MAKALAH TAFSIR TARBAWI JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Saturday, 13 April 2013
MAKALAH TAFSIR TARBAWI
Tentang
MUSYAWARAH
(QS. Ali Imran ayat 159)
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan kita sehari-hari banyak hal yang kita
temukan, salah satunya dalam hal menentukan suatu keputusan. Kita lihat
dalam menentukan suatu keputusan itu ada seseorang yang mengutamakan
egonya sendiri, dan ada juga dengan jalan memusyawarahkan dengan orang
lain.
Dalam makalah ini, kami akan menerangkan tentang Musyawarah yang berdalilkan QS. Ali Imran Ayat 159.
PEMBAHASAN
A. Teks ayat
Artinya:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut
terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan
tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Maa pada firman Allah SWT, Fabimaa adalah shilah yang di dalamnya terdapat makna taukid (penegasan). Maksudnya, 7pyJômu‘Î6sù sama seperti firman-Nya, “Dalam sedikit waktu lagi”[1]
Menurut Ibnu Kaisan, Maa adalah Maa Nakirah yang berada pada posisi majrur dengan sebab ba’, sedangkan Rahmatin adalah
badalnya. Maka makna ayat adalah ketika Rasulullah SAW bersikap
lemah-lembut dengan orang yang berpaling pada perang uhud dan tidak
bersikap kasar terhadap mereka maka Allah SWT menjelaskan bahwa beliau
dapat melakukan itu dengan sebab taufik-Nya kepada beliau.[2]
Ada juga yang mengatakan Maa itu adalah istifham (pertanyaan).
Maka makna ayat: Maka dengan rahmat dari Allah yang mana kamu bersikap
lemah-lembut terhadap mereka. Ini adalah ungkapan takjub.
Namun pendapat kedua ini jauh dari kebenaran, sebab seandainya memang seperti itu tentu konteksnya adalah fabima, tanpa alif.
Selain itu, dalam ayat ini bertemulah pujian
yang tinggi dari Allah terhadap Rasul-Nya, karena sikapnya yang lemah
lembut, tidak lekas marah kepada ummatNya yang tengah dituntun dan
dididiknya iman mereka lebih sempurna. Sudah demikian kesalah beberapa
orang yang meninggalkan tugasnya, karena laba akan harta itu, namun
Rasulullah tidaklah terus marah-marah saja. Melainkan dengan jiwa besar
mereka dipimpin[3].
Dalam ayat ini Allah menegaskan, sebagai pujian kepada Rasul,
bahwasanya sikap yang lemah lembut itu, ialah karena ke dalam dirinya
telah dimasukkan oleh Allah rahmatNya. Rasa rahmat, belas kasihan, cinta
kasih itu telah ditanamkan Allah ke dalam diri beliau, sehingga rahmat
itu pulalah yang mempengaruhi sikap beliau dalam memimpin. Ini sesuai
dengan pujian tuhan di dalam firmannya yang lain yang terdapat pada
ayat-ayat terakhir surat at-Taubah ayat 128:
Artinya: “Sungguh telah datang
kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu,
amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin”
Di ujung ayat di atas, Allah memberikan sanjungan
tertinggi kepada RasulNya; diberi dua gelar yaitu RAUF dan RAHIM yang
berarti sangat pengasih, penyantun dan penghiba serta sangat penyayang.
Kedua nama Rauf dan Rahim itu adalah sifat-sifat Allah, Asma Allah,
termasuk di dalam al-Asmaul Husna yang 99 banyaknya. Rahmat Allah yang
telah diberikan kepadanya dirinya telah beliau laksanakan dengan baik,
sehingga telahmenjadi sikap hidup dan perangainya. Sehinga Allah sendiri
memberinya gelar dengan asma Allah.[4]
Dengan sanjungan Allah yang demikian tinggi kepada
RasulNya. Karena sikap lemah lembutnya itu,berartilah bahwa Allah senang
sekali jika sikap itu diteruskan. Dengan ini Allah telah member
petunjuk tentang “Ilmu Memimpin”. Sebab itu selanjutnya Allah berfirman;
“Karena sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu”.
Pemimpin
yang kasar dan berkeras hati atau kaku sikapnya, akan seganlah orang
menghampirinya. Orang akan menjauh satu demi satu, sehingga dia
sendirian. Kalau orang telah lari, janganlah orang itu disalahkan,
melainkan selidikilah cacat pada diri sendiri.
Firman Allah SWT, artinya keras dan kasar. Dalam sifat
Nabi SAW disebutkan bahwa beliau bukan orang yang keras, bukan orang
yang kasar dan bukan orang yang berteriak keras di pasar.
(keras hati) adalahd ungkapan untuk muka yang selalu masam,
tidak peka segala keinginan dan kurang memiliki rasakasih sayang. Makna
adalah memisahkan diri. Artinya kamu memisahkan mereka, maka merekapun memisahkan diri.
Firman Allah SWT selanjutnya,
Artinya: “Karena itu maafkanlah mereka,, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu”.
Dalam ayat ini terdapat delapan masalah:
Pertama:
Para ulama berkata, “Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya dengan
perintah-perintah ini secara berangsur-angsur. Artinya, Allah SWT
memerintahkan kepada beliau untuk memaafkan mereka atas kesalahan mereka
terhadap beliau. Setelah mereka mendapat maaf, Allah SWT memerintahkan
beliau utnuk memintakan ampun atas kesalahan mereka terhadap Allah SWT.
Setelah mereka mendapat hal ini, maka mereka pantas untuk diajak
bermusyawarah dalam segala perkara”.
Kedua: Ibnu
‘Athiyah berkata, “Musyawarah termasuk salah satu kaidah syariat dan
penetapan hokum-hukum. Barangsiapa yang tidak bermusyawarah dengan
ulama, maka wajib diberhentikan (jika dia seorang pemimpin). Tidak ada
pertentangan tentang hal ini. Allah SWT memuji orang-orang yang beriman
karena mereka suka bermusyawarah dengan firman Nya .
“sedang urusan mereka (diputuskan dengan musyawarat antara mereka”
Ketiga: Firman Allah SWT, “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”. Menunjukkan
kebolehan ijtihad dalam semua perkara dan menentukan perkiraan bersama
yang didasari dengan wahyu. Sebab, Allah SWT mengizinkan hal ini kepada
Rasul-Nya. Para ulama berbeda pendapat tentang makna perintah Allah SWT
kepada Nabi-Nya ntuk bermusyawarah dengan para sahabat beliau.
Sekelompok ulama berkata,
“Musyawarah yang dimaksudkan adalah dalam hal taktik perang dan ketika
berhadapan dengan musuh untuk menenangkan hati mereka, meninggikan
derajat mereka dan menumbuhkan rasa cinta kepada agama mereka, sekalipun
Allah SWT telah mencukupkan beliau dengan wahyu-Nya dari pendapat
mereka”[5]
Kelompok lain berkata, “
Musyawarah yang dimaksudkan adalah dalam hal yang tidak ada wahyu
tentangnya,” pendapat ini diriwayatkan dari Hasan Al Basri dan Dhahak.
Mereka berkata, “Allah SWt tidak memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk
bermusyawarah karena Dia membutuhkan pendapat mereka, akan tetapi Dia
hanya ingin memberitahukan keutamaan yang ada di dalam musyawarah kepada
mereka dan agar umat beliau dapat menauladaninya. [6]
Keempat: Tertera
dalam tulisan Abu Daud, dari Abu Hurairah ra. Dia berkata. “Rasulullah
SAW bersabda, yang artinya: “Orang yang diajak bermusyawarah adalah
orang yang dapat dipercaya”. Para ulama berkata, “Kriteria orang yang
layak untuk diajak musyawarah dalam masalah hokum adalah memiliki ilmu
dan mengamalkan ajaran agama. Dan criteria ini jarang sekali ada kecuali
pada orang yang berakal”. Hasan berkata, “Tidaklah sempurna agama
seseorang selama akalnya belum sempurna”.[7]
Maka apabila orang yang memenuhi criteria di atas diajak untuk
bermusyawarah dan dia bersungguh-sungguh dalam memberikan pendapat
namun pendapat yang disampaikannya keliru maka tidak ada ganti rugi
atasnya. Demikian yang dikatakan oleh Al Khaththabi dan lainnya.
Kelima: Kriteria orang yang diajak bermusyawarah dalam
masalah kehidupan di masyarakat adalah memiliki akal, pengalaman dan
santun kepada orang yang mengajak bermusyawarah.
Sebagian orang berkata, “Bermusyawarahlah dengan orang yang
memiliki pengalaman, sebab dia akanmemberikan pendapatnya kepadamu
berdasarkan pengalaman berharga yang pernah dialaminya dan kamu
mendapatnya dengan cara gratis”.
Keenam: Dalam musyawarah pasti ada perbedaan pendapat.
Maka, orang yang bermusyawarah harus memperhatikan perbedaan itu dan
memperhatikan pendapat yang paling dekat dengan kitabullah dan sunnah,
jika memungkinkan. Apabila Allah SWT telah menunjukkan kepada sesuatu
yang Dia kehendaki maka hendaklah orang yang bermusyawarah menguatkan
tekad untuk melaksanakannya sambil bertawakal kepada-Nya, sebab inilah
akhir ijtihad yang dikehendaki. Dengan ini pula Allah SWT memerintahkan
kepada Nabi-Nya dalam ayat ini.
Ketujuh: Firman Allah SWT “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah”. Qatadah
berkata, “Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya apabila telah
membulatkan tekad atas suatu perkara agar melaksanakannya sambil
bertawakal kepada Allah SWT, bukan tawakal kepada musyawarah mereka.
Kedelapan: Firman Allah SWT
“Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”.
Tawakal artinya berpegang teguh kepada Allah SWT sembari menampakkan kelemahan. Para ulama berbeda pendapat tentang Tawakal. Suatu
kelompok sufi berkata, “Tidak akan dapat melakukannya kecuali orang
yang hatinya tidak dicampuri oleh takut kepada Allah, baik takut kepada
bintang buas atau lainnya dan hingga dia meninggalkan usaha mencari
rezeki karena yakin dengan jaminan Allah SWT.”[8]
Adapun nilai pendidikan yang dapat kita ambil dari tafsir ayat diatas adalah:
1. Hendaklah kita selalu bersikap lemah lembut terhadap orang lain.
2. Janganlah kita bersikap keras lagi berhati kasar, karena itu akan membuat orang lain menjauh dari kita.
3. Maafkanlah kesalahan orang lain yang pernah berbuat salah kepada kita, walaupun orang itu belum meminta maaf kepada kita.
4. Dan kita sebagai muslim yang baik, hendaknya kita juga meminta ampun untuk orang-orang yang pernah menyakiti kita.
5. Kita dalam memutuskan suatu perkara hendaklah dengan jalan musyawarah, supaya terdapat jalan keluar yang baik dalam perkara itu.
6. Kita
juga hendaknya bertawakal kepada Allah SWT setelah kita melakukan
musyawarah itu, karena atas kehendak Allah SWT jugalah sesuatu itu akan
terjadi.
REFERENSI
Al-Qur’an, Microsoft Office Word
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1980
Tafsir Al-Qurthubi; penerjemahm Dusi Rosyadi, Nashirul Haq, Fathurrahman, editor, Ahmad Zubairin, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008
[1] Qs. Al Mu’minin ayat 40
[2]
Tafsir Al-Qurthubi; penerjemahm Dusi Rosyadi, Nashirul Haq,
Fathurrahman, editor, Ahmad Zubairin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008),
hal. 619
[3] Prof. Dr Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1980), hal 129
[4] Ibid, hal 129
[5] Tafsir Al-Qurthubi, op. cit. hal,624
[6] Tafsir Al-Qurthubi, op. cit. hal,624
[7] Tafsir Al-Qurthubi, op. cit. hal,625
[8] Tafsir Al-Qurthubi, op. cit. hal,628-632
sumber : http://jujurlahselalu.blogspot.com/2012/04/makalah-tafsir-tarbawi.html