Al-Husna: Jakarta.
Nasution, Harun. 1986. Islam
Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid I. UI-Press: Jakarta.
Islam. Jilid I. Departemen Agama RI.
Islam. Jilid I. Departemen Agama RI.
0 Response to "SEJARAH PERADABAN ISLAM TENTANG MUAWIYAH BIN ABI SUFYAN (19 th 3 bln 41 H / 661 M : 60 H / 681 M) "
Post a Comment