PROGRAM STUDI PGMI:Antara Dilema dan Harapan
Saturday, 9 March 2013
Add Comment
LAHIRNYA Program Studi Pendidikan Guru
Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) tahun 2007 lebih didasarkan kebutuhan mendesak
terhadap adanya kekurangan guru-guru Madrasah Ibtidaiyah (MI). Pada saat itu,
MI sering diimaginasikan banyak orang sebagai lembaga “kelas dua”, karena
berbagai kondisi permasalahan yang dihadapi lembaga tersebut, mulai dari
persoalan pengelolaan (manajemen) yang tidak terstandar, persoalan kelembagaan,
kesejahteraan yang pas-pasan, hingga persoalan pengakuan masyarakat terhadap
keberadaan MI.
Semua
persoalan yang pada akhirnya berujung pada masalah sumber daya manusia (SDM)
yang tidak kompeten, tidak sesuai kualifikasi yang dibuthkan terutama terkait
dengan guru, sebagaimana terdapat dalam pasal 42 UU No. 20 tahun 2003 yang
menyatakan bahwa “Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi
sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta
memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Kehadiran
Prodi PGMI merupakan salah satu solusi yang dijadikan acuan pemerintah (baca:
Kemenag RI) dalam rangka memberdayakan madrasah, terutama terkait dengan
pemenuhan kebutuhan guru MI yang kompeten, professional, dan memiliki
kualifikasi minimal S1. Bagi Taufiq Siraj, Dosen PGMI IAIN Sunan Ampel dalam
tesis penelitiannya menyebutkan bahwa: “Program S-1 PGMI ini menjanjikan
sejumlah harapan kepada calon guru MI dengan bekal legalitas sarjana sebagai
tenaga pengajar pada MI dengan sertifikasi untuk mengajar di MI. Melalui
program S-1 PGMI dapat dijadikan awal dan kesempatan bagi penyiapan guru yang
profesional dan ahli pada tingkatan MI serta dapat melahirkan lulusan MI dengan
SDM yang baik pada tingkatan lokal dan nasional”. (http://ft.sunan-ampel.ac.id/publikasi/artikel/)
Diselenggarakannya Program PGMI akan memberikan sejumlah kematangan bagi
seorang sarjana dengan karakteristik dan profil sebagai tenaga pendidik sesuai
dengan kapabilitas keilmuan yang dimiliki pada jenjang pendidikan yang dilalui.
Terkait
dengan hal tersebut konsekwensi minimum yang harus ditunjukkan lulusan PGMI
mampu menjawab persoalan-persoalan keilmuan mendasar yang ada di MI. Oleh
karena itu, istilah yang digunakan dalam Permendiknas No. 16 tahun 2007 tentang
Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru, untuk menyebut lulusan S1 PGMI/PGSD
adalah Guru Kelas.
Sebagai
Guru Kelas MI/SD, yang pertama kali harus dikuasai adalah kemampuan pedagogik
guru dalam proses pembelajaran serta penguasaan ilmu yang dibutuhkan menyangkut
berbagai hal yang terkait mata pelajaran di MI/SD, yakni Bahasa Indonesia,
Matematika, Ilmu Pengetahuan Alama (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS),
dan Pendidikan Kewarganageraan. Kelima mata pelajaran tersebut menjadi
beban tanggung jawab guru kelas dalam proses pembelajaran, sementara mata
pelajaran yang lain seperti Pendidikan Agama Islam (PAI) (baca: SKI, Fiqh,
Akidah Akhlak, Quran Hadis, dan Bahasa Arab), Seni Budaya dan Karya (SBK),
olahraga dan kesehatan menjadi beban tugas dari guru mata pelajaran MI/SD.
Berdasarkan
pada aturan tersebut, diharapkan semua lulusan PGMI/PGSD dapat menunjukkan
kemampuannya minimal dalam 4 kompetensi utama, yakni pedagogik, professional,
kepribadian, dan sosial. Jika memang acuan yang manjadi sandaran
penyelenggaraan prodi PGMI/PGSD itu sama, maka sudah seharusnya semua lulusan
dari kedua lembaga tersebut dapat berkiprah di semua jenjang pendidikan dasar,
MI atau SD tanpa harus mempersoalkan “induk” dari keduanya. Selain dapat
berkiprah di MI, lulusan PGMI pun semestinya bisa berkontribusi di SD,
begitupun sebaliknya.
PGMI = PGSD Plus
Di antara hasil Seminar dan Lokakarya Nasional “Penguatan
Kelembagaan Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) Melalui
Pengembangan Kurikulum” 28-30 Nopember 2012, disepakati tentang tujuan
Prodi PGMI, yakni “Menghasilkan lulusan yang mampu menjadi guru kelas yang
mampu mengintegrasikan mata pelajaran dengan nilai-nilai dan wawasan dasar
keislaman”. Integrasi sendiri berasal dari bahasa Inggris "integration"
yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi ilmu berarti sebuah
proses menyempurnakan atau menyatukan di antara ilmu-ilmu yang selama ini
dianggap dikhotomis sehingga menghasilkan satu pola pemahaman yang integrative
tentang konsep ilmu pengetahuan. Dalam konteks pemanfaatan ayat kauliyah dan
kauniyah berarti memanfaatkan kedua ayat tersebut sebagai sumber yang tidak
harus diperdebatkan. Sementara nilai keislaman berarti “suatu keyakinan atau
kepercayaan terhadap ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islam yang menjadi
dasar bagi seseorang atau sekelompok orang untuk memilih tindakannya,
atau menilai suatu yang bermakna atau tidak bermakna bagi kehidupannya”.
(Muhaimin, bahan presentasi Semiloka Nasional PGMI, 29/11/12)
Terkait dengan konsep integrasi tersebut, Azyumardi Azra,
(Azra: Mizan, 2005) mengemukakan ada tiga tipologi respon cendekiawan muslim
berkaitan dengan hubungan antara keilmuan agama dengan keilmuan umum. Pertama:
Restorasionis, yang mengatakan bahwa ilmu yang bermanfaat dan dibutuhkan adalah
praktek agama (ibadah). Kedua: Rekonstruksionis interprestasi agama
untuk memperbaiki hubungan peradaban modern dengan Islam. Ketiga:
Reintegrasi, merupakan rekonstruksi ilmu-ilmu yang berasal dari al-ayah
al-qur’aniyah dan yang berasal dari al-ayah al-kawniyah berarti
kembali kepada kesatuan transsendental semua ilmu pengetahuan. Prodi PGMI lahir
bukan saja memenuhi tuntutan pragmatis masyarakat Indonesia atas kekurangannya
terhadap guru MI, tapi justru keberadaannya telah memberikan warna baru bagi
keilmuan “pendidikan dasar” dengan mengedepankan nilai integrasi keilmuan dasar
sebagai basis utamanya, serta nilai keislaman yang menjadi ciri keberadaan
madrasah. Jika konsep pembidangan ilmu di kedua prodi tersebut (PGSD/MI) dibagi
menjadi 4 (empat) bagian, yaitu: 1) kependidikan, 2) konten bidang bahasa
Indonesia SD/MI, 3) konten bidang matematika SD/MI, 4) konten bidang Ilmu Pengetahuan
Alam (IPA), 5) konten bidang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan 6) konten
bidang Pendidikan Kewarganageraan (PKn), maka terkait dengan penerapan
integrasi di maksud adalah bagaimana kelima bidang keilmuan tersebut dilihat
dari sudut pandang yang integratif. Satu bidang kajian ilmu harus dilihat dalam
sudut pandang yang berbeda, bahkan dalam implementasinya integrasi nilai
(termasuk keislaman) harus didukung juga melalalui upaya pembiasaan dalam
proses pembelajaran, penerapan manajemen program studi, serta kegiatan
ekstrakurikuler. Proses itulah yang seharusnya lahir di prodi PGMI, sehingga
PGMI dapat menunjukan “kualitas”, bahkan dapat menjadi prodi PGSD Plus,
dengan segenap kemampuannya dalam bidang ilmu-ilmu pendidikan dasar, serta
“nilai tambah” keislaman yang ciri utama dari para alumni PGMI. Fz
0 Response to "PROGRAM STUDI PGMI:Antara Dilema dan Harapan "
Post a Comment