SEJARAH PERADABAN ISLAM DI INDONESIA
Saturday, 18 May 2013
Add Comment
SENJA KALA RUNTUHNYA MAJAPAHIT DAN MASUKNYA ISLAM DI PULAU JAWA
Ditulis oleh :
Susiyanto
(Peneliti Pusat Studi dan Peradaban Islam,Solo)
Pendahuluan
Menengok kembali ke dalam
beberapa materi ajar sejarah yang diberikan kepada generasi muda Indonesia,
dari pendidikan Dasar hingga bangku perkuliahan, barangkali akan membuat kita
terhenyak dan terheran-heran.
Sejumlah fakta atau bahkan opini terkadang hanya ditampilkan sekilas, sehingga tidak jarang membentuk persepsi yang salah terhadap substansinya. Pemaparan fakta yang bersifat demikian sudah tentu akan membuka ruang bagi kesalahan penafsiran. Sejarah, bisa jadi, memang berasal dari fakta tunggal yang kemudian ditafsirkan dengan menggunakan berbagai sudut pandang sehingga menghasilkan berbagai penafsiran berbeda. Namun memaparkan fakta secara sekilas dan memberi ruang bagi kesalahan penafsiran juga merupakan hal yang mesti dihindari.
Sejumlah fakta atau bahkan opini terkadang hanya ditampilkan sekilas, sehingga tidak jarang membentuk persepsi yang salah terhadap substansinya. Pemaparan fakta yang bersifat demikian sudah tentu akan membuka ruang bagi kesalahan penafsiran. Sejarah, bisa jadi, memang berasal dari fakta tunggal yang kemudian ditafsirkan dengan menggunakan berbagai sudut pandang sehingga menghasilkan berbagai penafsiran berbeda. Namun memaparkan fakta secara sekilas dan memberi ruang bagi kesalahan penafsiran juga merupakan hal yang mesti dihindari.
Sebut saja, misalnya, informasi
bahwa keruntuhan Majapahit disebabkan oleh serangan dari kadipaten Demak di
bawah pimpinan Adipati Jimbun Patah pada tahun 1478 M atau 1400 saka. Dari
mulai pelajaran Pendidikan Dasar hingga lanjutan Atas bahkan di bangku
perkuliahan, selalu dikemukakan dalam sejumlah buku teks pelajaran sejarah
bahwa faktor penyebab keruntuhan Majapahit salah satunya adalah akibat serangan
Demak.
Biasanya pernyataan ini tidak
diikuti dengan pembahasan dan keterangan lain secara jelas, terkait misalnya,
mengapa Demak harus menyerang dan lain sebagainya. Pernyataan ini seolah-olah
memang memperlihatkan superioritas dan keunggulan Demak di atas Majapahit.
Namun jika ditilik lebih mendalam, sebenarnya merupakan upaya untuk mengaburkan
pandangan bahwa Islam di Tanah Jawa telah disebarkan melalui praktik kekerasan
bersenjata dan pertumpahan darah. Tidak jarang juga dimanfaatkan untuk
menyerang pribadi Raden Patah, sebagai raja Islam pertama di Tanah Jawa,
sebagai ‘anak durhaka’ yang telah menyerang ayahnya sendiri, Prabu Brawijaya V.
Seringkali juga digunakan untuk menyerang pribadi para ulama tanah Jawa, dalam
majlis dakwah Walisanga, yang menjadi pendukung bagi Kesultanan Demak. Oleh
karena itu pemaparan sejarah yangt bersifat demikian hendaknya segera dibenahi
sebab dimuati sejumlah kepentingan dan motif tersembunyi, terutama dalam
mendiskreditkan dan memarginalkan peran Islam di Tanah Jawa.
Majapahit, Demak dan
Kerukunan Agama
Berdasarkan kesimpulan Seminar
Masuknya Islam ke Indonesia pada tanggal 17 sampai 20 Maret 1963 di Medan,
Islam telah masuk ke wilayah Nusantara sejak Abad pertama hijriyah.[1] Bahkan upaya ekspedisi ke
Nusantara telah dilakukan pada masa Abu Bakar Ash Shidiq dan dilanjutkan oleh
khalifah-khalifah setelahnya.[2] Berdasarkan literature China
menjelang seperempat Abad VII telah berdiri perkampungan Arab muslim dipesisir
Sumatra. Sedangkan di Jawa Penguasa Kalingga yang bernama Ratu Shima telah
mengadakan korespondensi dengan Muawiyah Bin Abu Sufyan,[3] salah seorang shahabat Nabi dan
pendiri dinasti Umayyah.[4] Akan tetapi karena terpaut
jarak yang jauh, maka dakwah di pulau Jawa berjalan secara lamban. Namun
demikian secara jelas Islam telah disebarkan di Pulau Jawa jauh sebelum
berdirinya kerajaan Majapahit. Dengan demikian anggapan penulis Darmagandul,
bahwa Islam berkembang di tanah Jawa adalah semata-mata karena ‘kebaikan’ Prabu
Brawijaya,[5] adalah tidak benar.
Dalam era kerajaan Majapahit
beberapa pelabuhan telah ramai dikunjungi oleh saudagar-saudagar asing. Guna
kepentingan komunikasi dengan saudagar asing maka pemerintah kerajaan Majapahit
mengangkat sejumlah pegawai muslim sebagai sebagai pegawai pelabuhan atau
syahbandar.[6] Alasannya, pegawai beragama
Islam pada masa itu kebanyakan telah menguasai Bahasa asing terutama Bahasa
Arab sehingga mampu berkomunikasi dan memberikan pelayanan kepada
saudagar-saudagar asing yang kebanyakan beragama Islam.[7]
Bahkan, jika menilik salah satu
kompleks pemakaman Majapahit dapat digambarkan bahwa telah banyak bangsawan
Majapahit yang sudah memeluk agama Islam dan tetap mengabdi kepada
pemerintahan. Ditengarai kerukunan agama juga nampak di sana. Denys Lombard
mengungkapkan bahwa di Jawa Timur terdapat salah satu prasasti Arab tertua,
yaitu parasasti Leran dari abad ke-11, ditambah pula adanya prasasti pada makam
Malik Ibrahim, yang mungkin sekali adalah pedagang dari Gujarat. Prasasti itu
berangka tahun 1419 dan terletak di Gresik, dekat Surabaya. Tetapi justru di
situs ibu kota lama Majapahit sendiri-lah, di dekat kota Mojokerto sekarang, di
pekuburan-pekuburan lama Trowulan dan terutama di Tralaya, L.-Ch. Damais telah
menemukan makam-makam Islam yang paling menarik. Ada beberapa yang memuat teks
suci pendek dalam Bahasa Arab, akan tetapi nama orang yang dikubur tidak pernah
disebut (kecuali satu kali). Kalau disebut, perhitungannya menurut tarikh
saka, kecuali satu kali menurut tarikh hijriah. Ada 3 makam dri abad ke-14
(1368, 1376, dan 1380 M) dan delapan dari Abad ke-15 (antara 1407 dan 1475),
tetapi mungkin saja ada prasasti bertahun lain yang lolos dari penelitian di
salah satu pekuburan di Jawa Timur. Di Trowulan terdapat makam yang pantas
disebut secara khusus, karena menurut tradisi dianggap sebagai makam seorang
Puteri Cempa, dan berangka tahun 1370 Saka, atau 1448/9 M.[8] Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa dakwah Islam bukan hanya berkembang dikalangan rakyat jelata namun telah
merambah kepada kalangan bangsawan Istana Majapahit. Sementara itu kerukunan
antar agama terjadi pada masa itu.
Sementara itu dakwah Islam
telah menjangkau masuk ke dalam lingkungan istana Majapahit dan berpengaruh
terhadap para bangsawan. Para bangsawan yang telah menganut agama Islam,
sebagiannya pindah keluar istana menuju daerah pantai yang dikuasai oleh para
bupati yang telah beragama Islam.[9]Alasannya adalah demi toleransi dan
mendapatkan kemerdekaan beragama. Dengan semakin berkurangnya sejumlah
bangsawan di lingkungan kerajaan dan diiringi dengan semakin banyaknya rakyat
Majapahit yang memilih Islam maka bisa dipastikan kerajaan tersebut menjadi
semakin lemah.
Senja Kala Tahta
Majapahit
Jaman keemasan Majapahit
digambarkan oleh banyak sejarawan terjadi pada masa pemerintahan Prabu Hayam
Wuruk yang didampingi Patih Gajah Mada. Namun sepeninggal Patih Gajah Mada,
Majapahit mengalami krisis kepemimpinan. Kaderisasi yang mengarah kepada penyiapan
kepemimpinan generasi selanjutnya tidak berjalan dengan baik. Salah satu
penyebabnya adalah kepemimpinan yang didasarkan kepada keturunan, bukan kepada
keahlian. Kewibawan politik yang dihasilkan dari kekuatan pasukan perang
merupakan faktor penentu masa kejayaan dan keemasan Majapahit. Pasca Gajah
Mada, kekuatan wibawa kerajaan tersebut mulai melemah akibat berbagai perebutan
kekuasaan dan intrik-intrik politik di dalamnya, sehingga menyebabkan
melemahnya negara, dimana basis militer merupakan salah satu penopangnya.
Pada masa Patih Gajah Mada
hidup, kerajaan Hindhu Jawa ini diklaim hampir berhasil menguasai seluruh
wilayah kepulauan Nusantara. Kerajaan Sriwijaya pada masa sebelumnya pun
dianggap belum dapat melakukan proses penguasaan wilayah seluas itu.[10] Kejayaan Majapahit tersebut
dibangun melalui peperangan dan penaklukan atas wilayah yang melampaui pulau
Jawa. Proses pencapaian kejayaan yang bersifat demikian sudah tentu memiliki
sejumlah konsekuensi turunan. Kerajaan-kerajaan yang berada di wilayah
Nusantara pada masa itu kebanyakan merupakan pemerintahan yang bersifat
mandiri. Hal ini berarti kerajaan-kerajaan tersebut tidak pernah memposisikan
dirinya sebagai negara jajahan, sebab hakikatnya masing-masing kerajaan adalah
sebuah wujud dari negara yang merdeka. Pasca penaklukan yang dilakukan oleh
Majapahit atas wilayahnya, maka posisi ‘merdeka’ ini telah berubah.
Kerajaan-kerajaan lain tersebut pada akhirnya harus ‘rela’ menjadi negara
taklukan dari imperium Majapahit. Dengan kata lain, negara-negara taklukan
tersebut yang menganggap Majapahit sebagai penjajah.
Babad Soengenep, misalnya, buku yang
menceritakan tentang asal mula wilayah Sumenep di Madura ini, dengan jelas
memaparkan kebencian masyarakat Soengenep terhadap kerajaan Majapahit. Buku ini
menceritakan bagaimana proses penaklukan Majapahit atas Soengenep yang berdarah-darah dan bangkitnya pahlawan setempat yang bernama
Kudapanole dalam melawan agresi militer Majapahit yang dipimpin oleh Gajah
Mada.[11] Walaupun
buku tersebut kemungkinan disusun pada era belakangan, namun semangat dari buku
tersebut bukannya tidak memiliki akar yang kuat. Spirit yang digambarkan oleh
babad tersebut adalah jiwa perlawanan yang kuat terhadap penjajahan dari negara
lain. Sifat khas dari bangsa yang ingin memiliki kemerdekaannya sendiri.
Demikian juga cerita-cerita
tentang penyerangan Gajah Mada ke beberapa wilayah di Sumatra yang menimbulkan
kekejaman-kekejaman, berupa pembunuhan, penjarahan, dan pembakaran umumya hanya
ditanggapi sebagai dongeng belaka.[12] Termasuk kisah tentang
pemusnahan Kerajaan Silo di Simalungun oleh Tentara Majapahit.[13] Juga
cerita yang mendasari Perang Bubat umumnya hanya dikomentari secara “biasa
saja” oleh sejarawan. Perang Bubat ini merupakan sebuah kesalahan besar dalam
diplomasi Majapahit. Dimana terjadi kesepakatan antara Maharaja Pajajaran untuk
menikahkan putrinya dengan sang Prabu Hayamwuruk. Sang Maharaja Pajajaran
kemudian mengantarkan putrinya hingga ke sebuah gelanggang yang bernama Bubat.
Sesuai kebiasaan kuno, raja Sunda tersebut hendak menantikan kedatangan sang
menantu untuk menjemput mempelainya.[14] Namun
yang terjadi selanjutnya merupakan hal menyedihkan. Sejak awal Gajah Mada
menganggap bahwa Pajajaran akan menjadi negeri taklukan Majapahit, sehingga
proses pernikahan tidak terjadi namun justru berakhir dengan peperangan dengan
kematian sang Maharaja Pajajaran. Sikap Gajah Mada yang berlaku demikian
umumnya hanya disikapi secara ‘dingin’ oleh para sejarawan.
H. J. Van Den Berg, Dr. H.
Kroeskamp, dan I. P. Simandjoentak mencatat penyebab lain dari keruntuhan
Majapahit adalah tidak loyalnya para pelaku ekonomi terhadap pemerintahan
Majapahit. Dikatakan bahwa mata pencaharian utama rakyat Majapahit adalah
bertani. Kaum petani ini umumnya memiliki loyaliyas yang tinggi terhadap
Majapahit. Namun demikian golongan ini tidak memiliki akses untuk mempengaruhi
kebijakan bahkan tidak mengetahui seluk beluk pemerintahan Majapahit. Golongan
lain di luar kaum petani adalah orang-orang kaya dan kaum saudagar. Golongan
tersebut umumnya memiliki pengaruh terhadap kehidupan perekonomian, namun
justru merasa bahwa dirinya merdeka dari Majapahit. Sejak awal mereka telah
merasa tidak tunduk terhadap pemerintahan Majapahit. Perceraian kedua golongan
inilah, yaitu petani dan kaum saudagar atau orang kaya, yang dinilai sebagai
salah satu penyebab keruntuhan Majapahit pada masa selanjutnya.[15]
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa dukungan terhadap pemerintahan Kerajaan hanya ditopang oleh kesetiaan
kaum petani. Loyalitas masyarakat petani inipun umumnya bukan didasarkan atas
pengetahuan yang mendalam tentang hakikat pemerintahan kerajaan. Sedangkan kaum
pedagang dan orang-orang kaya yang banyak mempengaruhi perekonomian justru
berada pada pihak yang tidak loyal. Apalagi pasca rakyat kecil yang terdiri
dari para petani ini, pada masa selanjutnya justru banyak diantara mereka yang
menganut agama Islam, maka kekuatan pendukung Majapahit tersebut semakin
berkurang dan wibawa kerajaan semakin menurun drastis.
Dr. W. B. Sidjabat memiliki
analisa lain terkait penyebab keruntuhan Majapahit. Faktor penyebab tersebut
antara lain adalah sering terjadinya banjir besar di sungai Berantas, salah
satu sungai yang memiliki posisi strategis bagi pelayaran dan ekonomi
Majapahit. Hal ini mengakibatkan perniagaan-perniagaan di Sungai Berantas terus
berkurang. Lebih-lebih pasca meletusnya Gunung Kelud, Sungai Berantas menjadi
dangkal akibat aliran lahar dan muaranya maju ke laut sehingga mengakibatkan
pelayaran di Canggu berhenti sama sekali. Belum lagi perebutan mahkota Kerajaan
turut memperlemah semua potensi Majapahit.[16]
Pada dasarnya Majapahit saat
itu memang telah lemah secara politis akibat Perang Paregreg yang cukup lama dan menghabiskan banyak sumber daya. Perang
tersebut merupakan perebutan tahta antara Suhita (putri dari Wikramawardana)
dan Wirabumi (putra Hayam Wuruk). Pada tahun 1478 ini Dyah Kusuma Wardhani dan
suaminya, Wikramawardhana, mengundurkan diri dari tahta Majapahit. Kemudian
mereka digantikan oleh Suhita. Pada tahun 1479, Wirabumi, anak dari Hayam
Wuruk, berusaha untuk menggulingkan kekuasaan sehingga pecah Perang Paregreg
(1479-1484). Pemberontakan Wirabumi dapat dipadamkan namun karena hal itulah
Majapahit menjadi lemah dan daerah-daerah kekuasaannya berusaha untuk
memisahkan diri. Dengan demikian penyebab utama kemunduran Majapahit tersebut
ditengarai disebabkan berbagai pemberontakan pasca pemerintahan Hayam Wuruk,
melemahnya perekonomian, dan pengganti yang kurang cakap serta wibawa politik
yang memudar.[17]
Pada saat kerajaan Majapahit
mengalami masa surut, secara praktis wilayah-wilayah kekuasaannya mulai
memisahkan diri. Wilayah-wilayah yang terbagi menjadi kadipaten-kadipaten
tersebut saling menyerang satu sama lain dan berebut mengklaim sebagai pewaris
tahta Majapahit. Sehingga dengan demikian keruntuhan Majapahit pada masa itu
dapat dikatakan tinggal menunggu waktu sebab sistem dan pondasi kerajaan telah mengalami
pengeroposan dari dalam.
Dengan demikian faktor penyebab
melemahnya Majapahit juga disebabkan makin pudarnya popularitas kerajaan Hindhu
tersebut di mata rakyat. Keberadaan Majapahit telah tertutupi dengan munculnya
kerajaan Demak yang dianggap membawa angin dan perubahan baru. Selain itu Demak
juga semakin menguat setelah bersekutu dengan Surapringga (Surabaya), Tuban,
dan Madura,[18] dimana wilayah-wilayah tersebut sebelumnya merupakan daerah
kekuasaan Majapahit. Dengan demikian tuduhan bahwa keruntuhan Majapahit akibat
‘digerogoti’ oleh ulama muslim dari dalam[19] dan
semata-mata karena penyerangan kerajaan Demak terbukti tidak benar.
Lantas mengapa sejarah negeri
ini belum berpihak kepada umat Islam ? Terkait dengan keruntuhan Majapahit
buku-buku pelajaran sejarah seringkali mengulang-ulang bahwa salah satu faktor
penyebabnya adalah serangan dari Kesultanan Islam Demak. Informasi tersebut
biasanya hanya dikemukakan begitu saja tanpa memberikan informasi secara jelas
mengapa Demak harus menyerang Majapahit. Sehingga pada akhirnya berdirinya
Demak dianggap sebagai sebuah produk ekspansi dalam penebaran ajaran Islam di
Tanah Jawa.
Serangan
Girindrawardhana, Faktor Utama
Prof. Dr. N. J. Krom dalam buku
“Javaansche Geschiedenis” menolak anggapan bahwa pihak
yang telah menyerang Majapahit pada masa Prabu Brawijaya V (Kertabhumi) adalah
Demak. Tetapi, menurut Prof. Krom serangan yang dianggap menewaskan Prabu
Brawijaya V tersebut dilakukan oleh Prabu Girindrawardhana. Demikian juga Prof.
Moh. Yamin dalam buku “Gajah Mada” menjelaskan bahwa raja Kertabhumi atau Brawijaya V tewas dalam
keraton yang diserang oleh Prabu Rana Wijaya dari Keling atau Kediri.[20] Prabu Rana Wijaya yang dimaksud
adalah nama lain dari Prabu Girindrawardhana.
Teori penyerangan Prabu
Girindrawardhana terhadap Majapahit ini ditolak oleh Prof. Dr. Slamet Muljana.
Menurut Muljana, nama Girindrawardhana ditemukan pada prasasti Jiyu 1408 tahun
Saka atau 1486 M, delapan tahun setelah tahun yang dianggap sebagai masa
keruntuhan Majapahit akibat serangan Demak. Muljana lantas menghubungkannya
dengan kronik Cina yang berasal dari kuil Sam Po Kong di Semarang. Muljana
menyatakan bahwa seorang menantu Kertabhumi menjadi bawahan Demak dan harus
membayar upeti. Tarikh tahun yang digunakan adalah 1488. Tokoh yang dimaksud
dalam kronik Tionghoa disebutkan dengan nama Pa Bu Ta La. Slamet Muljana
berspekulasi bahwa Pa Bu Ta La yang dimaksud adalah Girindrawardhana, sebab
menurutnya kata “Ta La” adalah transkripsi dari dra sebagai unsur nama
Girindrawardhana.[21] Dari
analisa ini maka ditarik kesimpulan bahwa Girindrawardhana tidak mungkin
menyerang kepada Majapahit sebab justru Girindrawardhana justru tunduk kepada
Demak. Menurut Muljana, Demaklah yang menyerang Majapahit pada masa Prabu
Brawijaya V.
Bagaimana pun analisa Prof. Dr.
Slamet Muljana tersebut membingungkan dan terlalu spekulatif. Seolah hal
tersebut tidak membuka kemungkinan lain terhadap pemaknaan sejarah. Pertama, Muljana, menggunakan angka tahun 1486 sebagai tahun yang
dianggap sebagai keberadaan Girindrawardhana pasca runtuhnya Majapahit. Padahal
tahun 1468 M tersebut lebih merupakan tahun dari prasasti Jiyu, bukannya
manifestasi keberadaan Girindrawardhana. Sudah tentu penulisan tentang
Girindrawardhana bisa saja ditulis pada masa-masa selanjutnya. Kedua, menghubungkan antara kata “Ta La” dengan dra sebagai unsur nama Girindrawardhana adalah bentuk spekulasi yang
berlebihan. Metode otak-atik gathuk seperti ini rasanya terlalu riskan digunakan sebagai cara
pemaknaan terhadap sejarah. Justru dengan membuka diri terhadap kemungkinan
lain maka akan ditemukan jawaban yang lebih rasional. Misalnya dengan
menghubungkan nama “ Pa Bu Ta La ” dengan Prabu Udara (Brawijaya VII) maka
justru menghasilkan analisa yang lebih baik. Coba perhatikan bahwa kata “Ta La”
lebih sesuai dengan kata “dara” sebagai unsur nama “Prabu Udara”. Demikian juga
kata “Pa Bu” adalah unsur yang mewakili kata Prabu. Cara kedua ini diakui juga bersifat spekulatif, namun jelas
lebih rasional dibandingkan cara yang sebelumnya.
Lantas siapakah Prabu Udara
yang dimaksud ? Pasca serangan Girindrawardhana atas Majapahit pada tahun 1478
M, Girindrawardhana kemudian mengangkat dirinya menjadi raja Majapahit bergelar
Prabu Girindrawardhana atau Brawijaya VI. Raden Patah mencoba menuntut haknya
atas tahta Majapahit. Namun upaya tersebut nampaknya kurang berhasil. Justru
kemudian Girindrawardhana terbunuh oleh patihnya sendiri yang bernama Patih
Udara. Patih Udara sendiri kemudian menggantikan Girindrawardhana menjadi raja
Majapahit dengan nama Prabu Udara atau Brawijaya VII.[22] Dengan demikian serangan Demak
atas Majapahit bukan terjadi pada masa Prabu Kertabhumi atau Brawijaya V, ayah
Raden Patah. Namun terjadi pada masa Prabu Brawijaya VI atau Girindrawardhana
dan Brawijaya VII atau Prabu Udara.
Pasca perebutan kekuasaan di
Majapahit antara Patih Udara dan Girindrawardhana dengan hasil akhir kemenangan
atas Patih Udara tersebut. Patih Udara yang kemudian menggunakan gelar Prabu
Udara atau Brawijaya VII tersebut justru merasa was-was terancam kekuasaannya
disebabkan Kesultanan Demak yang semakin menguat. Beberapa catatan menyebutkan
bahwa Raden Patah sendiri membiarkan saja Majapahit berdiri di bawah pimpinan Prabu
Udara. Catatan lain menyebutkan bahwa Prabu Udara telah tunduk kepada
Kesultanan Demak. Namun yang terjadi kemudian, kekhawatiran Prabu Udara akan
kehilangan kekuasaan telah memuncak dan kemudian meminta bantuan kepada
Portugis di Malaka. Sejarah mencatat bahwa Prabu Udara atau Brawijaya VII
mengirim utusan kepada Alfonso d’Albuquerque dengan membawa hadiah berupa 20
buah genta, sepotong kain panjang tenunan Kambayat, 13 buah lembing, dan
sebagainya. Melihat gelagat yang kurang baik inilah maka kemudian tentara
Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Adipati Yunus (Pati Unus atau Pangeran
Sabrang Lor) menyerang Portugis di Malaka dan sekaligus Majapahit di bawah
kepemimpinan Prabu Udara untuk membubarkan persepakatan gelap yang terjadi.[23] Seandainya saja Majapahit tidak
diserang pada masa Prabu Udara tersebut maka dapat dipastikan bahwa Portugis
akan menjajah tanah Jawa lebih cepat dari masa agresi Belanda.
Terlebih lagi, Prof. Dr. Slamet
Muljana menyebutkan bahwa penyerangan Demak atas Prabu Girindrawardhana di
Majapahit terjadi pada tahun 1517 M.[24] Hal ini semakin menunjukkan
bahwa analisa yang digunakan oleh Muljana adalah lemah. Sebab masa pemerintahan
Prabu Girindrawardhana hanya berlangsung antara tahun 1478 sampai 1489 M.[25] Tahun
1489 M tersebut merupakan tahun terbunuhnya Girindrawarhana oleh Patih Udara yang
kemudian menggantikannya sebagai raja Majapahit dengan gelar Prabu Udara.
Dengan demikian serangan Demak atas Girindrawardhana di Majapahit, sebagaimana
dikemukakan oleh Slamet Muljana, dapat dipastikan hanya merupakan kesalahan
analisa semata. Sebab pada tahun 1517 tersebut Girindrawardhana telah mati
jauh-jauh hari sebelumnya.
Ada pun yang lebih masuk akal
adalah serangan Demak itu terjadi pada masa Pemerintahan Prabu Udara yang
berkuasa antara tahun 1489 sampai 1518.[26] Motifnya, jelas upaya untuk
mempertahankan kehormatan Islam dan mengambil kembali tahta Majapahit yang
merupakan hak sepenuhnya dari sultan Demak. Hal ini juga menguatkan bahwa Pa Bu
Ta La dalam kronik Tionghoa di kuil Sam Po Kong bukanlah transkripsi dari nama
Girindrawardhana melainkan lebih sesuai sebagai nama dari Prabu Udara atau
Brawijaya VII. Oleh karena itu analisa Samet Muljana sebagai penyebab
keruntuhan Majapahit pada masa Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) adalah tidak
terbukti. Dengan demikian, jika sejarah menulis bahwa penyebab keruntuhan
Majapahit adalah karena serangan dari Demak dan tanpa dierangkan lebih lanjut
tentang faktor-faktor penyebabnya yang melatarbelakanginya maka hal ini jelas
merupakan paparan yang tidak netral dan berusaha menyembunyikan fakta yang
urgen. Dengan kata lain jelas memiliki sejumlah motif dan kepentingan tertentu.
Awalnya, informasi bahwa
keruntuhan Majapahit disebabkan oleh serangan Demak, dapat ditelusur, hanya
merupakan akibat kesalahpahaman semata. De Graf, mencatat bahwa nama
Girindrawardhana yang menyerang Majapahit dan merebut kekuasaan Prabu Brawijaya
V, seringkali disalah pahami merupakan sosok yang sama dengan tokoh Sunan Giri,
seorang ulama muslim anggota Walisanga.[27] Pendapat yang sama juga
dikemukakan oleh Muhammad Yamin, seorang tokoh Indonesia yang dikenal sebagai Majapahit-sentris. Muhammad Yamin menyatakan bahwa nama “Giri” dalam beberapa babad yang menceritakan tentang keruntuhan Majapahit merupakan nama
seorang penganut Hindhu, yang tidak lain adalah Girindrawardhana. Pengarang
babad, dalam pernyataan Mohammad Yamin, umumnya telah mencampuradukkan antara
nama Girindrawardhana dan Sunan Giri.[28] Padahal
kedua nama tersebut adalah tokoh yang berbeda. Dari sinilah maka kesalahpahaman
tersebut berlanjut, bahwa Majapahit runtuh akibat serangan Demak. Bahkan
terkesan bahwa ada upaya untuk memelihara kesalahpahaman tersebut tanpa
memberikan koreksi terhadap pelajaran Sejarah di Indonesia terutama di tingkat
Sekolah Menengah ke bawah. Hal ini jelas merupakan indikasi kuat bahwa sebuah
kepentingan sedang bermain untuk pencitraan negatif terhadap Islam.
Penutup
Dengan demikian dapat diketahui
bahwa awalnya, cerita tentang penyerangan yang dilakukan oleh Demak terhadap
Majapahit, awalnya terjadi karena kesalahan pandangan dari para penulis cerita
babad. Kesalahan ini terjadi akibat menganggap sama dua tokoh yang sebetulnya
berbeda, yaitu Girindrawardhana dan Sunan Giri. Tidak jarang, sejarawan
memanfaatkan cerita babad ini sebagai bahan pendukung analisa sejarah. Terkait
bahwa cerita dari babad tidak memiliki akurasi yang tinggi dalam penggambaran
sejarah, telah banyak diketahui. Oleh karena itu usaha memelihara “sejarah”
dari hasil pandangan yang kurang benar, jelas merupakan upaya yang sarat
kepentingan untuk mendiskreditkan Islam.
[1] Panitia Seminar. Risalah
Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia. (Panitia Seminar, Medan,
1963). Hal. 265
[2] Herry Nurdi. Risalah
Islam Nusantara. (Sabili Edisi Khusus : Sejarah
Emas Muslim Indonesia, No. 9 Th. X, 2003). Hal. 9
[3] Prof. DR. Hamka. Sejarah
Umat Islam. Cetakan V. (Pustaka Nasional Pte Ltd, Singapore, 2005).Hal.
671-672
[4] A. Latif Osman. Ringkasan
Sejarah Islam. Cetakan XXIX. (Penerbit Widjaya, Jakarta,
1992). Hal. 77
[5] Noname. Darmagandul. Penerbit Sadoe Budi … Opcit. Hal. 48
[6] Prof. Dr. Abubakar Aceh. Pengantar
Sejarah Sufi dan Tasawwuf. Cetakan IV. (Ramadhani,
Surakarta, 1989). Hal. 370
[7] Prof. Dr. Abubakar Aceh. Sejarah
Al Quran. Cetakan VI. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 325
[8] Denys Lombard. Nusa
Jawa : Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu. Bagian II : Jaringan
Asia. Cetakan III. (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005). Hal. 34
[9] Drs. Sentot D. Tj. Sejarah
Nasional dan Dunia. (Prima Offset, Wonogiri, tth). Hal. 57
[10] Alwi Shihab. Membendung
Arus : Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia. (Penerbit Mizan, Jakarta, 1998). Hal. 22
[11] Es Danar Pangeran. Menggali
Sejarah Madura Lewat Babad Soengenep (8) : Kudapanole Menaklukkan Blambangan. Tabloid POSMO Edisi 44 Tahun I/ 2000. Hal. 15
[12] Lihat misalnya tulisan Prof. Dr. Slamet Muljana. Runtuhnya
Kerajaan Hindu – Jawa dan Timbulnya Negara – negara Islam di Nusantara. Cetakan VI. PT LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2008). Hal. 139
-140
[13] Prof. Dr. Slamet Muljana. Ibid. Hal. 14 dan 19
[14] Terkait dengan perang Bubat
lihat H. J. Van Den Berg, Dr. H. Kroeskamp, I. P. Simandjoentak.Dari
Panggung Peristiwa Sedjarah Dunia. Jilid I : India,
Tiongkok, dan Djepang, Indonesia. Cetakan II. (J. B. Wolters,
Jakarta – Groningen, 1952). Hal. 367-368
[15] H. J. Van Den Berg, et. all. Dari
Panggung….Ibid. Hal. 365-366
[16] Lihat artikel Dr. W. B.
Sidjabat. Latar Belakang Sosial dan Kultural dari
Geredja-geredja Kristen di Indonesia. Dalam Dr. W. B. Sidjabat
(ed.). et. all. Panggilan Kita di Indonesia Dewasa ini. (Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1964). Hal. 20 – 21
[17] H. Soekama Karya., et all. Ensiklopedi
Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Logos, Jakarta, 1996). Hal.
364
[18] Prof. Abu Bakar Aceh. Sejarah
Al Quran. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 234-235.
[19] Buku Darmagandul menggambarkan
bahwa para ulama adalah seperti tikus yang merusak dari dalam.Mereka meminta
jabatan kepada raja Majapahit dan pasca itu kemudian merusak kerajaan dari
dalam. Lihat Noname. Darmagandul. Penerbit Sadoe Budi … Opcit. Hal. 46-47
[20] Umar Hasyim. Sunan
Giri dan Pemerintahan Ulama di Giri Kedaton. (Penerbit Menara, Kudus,
1979). Hal. 88 – 89
[21] Prof. Dr. Slamet Muljana. Runtuhnya
… Opcit. Hal. 107
[22] Sholichin Salam. Sekitar
Walisanga. (Menara Kudus, Kudus, 1960). Hal. 13
[23] MB. Rahimsyah. Legenda
dan Sejarah Lengkap Walisongo. (Amanah, Surabaya, tth). Hal.
50. Tulisan lain mencatat bahwa alasan penyerangan Demak (dipimpin Adipati
Yunus) ke Majapahit (masa Girindrawardhana) adalah sebagai serangan balasan
terhadap Girindrawardhana yang telah mengalahkan kakek Adipati Yunus, yaitu
Bhre Kertabumi (Prabu Brawijaya V). Lihat Marwati Djoenoed Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid II. Cetakan V. (PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1984). Hal.
451
[24] Prof. Dr. Slamet Muljana. Runtuhnya
… Opcit. Hal. 108
[25] Sholichin Salam. Sekitar
… Opcit. Hal. 13
[26] Sholichin Salam. Sekitar
… Ibid. Hal. 13. Berita dari Duarte Barbarosa yang berasal dari tahun
1518, menyebutkan bahwa Jawa masih dikuasai kerajaan kafir yang dipimpin Patih
Udra. Lihat Marwati Djoenoed Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah
Nasional Indonesia. Jilid II. … Hal. 449
[27] De Graf dalam kutipan Prof. Dr.
Rasjidi. Faham Tentang Islam …Opcit. Hal. 15
[28] Lihat Muhammad Yamin. Gajah
Mada : Pahlawan Persatuan Nusantara. Cetakan IX. (PN. Balai
Pustaka, Jakarta, 1977). Hal. 89
0 Response to "SEJARAH PERADABAN ISLAM DI INDONESIA"
Post a Comment