Resume Buku “Psikologi Pendidikan” oleh Dr. Iskandar, M. Pd
Wednesday, 30 September 2015
2 Comments
A. Pendahuluan
Salah satu pengertian kecerdasan yang paling banyak
digunakan adalah konsep kecerdasan yang dipaparkan oleh Wechsler.
Kecerdasan menurut Wechsler didefenisikan sebagai konsep generik yang
melibatkan kemampuan individual untuk berbuat dengan tujuan tertentu. Sedangkan menurut Chaplin (1975) kecerdasan merupakan kemampuan
menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan
efektif.
Dan menurut teori lama Anita
E. Woolfolk (1975) kecerdasan meliputi 3 pengertian, yaitu:
1. Kemampuan untuk belajar.
2. Keseluruhan pengetahuan yang diperoleh.
3. Kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi baru
atau lingkungan pada umumnya.
Seiring berkembangnya ilmu
pengetahuan, dikenal ada 3 jenis kecerdasan, yaitu: kecerdasan intelektual
(IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ). Kecerdasan
intelektual diperkenalkan oleh Alfred Binet, ahli psikologi Prancis abad
ke-20. Dalam kecerdasan ini, kajiannya hanya sebatas kemampuan individu yang
bertautan dengan aspek kognitif saja. Kemudian timbul kajian Emosional Quotient
(EQ) oleh pakar psikologi, Daniel Goleman (1997). Emosional Quotient
(EQ) dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi prestasi
seseorang. Goelman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan
mengenali diri sendiri dan orang lain. Kemudian pengembangan riset oleh V.
S. Ramachandran pada tahun 1997 menemukan adanya God Spot dalam otak
manusia. Dalam God Spot ini, merupakan pusat spiritual manusia dan terletak di
antara jaringan otak dan syaraf. Suatu jaringan yang secara literal mengikat
pengalaman secara bersama untuk hidup lebih bermakna dan di sinilah terdapat
fitrah manusia (Spiritual Quotient).
Menurut Gardner menggagas teori multiple
inteligence (kecerdasan ganda) yang memaparkan beberapa kecerdasan yang
terdapat dalam diri manusia. Di antaranya yaitu:
1. Kecerdasan matematik-logika (analisa)
2. Kecerdasan bahasa (linguistic)
3. Kecerdasan musik
4. Kecerdasan visual (pandai berimajinasi)
5. Kecerdasan kinestetik (pandai dalam olah raga
fisik)
6. Kecerdasan inter-personal (peka dengan perasaan
orang lain)
7. Kecerdasan intra-personal (peka pada diri sendiri)
8. Kecerdasan naturalistik (bersahabat dengan alam)
Pada dasarnya kecerdasan intelektual (IQ) dan
kecerdasan emosional (EQ) berpangkal pada kecerdasan spiritual (SQ) yang dapat
membuat seseorang tidak hanya mengejar kesuksesan dunia dengan IQ dan EQ yang
ia miliki untuk dirinya sendiri dengan menghalalkan segala cara. Karena itu, Spiritual Quotient (SQ) merupakan pengendali terhadap segala
sesuatu yang dikerjakan oleh manusia.
B. Kecerdasan
Intelektual (Intellegence Quotient (IQ)
Kecerdasan Intelektual Intelligence Questient
(IQ) merupakan kecerdasan dasar yang berhubungan dengan proses kognitif,
pembelajaran (kecerdasan intelektual) kecenderungan menggunakan kemampuan
matematis-logis dan bahasa, pada umumnya hanya mengembangkan kemampuan kognitif
(menulis, membaca, menghafal, menghitung dan menjawab). Kecerdasan ini sering kita kenal dengan kecerdasan rasioanal, karena
menggunakan potensi rasio dalam memecahkan masalah. Tingkat kecerdasan
intelektual seseorang dapat di uji melalui tes, yakni dengan ujian daya ingat,
dsaya nalar, penguasaan kosa kata, ketepatan menghitung, dan menganalisis data.
Kecerdasan Intelektual Intelligence
Questient (IQ) muncul sejak dalam kehidupan keluarga dan masyarakat,
sejak sejak anak berada di dalam kandungan (masa pranata) sampai tunbuh menjadi
dewasa. Kecerdasan rasional ini merupakan aspek psikologis yang dapat
mempengaruhi kuantitas dan kualitas seseorang dalam perolehan pembelajaran.
Proses kerja Intelligence Questient
(IQ) terkenal dengan linier. Pertanyaan menimbulkan jawaban dalam hal yang
begitu mirip dengan cara neuron (sel saraf mencari) neuron lain. (Covey,
Steven, 2004).
Intelegensi adalah suatu konsep
yang dioperasionalisasikan denagn suatu alat ukur, dan keluaran dari alat ukur
inilah yang berupa IQ. Angka yang keluar adalah angka berdasarkan satuan
tertentu. Semacam ’gram’ untuk ’berat’ dan ’meter’ untuk ’jarak’. Konsep inilah
yang harus diluruskan agar tidak menimbulkan beragam penafsiran: IQ adalah
satuan ukur.
Ketika disadari seiring
berjalannya waktu, manusia mulai menyadari bahwa faktor emosi tidak kalah
pentingnya dalam mendukung sebuah kesuksesan, bahkan dipandang lebih penting
dari pada kecerdasan intelegensi. Daniel Goleman, walaupun bukan pencetus
pertama, telah mempopulerkan pada pertengahan 1990-an. Seperti juga IQ, konsep
kecerdasan emosi ini dioperasionalkan menjadi alat ukur dan keluarannya disebut
EQ.
C. Kecerdasan
Emosi (Emotional Quotient (EQ)
Daniel Goleman melalui bukunya
yang terkenal ”Emotional Intelligence” atau kcerdasan emosional. Dari ke
delapan spektrum kecerdasan yang dikemukakan oleh Gardner di atas, Goleman
mencoba memberi tekanan pada aspek kecerdasan intra-personal atau antar
pribadi. Inti dari kecerdasan ini adalah mencakup kemampuan untuk membedakan
dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat antar
pribadi ini lebih menekankan pada aspek kognisi atau pemahaman. Sementara faktor
emosi atau perasaan kurang diperhatikan. Padahal menurut Goleman, faktor emosi
ini sangat penting dan memberikan suatu warna yang kaya dalam kecerdasan
antar-pribadi ini.
Kemudian tokoh-tokoh seperti
Stenberg, Bar-On, dan Salovey, sebagaimana yang diungkapkan oleh Goleman,
disebutkan adanya Lima domain kecerdasan pribadi dalam bentuk kecerdasan
emosional, yaitu ;
a. Kemampuan mengenali emosi diri
Kemampuan mengenali emosi diri
merupakan kemampuan seseorang dalam mengenali perasaannya sendiri sewaktu perasaan
atau emosi itu muncul. Ini sering dikatakan sebagai dasar dari kecerdasan
emosional. Seseorang yang mampu mengenali emosinya sendiri adalah bila ia
memiliki kepekaan yang tajam atas perasaan mereka yang sesungguhnya dan
kemudian mengambil keputusan-keputusan secara mantap.
b. Kemampuan mengelola emosi
Kemampuan mengelola emosi
merupakan kemampuan seseorang untuk mengendalikan perasaannya sendiri sehingga
tidak meledak dan akhirnya dapat mempengaruhi perilaku secara salah.
c. Kemampuan memotivasi diri
Kemampuan memotivasi diri
merupakan kemampuan untuk memberikan semangat kepada diri sendiri
untukmelakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat. Dalam hal ini terkandung
adanya unsur harapan dan optimisme yang tinggi, sehingga seseorang memilki
kekuatan semangat untuk melakukan suatu aktivitas tertentu.
d. Kemampuan mengenali emosi orang lain. (Empati)
Kemampuan mengenali emosi orang
lain merupakan kemampuan untuk mengerti perasaan dan kebutuhan orang lain,
sehingga orang lain akan merasa senang dan dimengerti perasaannya. Seseorang
yang memiliki kemampuan ini sering disebut dengan orang yang memiliki kemampuan
berempati, mampu menangkap pesan non-verbal dari orang lain seperti : nada
bicara, gerak-gerik, maupun ekspresi wajah. Dengan demikian orang tersebut
lebih disukai teman-temannya dan orang lain.
e. Kemampuan membina hubungan sosial
Kemampuan membina hubungan sosial
merupakan kemampuan untuk memngelola emosi orang lain, sehingga tercipta
keterampilan sosial yang tinggi dan membuat pergaulan seseorang menjadi lebihn
luas.
Kemudian dapat kita tarik
kesimpulan bahwa betapa pentingnya kecerdasan emosional dikembangkan pada diri
peserta didik. Karena betapa banyak kita jumpai peserta didik, dimana mereka
begitu cerdas di sekolah, begitu cemerlang prestasi akademiknya, namun bila
tidak dapat mengelola emosinya, seperti mudah marah, mudah putus asa atau
angkuh dan sombong, maka prestasi tersebut tidak akan banyak bermanfaat untuk
dirinya. Ternyata kecerdasan emosional perlu lebih dihargai dan dikembangkan
pada peserta didik sedini mungkin, karena hal inilah yang mendasari
keterampilan seseorang di tengah masyarakat kelak, sehingga akan membuat
seluruh potensinya dapat berkembang secara lebih optimal.
Dalam hal ini orang tua maupun
guru memegang peranan penting untuk pengembangan potensi kecerdasan
emosionalnya. Sebab, para ahli berpandangan bahwa kecerdasan anakpun sangat
dipengaruhi oleh berbagai rangsangan-rangsangan mental yang kaya sejak dini.
Contoh nyata, berupa sikap saling menghargai satu sama lain, ketekunan dan
keuletan menghadapi kesulitan, sikap disiplin dan penuh semangat, tidak mudah
putus asa, lebih banyak tersenyum dari pada cenberut merupakan hasil didikan
kecerdasan moralnya yang dimulai sejak dini.
Menurut Reuven Bar-On kecerdasan
emosi didefinisikan sebagai mata rantai keahlian, kompetensi dan kemampuan
non-cognitive yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam menghadapi
tuntutan dan tekanan lingkungnnya. Hal ini mencakup sebagai faktor dan lebih
mempengaruhi potensi kinerja dibanding kinerja itu sendiri, merupakan suatu
proses ketimbang tujuan akhir.
Emotional Quotient (EQ)
menampilkan lima dimensi kecerdasan emosional sebagai berikut ;
1. Intrapersonal EQ
a. Self Regard merupakan kemampuan untuk dapat menghargai dan menerima sifat dasar
pribadi yang pada dasarnya baik.
b. Emotional Self-awareness merupakan kemampuan untuk mengenali perasaan sendiri.
c. Assertiveness merupakan kemampuan untuk mengekspresikan perasaan, keyakinan, dan
pemikiran serta mempertahankan hak pribadi secara konstruktif..
d. Independence merupakan kemampuan untuk dapat mengarahkan dan mengendalikan diri dalam
berpikir dan bertindak serta menjadi lebih bebas secara emosional.
e. Self-actualization merupakan kemampuan menyadari kapasitas potensi diri.
2. Interpersonal EQ
a. Empathy merupakan kemampuan memahami, mengerti, serta menghargai persaaan orang
lain.
b. Social Responsibility merupakan kemampuan untuk menampilkan diri secara kooperatif, kontributif,
dan konstuktif sebagai anggota kelompok masyarakat.
c. Interpersonal Relationship merupakan kemampuan untuk membangun dan mempertahankan hubungan yang
saling menguntungkan yang tercermin dari kedekatan afektif serta keinginan
untuk saling memberi dan menerima.
3. Adaptability EQ
a. Reality Testing merupakan kemampuan untukmenghubungkan antara pengalaman dan kondisi saat
ini secara obyektif
b. Flexsibility merupakan kemampuan untuk menyesuaikan emosi, pemikiran, dan sikap
terhadap perubahan suatu situasi dan kondisi.
c. Problem Solving merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah hingga mendapatkan dan
menerapakan solusi secara efektif.
4. Stress Management EQ
a. Stress Tolerance merupakan kemampuan untuk menghadapi kejadian dan situasi yang penuh
tekanan, dan menanganinya secara aktif dan positif tanpa harus terjatuh.
b. Impulse Control merupakan kemampuan untuk menunda keinginan, drive dan dorongan untuk
bertindak.
5. General Mood EQ
a. Optimisme merupakan kemampuan untuk melihat sisi terang kehidupan dan memelihara
sikap positif, meski disaat yang tidak menyenagkan.
b. Happiness merupakan kemampuan untuk merasa puas akan kehidupan, menikmati kehidupan
pribadi dan orang lain, bersenang-senang dan mengekpresikan emosi yang positif.
D. Kecerdasan
Spiritual (Spiritual Quotient)
Kecerdasan Spiritual (SQ) merupakan kemampuan individu
terhadap mengelola nilai-nilai, norma-norma dan kualitas kehidupan dengan
memanfaatkan kekuatan-kekuatan pikiran bawah sadar atau lebih dikenal dengan
suara hati (God Spot).
Kecerdasan Spiritual (SQ) yang memadukan antara
kecerdasan intelektual dan emosional menjadi syarat penting agar manusia lebih
memaknai hidup dan menjalani hidup penuh berkah. Terutama pada masa sekarang, dimana manusia modern terkadang melupakan mata
hati dalam melihat segala sesuatu.
Manusia modern adalah manusia
yang mempunyai kualitas intelektual yang memadai, karena telah menempuh
pendidikan yang memadai pula. Salah satu ciri ynag kental dalam diri manusia
modern adalah suka membaca. Namun, terkadang kualitas intelektual tersebut
tidak dibarengi dengan kualitas iman atau emosional yang baik, sehingga berkah
yang diharapkan setiap manusia dalam hidupnya tidak dapat diperoleh.
E. Urgensi IQ, EQ, dan SQ dalam
Proses Pendidikan
Manusia memiliki tiga kecerdasan
yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasaan emosi, dan kecerdasan spiritual.
Ketiga kemampuan ini sangat membantu seseorang dalam meningkatkan kualitas
diri. Apabila mengabaikan salah satu kemampuan tersebut menyebabkan banyak
individu dililit masalah secara pribadi maupun sosial masyarakat. Hal ini
dikarenakan selama ini mayarakat mempercayai dan mengagung-agungkan secara
dominan salah satu kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual (IQ).
Dengan munculnya teori kecerdasan
emosi (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ), yang sebelumnya juga telah dikenal
dengan kecerdasan intelektual (IQ), maka ketiga teori kecerdasa ini dapat
diaplikasikan sebagai pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang lebih
memahami kemampuan intra personal dan interpersonal pendidik dan pesrta didik,
sehingga kemampuan afektif peserta didik yang berbeda tidak bisa didekati
dengan metode pembelajaran yang sama.
Kemudian, dalam dunia pendidikan
sangatlah penting untuk mengaplikasikan ketiga teori kecerdasan ini, untuk itu
lembaga-lembaga pendidikan yang ada seharusnya melaksanakan teori ini dengan
sebaik-baiknya. Sehingga dapat melahirkan dan menghasilkan sumber daya manusia
yang kompeten dan berkualitas.
F. Konsep Keseimbangan IQ, EQ, dan
SQ dalm Proses Pembelajaran
Kecerdasan intelektual (IQ) yang
tinggi tidak menjamin seseorang dapat meraih kesuksesan sesuai yang dia
inginkan. Karena seseorang yang mempunyai tingkat intelektualitas yang tinggi
namun memiliki kecerdasan emosi (EQ) yang rendah maka sering kali ia gagal
karena tidak bisa mengendalikan emosi, berempati dan bertindak sesuai dengan
situasi yang dihadapi. Namun, kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosi
(EQ) harus dilandasi dengan kecerdasan spiritual (SQ) yang mengontrol segala
perilaku manusia baik sebagai makhluk individu maupun sosial. Oleh karena itu,
sekolah maupun perkuliahan sebagai salah satu lembaga pendidikan yang akan
memasok kebutuhan sumber daya manusia pada masyarakat, berusaha menghasilkan
lulusan yang tidak hanya unggul di bidangnya tapi juga memiliki sikap dan
perilaku yang beretika. Karena itu dalam sekolah dan perkuliahan juga diberikan
mata pelajaran yang menunjang terbentuknya karakter peserta didik seperti ;
agama, kewarganegaraan, dan kegiatan ekstrakulikuler yang ada di sekolah atau
di kampus.
G. Keharusan Guru dan Dosen
(Pendidik) Memiliki Kecerdasan Ganda
Perkembangan zaman mengharuskan
individu untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
memanfaatkan segala fasilitas untuk menyejahterakan masyarakat, maka lembaga
pendidikan di Indonesia telah dihadapkan pada peluang sekaligus tantangan untuk
menyiapkan sumber daya manusia yang dapat mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek) dengan iman dan taqwa (imtaq). Salah satu komponen dari
lembaga pendidikan yang memasok tercapainya tujuan tersebut adalah adanya guru
atau dosen (pendidik) yang profesional. Untuk mewujudkan guru yang profesional.
Dibutuhkan kecerdasan ganda yaitu IQ, EQ dan SQ. Dengan tanpa mempertentangkan
mana yang lebih penting antara IQ, EQ maupun SQ, ketiganya ini merupakan
konsep-konsep untuk mengembangkan kepintaran berganda (multiple inteligence)
baik dalam dunia sekolah maupun di luar sekolah. Untuk anak-anak dan para siswa
sengaja dirancang berbagai program dan pelatihan agar mereka memiliki
kecerdasan berganda sehingga menjadi generasi muda bisa hidup indah, mudah dan
jauh dari gelisah. Peran guru sebagai edukator, motivator, counselor dan lain
sebagainya mengharuskan seorang guru memiliki kecerdasan berganda. Mereka
adalah guru yang cerdas kognitif, affektif dan psikomotornya. Dan pendidik yang
seperti inilah yang menjadi guru spesial bagi anak didiknya. Melalui
upaya belajar learning to do,learning to know (IQ), learning to be (SQ),
learning to live together (EQ) yang di asah secara terus menerus sehingga
terbentuk pendidik yang professional.
Sebagai pendidik (calon pendidik) bertugas
membelajarkan para peserta didik untuk dapat mengembangkan segala potensi diri
(fitrah) yang dimilikinya melalui pendekatan dan proses pembelajaran yang
bermakna (meaning learning) (SQ), menyenangkan (joyful learning) (EQ), dan
menantang (problematical learning) sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan
kualitas sumber daya manusia Indonesia yang kaffah (sempurna).
Seorang guru harus mempunyai
paradigma bagaimana menjadi guru, dosen (pendidik) yang bermartabat dan
professional. Paradigma ini dapat dicapai jika mereka mengembangkan diri. Jika
peserta didik diusahakan untuk memiliki kecerdasan berganda, maka pendidik juga
harus memiliki kecerdasan berganda.
sumber : http://aepmsnet.blogspot.co.id
good
ReplyDeletemantap uga
ReplyDelete