MAKALAH TARIKH TASYRI
Sunday, 23 September 2012
Add Comment
Tasyri’ Pada Masa Khulafaurrasyidin dan Faktor-faktor Penyebab Perkembangannya
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada masa dimana
wafatnya rasul suatu kereta pemerintahan mulai di kendalikan oleh
sahabat-sahabatnya. Memang diakui atau tidak fakta sejarah mengatakan bahwa
rasul tidak pernah menunjuk seorangpun sebagai pengganti beliau dalam roda
kepemimpinan pemerintahan Islam. Akan tetapi, sumbang kepedulian sahabat pada
tatanan Islam yang memang sudah dibentuk sedemikian rupa oleh rasululloh,
mereka mulai berfikir bagaimana supaya agar tatanan Islam yang memang sudah
dibentuk tidak pudar dan tetap langgeng. Dari situ, sahabat mulai memilih salah
satu sahabat dan Abu Bakarlah yang pertama terpilih sebagai khalifah pertama
disusul kemudian oleh Umar Bin Khathab, Utsman Bin Affan, dan yang terakhir
adalah Ali Bin Abi Tholib.
Sahabat adalah sebagai
generasi Islam pertama, yang meneruskan ajaran dan misi kerasulan, dimana ia
dalam menentukan hokum Islam selalu berpegang pada fatwa rasul yang telah ada.
Akan tetapi dari satu sisi itu pula sahabat menemukan yang memang dalam fatwa
rasul tidak ada, mereka berupaya untuk berijtihad tetapi masih dalam takaran
syariat keislaman yang di sandarkan pada Al-Quran dan Al-Hadits.
Tasyri’ pada masa
sahabat sudah dimulai oleh nuansa politik, dimana suatu penetapan hokum juga
sudah berbau politik. Dimana dulu ketika rasul masih hidup semua permasalahan
langsung di pertanyakan pada Rasul. Dan mungkin pula ada banyak perbedaan
penentuan hokum melihat pada tatanan social politik kala itu. Mereka sudah
mulai berinterpretasi tentang Al-Quran dan al-Hadits demi maslahatul umat yang
di lihat pada tatanan sosialnya
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kondisi
tasyri’ pada masa khulafaurrasyidin, dan faktor-faktor penyebab
perkembangannya?
2. Apa saja yang
menjadi sumber tasyri’ pada masa khulafaurrasyidin?
3. Bagaimana
karakteristik tasyri’ pada masa khulafaurrasyidin?
4. Apakah sebab-sebab
timbulnya perbedaan pendapat di kalangan sahabat?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kondisi Tasyri’ Pada
Masa Khulafaurrasyidin dan Faktor-faktor Penyebab Perkembangannya
Apabila tahap pertumbuhan
dan perkembangan hokum Islam diamati sesudah periode Nabi Muhammad saw dalam
literatur hukum Islam, maka ditemukan beberapa pendapat berdasarkan sudut
pandang, di antaranya ada pendapat yang mengungkapkan 4 (empat) tahapan, yaitu
(a) Masa Khulafaurrasyidin (632-662 M); (b) Masa Pembinaan, pengembangan dan
pembukuan (abad ke 7-10 M); (c) Masa kelesuan pemikiran (abad ke 10-19M); (d)
Masa kebangkitan kembali ( abad ke 19 M sampai saat ini).
Masa Khulafaurrasyidin
(632 M-662 M) ditandai dengan wafatnya Nabi Muhammad saw, yaitu berhenti wahyu
turun. Wahyu diturunkan oleh Alloh SWT kepada Nabi Muhammad saw melalui
Malaikat Jibril selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, baik wahyu yang turun di Mekah
maupun di Madinah. Demikian juga hadis dan/atau sunnah berakhir pula dengan
meninggalnya Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, kedudukan Nabi Muhammad saw
sebagai Nabi dan Rasul Alloh tidak dapat digantikan oleh manusia lainnya
termasuk sahabatnya. Namun, tugas beliau sebagai pemimpin masyarakat Islam
sekaligus sebagai kepala negara harus di lanjutkan oleh orang lain. Pengganti
Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin masyarakat dan kepala negara disebut
khalifah. Pejabat kekhalifahan yang disebut Khulafaurrasyidin ini silih
berganti selama empat periode, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddieq, Umar bin Khattab,
Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Periode kekuasaan
pemerintahan Nabi Muhammad saw hanya meliputi semenanjung Arabia, tetapi
periode Khulafaurrasyidin meliputi wilayah arab dan non-Arab, sehingga masalah
yang muncul semakin kompleks sementara ketetapan hokum yang rinci di dalam
Al-Quran dan al-Hadits terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, Khulafaurrasyidin
menghadapi banyak masalah yang tadinya tidak terdapat di masyarakat Arab.
Misalnya masalah pengairan, keuangan, kemiliteran, pajak, cara penetapan hokum
di pengadilan, dan lain-lain budayahukum di Damaskus, Mesir, Irak, Iran,
Maroko, Samarkan, Andalusia dan lain-lain. Pada masa inilah mulai muncul
interpretasi terhadap nash-nash Al-Quran yang diterima oleh Rosululloh saw, dan
terbukalah pintu istinbat terhadap masalah-masalah yang tidak ada didalam nash
secara jelas. Dalam masa ini pula Islam mulai berkembang pesat meluas sampai
ke-Timur dan ke-Barat, sahabat-sahabat besar dalam masa ini mencoba untuk
menginterpretasikan nash-nash hokum baik dalam Al-Quran maupun Al-hadits, yang
kemudian menjadi pegangan untuk menta’wil nash-nash yang belum jelas itu.
Selain dari pada itu para sahabat besar memberikan fatwa-fatwa dalam berbagai
masalah dalam kejadian-kejadian sosial maupun politik yang tidak ada kejelasan
dalam nash mengenai hal itu, yang kemudian itu menjadi dasar sebagai bahan
untuk berijtihad. Para sahabat juga dapat dikatakan sebagai musyari’ yaitu
menerangkan hal dan tidak ketinggalan memberikan fatwa dalam urusan-urusan yang
tercantum secara tersurat dalam nash. Jika ini semua di hadapkan pada kita,
maka tidak sepatutnya kita merasakan keheranan, sebab mereka dalam
kesehariannya selalu bergaul dengan Nabi, sehingga mereka menyaksikan dan
mengetahui asbabun-nuzul serta asbabul-wurud suatu hadits melebihi pengetahuan
ulama-ulama’ sesudahnya. Bahkan Khulafaurrasyidin bergabung dalam kelompok yang
biasa diajak bermusyawarah oleh Rosululloh saw. Karena itulah maka munculah
kepercayaan umat yang perlu di simak, pada periode ini fatwa-fatwa dan masail
fiqhiyah masih dicampur dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah istidlal. Memang
hal seperti ini perlu di acungi jempol, tetapi bukan berarti Khulafaurrasyidin
memiliki wewenang mutlak untuk mengganti syari’at yang telah di ajarkan oleh
Nabi. Penetapan-penetapan pada waktu itu sebagian besar hanya bersifat
melanjutkan apa yang pernah diperbuat oleh Nabi, kecuali mengenai beberapa
peristiwa yang pada zaman Nabi belum ada.
Sebelum mengetahui
pengaruh fatwa terhadap perkembangan hokum, terlebih dahulu kita perlu
mengetahui persoalan-persoalan penting yang dihadapi oleh sahabat. Berikut di
antara persoalan penting yang di hadapi oleh sahabat.
a. Sahabat khawatir
akan kehilangan Al-Quran karena banyaknya sahabat yang hafal Al-Quran meninggal
dunia dalam perang melawan orang-orang murtad.
b. Sahabat
mengkhawatirkan terjadinya ikhtilaf sahabat terhadap Al-Quran akan seperti
ikhtilaf Yahudi dan Nasrani yang terjadi sebelumnya.
c. Sahabat takut akan
terjadi pembohongan terhadap Sunnah Rosululloh Saw.
d. Sahabat khawatir
umat Islam akan menyimpang dari hukum Islam.
e. Sahabat menghadapi
perkembangan kehidupan yang memerlukan ketentuan syariat, karena Islam adalah
petunjuk bagi mereka tetapi belum ditetapkan ketentuannya dalam Al-Quran dan
Sunnah.
Pada masa ini
perkembangan Islam semakin luas ke segala arah, sehingga banyak ditemukan
kasus-kasus baru yang memerlukan pemecahan atau penyelesaian. Pada kesempatan
inilah para sahabat utama tampil sebagai mufti ( konsultan ) dalam masalah
hukum dengan memberikan fatwa-fatwa kepada masyarakat, karena merekalah yang
banyak berinteraksi dengan Rosululloh Saw. Merekalah yang paling sering
mengikuti kegiatan Rasul serta paling sering menyaksikan sebab-sebab turunnya
suatu ayat ( asbabun-nuzul ) dan keluarnya hadits. Diantara mereka ada yang
menjadi peserta sidang dalam mesyawarah-musyawarah yang di selenggarakan
Rosululloh Saw. Diantara para sahabat yang bertindak sebagai mufti antara lain
:
1. Di Madinah : Zaid bin
Tsabit, Ubai bin Kaab, Abdulloh bin Umar dan Siti Aisyah.
2. Di Makkah : Abdulloh
bin Abbas.
3. Di Kuffah : Ali bin
Abi Thalib dan Abdulloh bin Mas’ud.
4. Di Syam : Mu’adz bin
Jabbal dan Ubadan bin Shamir.
5. Di mesir : Abdulloh
bin Ammar.
Pada mulanya para mufti
berdomisili di Madinah, dengan berkembangnya syiar Islam, maka mereka berpencar
ke daerah-daerah maupun ke kota-kota. Para sahabat, khususnya periode ini,
memainkan peranan yang sangat penting dalam membela dan mempertahankan agama.
Mereka tidak sekedar melestarikan “tradisi hidup” Nabi, tetapi juga melebarkan
sayap dakwah Islam hingga ke negeri Persia, Irak, Syam dan Mesir. Ini untuk
pertama kalinya fiqih di hadapkan dengan persoalan baru, penyelesaian atas
masalah moral, etika, kultural dan kemanusiaan dalam suatu masyarakat yang
pluralistik.
Agaknya inilah faktor
yang terpenting yang mempengaruhi perkembangan fiqih pada periode ini.
Daerah-daerah yang di buka dan “diislamkan” saat itu memiliki perbedaan masalah
kultural, tradisi, situasi dan kondisi yang menghadang para Fuqaha, sahabat
untuk memberikan “hukum” pada persoalan-persoalan baru yang muncul belakangan.
Para Khulafaurrasyidin
dengan tingkat pemahaman yang tinggi terhadap Al-Quran dan Sunnah, menyikapi
persoalan-persoalan yang dating dengan langsung merujuk kepada Al-Quran dan
As-Sunnah. Adakalanya mereka menemukan nash dalam Al-Quran dan Hadits secara
tersurat, tetapi juga tidak jarang mereka menemukan dalam dua sumber syariat
Islam tersebut. Kondisi yang demikian ini yang mendorong mereka secara paksa
untuk berjuang menggali kaidah-kaidah dasar dan tujuan moral dari berbagai
tema-tema dalam Al-Quran dan Hadits untuk di aplikasikan terhadap
persoalan-persoalan baru.
Konsekuensi lain dari
perluasan wilayah Islam adalah bercampurnya orang-orang Arab dengan yang
lainnya. Sebagian dari mereka banyak yang memeluk Islam, tetapi sebagian tetap
pada agama dan kepercayaan masing-masing. Dari sinimuncul suatu tuntutan untuk
menetapkan hukum baru yang mengatur hubungan orang-orang Islam dengan orang-orang
non-muslim. Para Fuqaha untuk kesekian kalinya berusaha merumuskan bagaimana
Islam mengatur pluralitas hidup seperti ini, termasuk disini adalah persoalan
baru yang belum pernah terjadi pada era kenabian disamping belum ada sumber
hukum yang secara jelas-jelas merinci hukum masalah ini
B. Sumber-sumber
Tasyri’ Pada Masa Khulafaurrasyidin
Sumber atau dalil hukum
Islam yang digunakan pada zaman sahabat adalah (a) Al-Quran; (b) Sunnah, dan
(c) Ijtihad (ra’yu). Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk kolektif,
disamping individual. Dalam melakukan ijtihad kolektif, para sahabat berkumpul
dan memusyawarahkan hukum suatu kasus. Hasil musyawarah sahabat disebut Ijmak.
Al-Quran pada masa ini sudah dibukukan, yaitu pada masa Utsman bin Affan
setelah dipertimbangkan akan kemaslahatannya yang lebih besar. Adapun smber
hukum Islam yang kedua adalah Hadits, yang ketika itu belum dibukukan, sebab
dikhawatirkan akan bercampur dengan Al-Quran. Meski demikian upaya untuk
pemeliharaan tetap dilakukan, sehingga kenbenaran riwayatnya dijamin. Abu Bakar
misalnya, beliau tidak mau menerima hadits dari seseorang kecuali mendapat
pengakuan dan pengetahuan dari orang lain yang terpercaya. Umar bin Khattab
menuntut adanya bukti-bukti bahwa hadits tersebut datang dari Rasululloh,
demikian juga Ali bin Abi Thalib, beliau senantiasa menyumpah perawinya.
Kemudian sumber hukum yang ketiga adalah ijtihad. Para sahabat dalam
berpendapat tidak selalu sama, artinya pendapat mereka kadang-kadang berbeda.
Misalnya, Ali dan Ibnu Abbas berbeda pendapat dengan Umar bin Khattab dalam
masalah ‘iddah. Dalam surat Al-Baqarah ayat 234 disebutkan bahwa wanita yang
ditinggal mati oleh suaminya ‘iddahnya 4 bulan 10 hari, kemudian dalam surat
At-Thalaq ayat 4 dijelaskan bahwa wanita yang hamil ‘iddahnya sampai dia
melahirkan. Lalu persoalannya, bagaimana kalau ada wanita hamil dan ditinggal
mati oleh suaminya. Menurut Ali dan Ibnu Abbas ‘iddahnya diambil yang lebih
panjang diantara dua masalah tersebut ( 4 bulan 10 hari dan sampai melahirkan),
sementara menurut Umar, ‘iddahnya sampai melahirkan.
Kita ketahui secara
pasti bahwa kasus-kasus yang telah ditetapkan hukumnya oleh para sahabat sangat
banyak jumlahnya. Kasus-kasus bermunculan, pembahasan terus dilakukan, namun
tidak satu masalahpun yang tertinggal tanpa diberikan ketetapan hukumnya. Untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan baru, para sahabat kembali kepada Al-Quran
dan Sunnah Nabi. Para sahabat banyak yang hafal Al-Quran, kendati pernah timbul
keresahan ketika banyak yang gugur menghadapi peperangan, karenanya kembali
kepada Al-Quran itu mudah.Hadits memang diriwayatkan dan dihafalkan, tetapi
nasib hadits tidak sebagus Al-Quran karena perhatian mereka lebih terpusat pada
Al-Quran, disamping dihafal Al-Quran juga ditulis sebagai antisipasi hilangnya
Al-Quran karena banyaknya orang-orang Islam yang hafal Al-Quran gugur dalam
pertempuran. Dan dengan tujuan penulisan ini pula ditemukannya keseragaman
Al-Quran dalam bacaan dan penulisan. Mushaf yang diusahakan oleh Khalifah
Utsman ( 624-630 M ) itu disebut Mushaf Utsmani. Sedangkan penulis hadits
secara tertib berjarak lebih dari satu abad dari penulisan Al-Quran. Namun
demikian sumber hhukum Islam di masa ini adalah Al-Quran dan Al-Sunnah.
Berdasarkan kedua sumber itulah para Sahabat dan Khalifah berijtihad dengan
menggunakan akal pikiran.
Alasan para sahabat
kembali kepada Al-Quran dan Al-Sunnah ialah karena banyaknya ayat-ayat Al-Quran
yang memeritahkan taat kepada Alloh dan Rasul, mengembalikan sesuatu yang
dipertentangkan kepada Alloh dan Rasul, serta berserah kepada apa yang telah
ditetapkan oleh Alloh dan Rasul.
Alasan para sahabat
melakukan ijtihad, ialah karena mereka melihat Rasululloh melakukan ijtihad
bila wahyu Ilahi tidak turun. Suatu ketika Rasul mengutus Mu’adz ibn Jabal ke
Yaman. Rasul bertanya kepada Mu’adz, “Dengan apa Engkau menghukumi sesuatu?”
Jawab Mu’adz, “Saya menghukumi dengan Kitab Alloh.” Rasul bertanya, ”Jika tidak
kamu jumpai (dalam Kitab Alloh)?” Jawab Mu’adz, “Saya menghukumi dengan Sunnah
Rasululloh.” Rasul bertanya, “Jika tidak kamu jumpai(dalam Sunnah Rasululloh)?”
Jawab Mu’adz, “Saya berijtihad dengan pendapatku.” Kemudian Rasul
membenarkannya seraya memuji Alloh atas limpahan Taufik-Nya.
C. Karakteristik
Tasyri’ Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Tidak setiap orang
Islam mampu mengembalikan berbagai persoalan pada materi undang-undang serta
mampu memahami hukum-hukum yang ditunjuk oleh Nash. Ini bias dimaklumi karena,
dari aspek pertama, terdapat umat Islam yang tergolong “awam”, yang baru bias
memahami nash melalui perantara orang yang lebih “pandai” dan memahami seluk
beluk penafsiran nash.
Aspek kedua ialah,
bahwa materi undang-undang belum tersebar di kalangan umat Islam secara merata.
Nash-nash Al-Quran pada permulaan periode ini baru dibukukan dalam
lembaran-lembaran khusus yang disimpan di rumah Rasuldan di rumah sementara
sahabatnya, sedangkan Al-Sunnah sama sekali belum dibukukan.
Aspek ketiga ialah,
bahwa materi undang-undang mensyariatkan hukum bagi kejadian dan urusan
peradilan yang terjadi ketika di-tasyri’kannya hukum-hukum itu, tidak
mensyariatkan hukum-hukum bagi peristiwa yang dibayangkan kemungkinan
terjadinya.
Dengan adanya tiga
sebab itu, maka para pemuka sahabat berpendapat bahwa di atas pundak merekalah
kewajiban tasyri’ wajib mereka tegakkan. Kewajiban dimaksud adalah memberi
penjelasan kepada umat Islam mengenai hal-hal yang memerlukan penjelasan dan
penafsiran dari nash-nash Al-Quran dan Al-Sunnah, dan menyebarluaskan di
kalangan umat Islam apa yang mereka hafal dari ayat Al-Quran dan Hadits Rasul,
serta memberi fatwa hukum kepada orang-orang dalam peristiwa-peristiwa hukum
dan urusan-urusan peradilan yang tidak ada nashnya. Mereka itulah tokoh-tokoh
pengendali kekuasaan tasyri’ dalam periode ini, dan mereka itulah yang
menggantikan Rasul dan tempat bertanya umat Islam tentang berbagai persoalan.
Para pemuka sahabat memangku hak tasyri’ bukan karena pengangkatan Khalifah
atau pemilihan umat, melainkan karena keistimewaan pribadi yang di milikinya.
Para sahabat telah lama bergaul dengan Rasul, serta menghafal Al-Quran dan
Al-Sunnah, para sahabat menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat dan sebab-sebab
datangnya Sunnah, banyak di antara mereka adalah teman bermusyawarah Rasul
dalam berijtihad. Karena keistimewaan inilah, maka para sahabat mampu
menjelaskan nash-nash dan mampu berijtihad dalam persoalan yang tidak ada
rujukan nashnya. Para sahabat adalah tempat bertanya umat Islam, dan umat Islam
mempercayai apa yang dating dari para sahabat, baik yang berupa penjelasan
maupun yang berupa fatwa.
Perkembangan tasyri’
pada masa Khulafaurrasyidin pada periode Abu Bakar, tasyri’ tidak banyak
mengalami perkembangan, periode ini lebih menekankan konsolidasi kedalam dari
pada melakukan ekspansi. Adapun metode yang di pakai Abu Bakar dalam menetapkan
hukum adalah apabila masalah tersebut tidak ada dalam nash, maka Abu Bakar
mengumpulkan para sahabat dalam majlis tasyri’, dari hasil majlis tersebut maka
di anggap sebagai keputusan bersama dan harus dijalankan oleh ummat Islam waktu
itu, sehingga perbedaan pendapat tidak banyak terjadi pada periode ini. Masa
pemerintahan Khulafaurrasyidin ini sangat penting dilihat dari perkembangan
hukum Islam, karena dijadikan model atau contoh oleh generasi-generasi
berikutnya, terutama generasi ahli hukum Islam di zaman mutakhir ini, tentang
cara mereka menemukan dan menerapkan hukum Islam pada waktu itu.
Umat Islam telah
berusaha sungguh-sungguh dalam meriwayatkan ayat Al-Quran, dan mengisnadkan
para perawinya, sehingga tidak timbul perbedaan sama sekali dalam segi ini.
Adapun sumber perundang-undangan yang kedua, yaitu nash-nash hukum dalam
Al-Sunnah belum di bukukan pada periode ini, sebagaimana Al-Sunnah secara
keseluruhan juga belum di bukukan. Dalam periode ini Khalifah kedua yakni ‘Umar
Ibn Khattab, telah memikirkan pembukuan Al-Sunnah. Namun, sesudah beliau
bertukar pikiran dan bermusyawarah dengan para sahabat, beliau khawatir
terhadap pembukuan Al-Sunnah. Mengapa? Karena waktu itu hanya dikenal satu
versi Al-Sunnah dari ‘Abdullah Ibn ‘Amr Ibn Al-‘Ash yang mempunyai sebuah
lembaran bernama Al-Shadiq, yang menghimpun hadits-hadits yang di dengar dari
Rasululloh. Pengumpulan hadits dan rencana pembukuan Al-Sunnah dilakukan oleh
para sahabat dengan sangat hati-hati dan selektif, terutama dari aspek
perawinya. Abu Bakar hanya menerima hadits dari seorang perawi yang benar-benar
di perkuat oleh seorang saksi. Umar Ibn Khattab meminta si perawi hadits
mendatangkan bukti bahwa ia benar-benar telah meriwayatkannya, sedangkan Ali
Ibn Abi Thalib meminta agar si perawi hadits bersumpah. Namun demikian, sikap
hati-hati ini belum dapat merealisir tujuan yang sebenarnya, yaitu pembukuan
Al-Sunnah.
Dalam periode (ijtihad)
sahabat, belum ada pembukuan terhadap atsar-atsar mereka sedikitpun. Nilai
fatwa para sahabat merupakan pendapat perseorangan; jika benar maka berasal
dari Alloh, tetapi jika keliru berasal dari pribadi para sahabat itu sendiri.
Para sahabat tidak mengharuskan siapa pun khususnya umat Islam untuk mengikuti
fatwanya.
D. Sebab-sebab
Timbulnya Perbedaan Pendapat dikalangan Sahabat
Setelah Nabi Saw wafat,
timbul dua pandangan yang berbeda tentang otoritas kepemimpinan umat Islam. Hal
ini berhubungan langsung dengan otoritas penetapan hukum ; Kelompok pertama
memandang bahwa otoritas untuk menetapkan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan
makna Al-Quran setelah Nabi Muhammad wafat dipegang oleh Ahlul Bait. Hanya
mereka menurut nash dari Nabi Muhammad Saw yang harus dirujuk dalam
menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum Allah. Kelompok ini
kelak dikenal sebagai kelompok Syi’ah. Sedangkan menurut kelompok yang kedua,
sebelum meninggal, Nabi Muhammad tidak menentukan dan tidak menunjuk
penggantinya yang dapat menafsirkan dan menetapkan perintah Allah. Al-Quran dan
Al-Sunnah adalah sumber hukum untuk menarik hukum-hukum berkenaan dengan
masalah-masalah yang timbul. Mereka ini kelak dikenal sebagai kelompok Ahlu
Sunnah atau Sunni.
Selain itu, sebab
ikhtilaf pada zaman sahabat dapat dibedakan menjadi tiga ; yang pertama,
perbedaan pendapat yang disebabkan oleh sifat Al-Quran ; Kedua, perbedaan yang
disebabkan oleh Al-Sunnah. Dan yang ketiga, perbedaan pendapat dalam
menggunakan ra’yu ( intervensi akal ).
Sebab-sebab perbedaan
yang disebabkan oleh sifat-sifat Al-Quran diantaranya sebagai berikut :
a. Dalam Al-Quran
terdapat kata atau lafadz yang bermakna ganda (isytirak). Umpamanya firman
Allah dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 228 : “yang di ceraikan oleh suaminya
hendaklah menunggu tiga kali quru’.” Kata quru’ mengandung dua arti ; al-haidl
dan al-thuhr.
b. Hukum yang
ditentukan Al-Quran masing-masing “berdiri sendiri” tanpa mengantisipasi
kemungkinan bergabungnya dua sebab dalam satu kasus. Misalnya, dalam Al-Quran
terdapat ketentuan bahwa waktu tunggu (‘iddah) bagi wanita yang dicerai karena
suaminya meninggal dunia adalah 4 bulan 10 hari, dan waktu tunggu bagi wanita
yang dicerai dalam keadaan hamil (‘iddah hamil) adalah hingga melahirkan. Dua
ayat tersebut tidak mengantisipasi kemungkinan terjadinya seorang wanita yang
hamil ditinggal wafat suaminya. Ali Ibn Abi Thalib dan Ibnu Abbasy berpendapat
bahwa ‘iddah yang berlaku bagi wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya dalam
keadaan hamil adalah ‘iddah yang terpanjang antara dua ‘iddah tersebut.
Sedangkan Abdullah Ibn Mas’ud berpendapat, bahwa yang berlaku adalah ‘iddah
hamil, sebab ayat tentang ‘iddah hamil diturunkan setelah ayat ‘iddah wafat,
yang berlaku konsep Naskh.
Adapun sebab perbedaan
pendapat yang berhubungan dengan Sunnah adalah sebagai berikut :
a. Tidak semua sahabat
memiliki penguasaan yang sama terhadap Sunnah. Di antara mereka ada yang
penguasaannya cukup luas, ada pula yang sedikit. Hal itu terjadi karena
perbedaan mereka dalam menyertai Nabi ada yang intensif ada yang tidak, ada
yang lebih awal masuk Islam ada yang terakhir.
b. Kadang-kadang
riwayat sampai kepada seorang sahabat tetapi belum atau tidak sampai kepada
sahabat yang lain, sehingga diantara mereka ada yang mengamalkan ra’yu karena
ketidaktahuan mereka terhadap Sunnah. Umpamanya Abu Hurairah r.a berpendapat
bahwa orang yang masih junub pada waktu subuh, tidak dihitung berpuasa
ramadhan, “man ashbaha junuban fala shouma lahu”. Kemudian pendapat ini di
dengar oleh Aisyah yang berpendapat sebaliknya, Aisyah menjadikan peristiwa
dengan Nabi Saw sebagai alas an. Maka Abu Hurairah menarik kembali pendapatnya.
c. Sahabat berbeda
pendapat dalam menta’wilkan Sunnah. Umpamanya, Thowaf sebagian besar sahabat
berpendapat bahwa bersegera dalam Thowaf adalah Sunnah, sedangkan Ibnu Abbas
berpendapat bahwa bersegera dalam Thowaf tidak Sunnah.
Adapun perbedaan
pendapat di kalangan sahabat yang disebabkan oleh penggunaan ra’yu, diantaranya
perbedaan pendapat antara Umar dan ali tentang perempuan yang menikah dalam
waktu tunggunya. Umar berpendapat, perempuan yang menikah dalam waktu tunggu,
apabila belum dukhul harus dipisah, ia harus menyelesaikan waktu tunggunya,
apabila sudah dukhul, pasangan itu harus dipisahkan dan menyelesaikan dua waktu
tunggu, waktu tunggu dari suami yang pertama dan waktu tunggu dari suami
berikutnya. Sedangkan menurut Ali perempuan itu harus diwajibkan menyelesaikan
waktu tunggu yang pertama. Ali berpegang pada keumuman ayat, sedangkan Umar
berpegangan pada tujuan hukum, yakni agar orang tidak melakukan pelanggaran.
Menurut para ahli,
timbulnya perbedaan pendapat dikalangan sahabat disebabkan adanya beberapa factor,
setidaknya kita perlu mengatakan lima persoalan mendasar yang menyebabkan
beberapa ikhtilaf pada periode ini.
Pertama, perbedaan
dalam memahami nash Al-Quran dan Hadits. Perbedaan seperti ini biasanya
disebabkan karena tidak jelasnya batasan pengertian nash dan perbedaan persepsi
di kalangan sahabat seperti persoalan quru’. Adanya ayat-ayat ahkam yang
musytarak, atau belum pasti pengertiannya (dzanni). Dalam Surat Al-Baqarah :
228 memiliki dua pengertian. Zaid bin Tsabit, quru’ berarti suci, sementara Umar
bin Khattab memahaminya sebagai Haidh.
Kedua, munculnya dua
persoalan yang merujuk pada dua nash saling berlawanan kesepakatan akhir dari
para sahabat bahwa masalah seperti ini harus melewati tiga tahapan, caranya
mencari titik temu antara dua nash tersebut, baru kemudian mencari dalil-dalil
yang menguatkan salah satu dari nash ( at-Tarjih ), dan jika kedua cara
tersebut tidak memungkinkan maka diterapkan teori nash.
Ketiga, sebagian fuqaha
dari kalangan sahabat mengatakan bahwa suatu peristiwa berdasarkan pengetahuan
dari Sunnah, sementara yang lain belum mendapatkannya atau menganggapnya tidak
memenuhi syarat untuk disebut sebagai Hadits Shahih. Pada masa ini terjadi
seleksi yang sangat ketat terhadap periwayatan Hadits. Beberapa Hadits yang
dijadikan sebagai sumber hukum oleh sebagian Fuqaha ditolak oleh Fuqaha lain
sebab berbagai alas an. Selektifnya penerimaan periwayatan Hadits ini diatur
pihak dan kecenderungan untuk mengamalkan Hadits di lain pihak, terutama
dikalangan Ulama Madinah.
Keempat, perbedaan
kaidah dan metode ijtihad dari para sahabat. Dari perbedaan penggunaan kaidah
dan metode ini muncul beberapa perbedaan pendapat dalam suatu persoalan yang
sama dan ini sangat memperkaya perbendaharaan Fiqh Islam.
Kelima, ini mungkin
yang terpenting, kebebasan dan kesungguhan para sahabat periode
Khulafaurrasyidin dalam melakukan ijtihad terhadap berbagai masalah yang mereka
hadapi. Kebebasan dan kesungguhan inilah yang menjadi sumber konseptualisasi
dan redinamisasi syariat periode ini.
Keenam, perbedaan
mereka dalam menerima Hadits dari Rasulullah. Sebagian sahabat ada yang
menerima Hadits dengan jelas dan cukup banyak, sementara yang lain hanya
menerima sebagian saja. Hal ini disebabkan karena kondisi tempat tinggal mereka
. Bagi yang dekat dengan Rasulullah praktis saja mereka banyak menerima Hadits,
demikian sebaliknya.
BAB
III
PENUTUP
I. Kesimpulan
Khulafaurrasyidin
adalah pewaris kepemimpinan Islam setelah wafatnya Rasulullah Saw. Setelah
Rasul Saw wafat para sahabat berkedudukan sebagai musyar’i dalam istinbat suatu
hukum yang tentunya dengan jalan musyawarah seperti yang dilakukan Rasul dan
mereka bertindak sebagai musyawirin Rasul Saw.
Adapun sumber atau
dalil hukum Islam yang digunakan pada zaman sahabat adalah Al-Quran, Sunnah dan
Ijtihad ( ra’yu ). Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk kolektif, para
sahabat berkumpul dan memusyawarahkan hukum suatu kasus, hasil musyawarah
sahabat disebut Ijma’. Walaupun para sahabat melakukan musyawarah tetapi
diantara mereka tetap terjadi khilafiah dalam istinbat hukum. Faktor yang
mempengaruhi adalah sifat Al-Quran, dan Sunnah serta perbedaan ra’yu. Disamping
sosiokultur yang jelas sangat mempengaruhi.
Perkembangan tasyri’
pada masa Khulafaurrasyidin sangat hidup dan semarak. Beberapa ikhtilaf mulai
muncul meskipun lebih kecil disbanding masa-masa berikutnya. Para sahabat
Khulafaurrasyidin tidak menyikapi hukum-hukum Islam secara ideal yang lepas
dari konteks social, tetapi dimensi social itu telah menyadarkan mereka untuk
mencari jawaban-jawaban yang tepat dan ideal terhadap berbagai problematika
yang bermunculan.
DAFTAR
PUSTAKA
Zainuddin Ali, Hukum
Islam, (Jakarta : Sinar Grafika Ofset, 2006), 68
M. Hasbi Ash Shidiqi,
Pengantar Kebudayaan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1967), 56
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada
-Masa-Khulafaurrasyidi1, di akses pada tanggal 25 Desember 09
Jaih Mubarok, Sejarah
dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000), 37
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada
-Masa-Khulafaurrasyidi1, di akses pada tanggal 25 Desember 09
Sirry Mun’im, Sejarah
Fiqih Islam, (Surabaya : Risalah Gusti, 1995), 33
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada
-Masa-Khulafaurrasyidi1, di akses pada tanggal 25 Desember 09
Jaih Mubarok, Sejarah
dan perkembangan Hukum Islam, 41
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada
-Masa-Khulafaurrasyidi1, di akses pada tanggal 25 Desember 09
Abuddin Nata, MA,
Masail Al-Fiqhiyah, ( Jakarta : Prenada Media Group, 2003), 65
Nazar Bakry, Fiqih dan
Ushul Fiqih, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), 23
http://www.scribd.com/doc/15169629/Tarikh-Tasyri-Makalah-Mui,
di akses tanggal 30 Desember 2009
Mohammad Daud Ali,
Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 1990), 155
0 Response to "MAKALAH TARIKH TASYRI"
Post a Comment