STUDI SEJARAH DI SITUS TROWULAN 1
Saturday, 13 October 2012
Add Comment
Laporan Kelompok Sosiologi :
MAJAPAHIT DALAM LINTAS PELAYARAN DAN
PERDAGANGAN NUSANTARA
Lambang Majapahit
Pengantar
Hipotesa tentang luasnya wilayah
Kerajaan Majapahit yang hampir seluas Indonesia sekarang, demikian “merasuk”
dan dipercaya oleh sebagian masyarakat Indonesia. Akibat dari hipotesa yang
kurang didukung oleh data yang kuat ini, timbul anggapan bahwa Majapahit adalah
kerajaan maritim yang mempunyai angkatan laut yang kuat. Kapal-kapalnya
menguasai jalur-jalur pelayaran di Nusantāra. Kecuali Sunda (Jawa bagian barat)
yang masih satu daratan dengan Majapahit, beberapa daerah lain masuk dalam
wilayah Kerajaan Majapahit.Untuk “meluruskan” hipotesa yang sudah terlanjur
berkembang tersebut, dalam makalah ini akan dikemukakan beberapa persoalan yang
berkenaan dengan wilayah Majapahit, dan pelabuhan-pelabuhan penting yang berada
di wilayah Majapahit. Sumber-sumber kajian diperoleh dari sumber-sumber sejarah
yang berupa prasasti dan naskah-naskah. Sementara itu data menge¬nai teknologi
perkapalan, baik data arkeologis yang berupa data temuan runtuhan kapal/perahu
dari abad ke-13-15, data dari relief bangunan, maupun dari data prasasti dan
naskah kuna, hingga kini nyaris tidak ada atau belum ditemukan.
Usaha Penyatuan Nusantara
Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi
tidak ingin melepaskan puasa. Beliau Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan
Nusāntara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram,
Tañjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah
saya (baru akan) melepaskan puasa". Demikianlah isi Sumpah Palapa yang
diucapkan oleh Mahāpatih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit seperti yang
dikutip dari Kitab Pararaton. Sumpah ini diucapkan di hadapan
Tribhūwanottunggadewī Jayawisnu¬warddhanī (1328-1372). Atas dasar sumber
Pararaton dan penyebutan nama-nama tempat di Nusāntara dalam
Nāgarakĕrtāgama , sebagian besar di antara kita percaya bahwa luas
wilayah Kerajaan Majapahit nyaris seluas Republik Indonesia
sekarang. “Konsekuensi” dari anggapan ter¬sebut tentu timbul pertanyaan
sebe¬rapa besar angkatan laut Majapahit kala itu? Sementara itu Majapahit baru
sele¬sai me¬numpas beberapa pemberontak¬an yang terjadi di Tanah Jawa (kawasan
inti Maja¬pahit), seperti pem¬berontakan di Sadĕng dan Keṭa pada tahun
1331. Apakah mung¬kin Majapahit dapat menaklukan daerah-daerah yang jauh
dari pusat pemerintahannya? Memang beberapa sumber sejarah dari dua arah
(Majapahit dan daerah taklukan) menyebutkan tentang penak¬lukan seperti dalam
naskah Rāja Puraṇa
(Kidung Pasunggrigis) menye¬butkan tentang penaklukan Bali pada tahun
1343 dan Prasasti Wadu Tunti menyebut¬kan tentang penaklukan Kerajaan
Kapalu di Sumbawa pada sekitar tahun 1343. Namun di tempat-tempat lain
yang daftar namanya tercantum dalam Nāgarakĕrtāgama, sumber sejarah seperti itu
nyaris tidak ada. Kalaupun ada, hanya bersifat oral yang diceriterakan dari
mulut ke mulut yang pada akhirnya banyak terjadi penyimpangan dan pada akhirnya
hilang.
Kendi Majapahit
Semacam bukti arkeologis juga ditemukan
di beberapa situs di luar Jawa. “Bukti” arkeologis itu antara lain berupa
tembikar dalam bentuk kendi yang oleh para pakar disebut dengan istilah “kendi
Majapahit” dengan ciri mempunyai payungan dan dibuat dari tanah liat halus yang
berwarna merah. Kendi semacam ini ditemukan di Situs Muara Jambi
(Jambi), Ketapang (Kalimantan Barat) dan Bontobontoa (Sulawesi
Selatan). Dengan bukti semacam ini beberapa pakar menduga bahwa daerah tersebut
merupakan salah satu bagian dari wilayah Majapahit. Ada pendapat yang
menya¬takan bahwa persatuan dapat ter¬wujud apa¬bila ada ancaman dari luar.
Beberapa puluh tahun sebelum Mahāpatih Gajah Mada bersumpah untuk menyatukan
Nusāntara di bawah Majapahit, Mahā¬rāja Kěrtanā¬gara dari Kerajaan Siŋha¬sāri
juga berniat menyatukan Nusāntara. Hal ini dianggap penting untuk menghadapai
ancaman serangan Khubilai Khan dari Kerajaan Mongol. Prasasti yang dipahatkan
pada bagian belakang arca Camuṇḍi
(1292 Masehi) dari Desa Ardimulyo yang dikeluarkan oleh Mahārāja Kěrtanāgara
terkandung gagasan perluasan cakrawāla maṇḍala
ke luar pulau Jawa yang meliputi daerah seluruh dwīpāntara. Dalam prasasti itu
dikatakan bahwa arca Bhaṭṭari
Camuṇḍi ditahbiskan pada
waktu Śrī Mahārāja Kěrtanāgara menang di seluruh wilayah dan menunduk¬kan semua
pulau-pulau yang lain.
Dalam usahanya menyatukan
Nusāntara, Śrī Mahārāja Kěrtanāgara tidak selalu dengan kekuatan senjata.
Ekspedisi Pamalayu menghadiahkan sebuah arca Amoghapāśa kepada Mālayu sebagai
tanda persahabatan merupakan contohnya. Mengenai pengiriman arca,
tercantum dalam Prasasti Dharmmāśraya yang isinya sebagai berikut: “Pada
tahun 1208 Śaka sebuah arca Amo¬ghapāśa dengan keem¬pat¬belas pengiringnya dan
saptaratna dibawa dari Bhūmi Jawa ke Swarnna¬bhūmi untuk ditempatkan di
Dharmmāśraya seba¬gai punya Śrī Wiśwarūpa¬kumāra. Yang diperintahkan oleh Śrī
Mahā¬¬rā-jādhirāja Kĕrtanāgara untuk mengi¬ringkan arca terse¬but ialah Rakryān
Mahā¬mantri Dyaḥ
Adwayabrahma, Rakryān Sirikan Dyaḥ
Suga¬ta¬brahma, Samgat Payānan Haṅ
Dipang¬ka¬radāsa, dan Rakry¬ān Dmuṅ
Pu Wira. Seluruh rakyat Mālayu da¬ri keempat kasta ber¬suka cita, terutama
rajanya, Śrīmat Tribhū¬wanarāja Mauli¬warmma¬dewa”.
Maksud pengiriman arca itu jelas
bahwa Siŋhasāri tidak bermaksud menguasai Mālayu seperti tersirat dalam kalimat
“Seluruh rakyat Mālayu da¬ri keempat kasta ber¬suka cita, terutama rajanya,
Śrīmat Tribhū¬wanarāja Mauli¬warmma¬dewa”. Mungkin maksudnya mengajak
beraliansi dalam menghadapi serangan tentara Mongol yang datang dari utara.
Tetapi yang perlu diingat bahwa ketika itu gagasan menyatukan Nusāntara sudah
mulai tumbuh jauh sebelum Gajah Mada mengucapkan sumpah Palapa-nya.
Dari kedua contoh tersebut
(Majapahit dan Siŋhasāri), jelas bahwa untuk memenuhi keinginan penyatuan
Nusāntara diperlukan sarana angkut¬an laut dan tentara yang kuat. Tentu saja
mempunyai alasan yang kuat sebe¬lum niatan tersebut dilontarkan dan
dilaksanakan, seperti Kerajaan Siŋhasāri dalam usahanya mengantisipasi serangan
dari Khubilai Khan yang sebelum¬nya telah ada peringatan dengan dikirimkan¬nya
utusan Mongol ke Siŋhasāri pada tahun 1280 dan 1281. Dalam usaha mengungkap
peristiwa ini Sumber sejarah yang menye¬butkan peristiwa itu juga cukup valid
dan kuat seperti dalam kaitannya dengan perluasan cakrawāla maṇḍala ke luar pulau Jawa
oleh Śrī Mahārāja Kěrtanāgara. Dalam mengungkap peristiwa ini ada sumber
Prasasti Camuṇḍi
yang ada di Jawa, Prasasti Dharmaśrāya yang ada di Sumatra (Mālayu), dan sumber
naskah Pararaton dan Nāgarakĕrtāgama. Sumber-sumber sejarah tersebut saling
mendukung dan mengisi. Bagaimana halnya dengan Majapa¬hit dengan sumpah
Palapa-nya Gajah Mada? Apa alasannya sampai meng¬ucapkan sumpah hendak
menyatukan Nusāntara?
Kalau berdasarkan bukti-bukti yang
masih sumir, jelas bahwa wilayah Majapahit tidak seluas apa yang diduga oleh
banyak orang. Berdasarkan sumber sejarah yang sampai kepada kita, wilayah
kekuasaan kerajaan Majapahit hanya meliputi sebagian Jawa Tengah, Jawa Timur,
Madura, Bali, sampai Sumbawa. Di dalam wilayah ini terdapat 21 negara daerah
yang masing-masing diperintah oleh Paduka Bhaṭṭara. Negara daerah itu antara lain
Mataram, Pajang, Lasĕm, Kadiri, Lumajang, Madura, Bali, dan Gurun.
Kitab Nāgarakĕrtāgama menyebutkan sekurang-kurangnya 60 nama tempat di Nusāntara mulai dari Sumatra hingga Maluku/Irian (Nāg. 13:1-2; 14:1-5). Juga nama-nama tempat yang terdapat di Semenanjung Tanah Melayu. Dalam struktur kewilayahan, tempat-tempat ini disebut desantara kacayya, yaitu tempat-tempat yang mendapat perlindungan dari Raja Maja¬pahit. Tempat-tempat ini bukan merupakan daerah wilayah kekuasaan Majapahit. Persembahan upeti pada waktu-waktu tertentu kepada Raja Majapahit, tidak lain sebagai tanda terimakasih karena Raja telah melin¬dungi, dan bukan sebagai tanda tunduk.
Negara asing yang mempunyai
hubungan dengan Majapahit, antara lain Ayudhyapura, Dharmanagari, Marutma,
Rajapura, Singanagari, Campa, Kamboja, dan Yawana (Nāg. 15:1). Negara-negara
yang ada di Asia Tenggara daratan ini menjalin hubungan politik dan perdagangan
dengan Majapahit. Mereka disebut sebagai mitra satata (negara sahabat yang sama
kedudukannya).
Pelabuhan di Pantai Utara Jawa
Kalau direkonstruksi jalur-jalur
pelayaran pada sekitar abad ke-7-9 Masehi berdasarkan berita-berita asing dan
artefak asing seperti keramik dan kaca, agaknya Jawa masih kurang ramai jika
dibandingkan dengan Sumatra bagian timur. Namun kalau ditelusuri dari gaya seni
arca Śailendra (abad ke-8-9 Masehi) yang ditemukan di Jawa, Sumatra, dan
Semenanjung Tanah Melayu, hubungan pelayaran di tempat-tempat tersebut cukup
ramai dan intensif. Apalagi kalau ditelusuri dari perdagangan cengkeh dan pala
yang hanya dihasilkan di kawasan timur Nusāntara (Maluku), tentunya pantai
utara Jawa merupakan tempat yang strategis untuk pelabuhan. Posisi Jawa Timur
terletak di tengah jalur pelayaran antara Sumatra dan Maluku. Di Jawa Timur
pada waktu itu, termasuk daerah inti kerajaan adalah beberapa kota pelabuhan,
misalnya pelabuhan Kambang¬putih (Tuban), Pajarakan, Gresik, Surabaya, dan
Canggu. Jauh sebelum Maja¬pahit, pada masa pemerintahan Raja Airlangga (abad
ke-11 Masehi), di wilayah Jawa Timur telah dikenal pembagian fungsi pelabuhan
sesuai dengan asal kedatangan kapal. Pela¬buhan Hujuṅgaluh yang merupakan
pelabuhan sungai (Sungai Brantas) terletak di sekitar Mojo¬kerto dan diatur
untuk pelabuhan pulau, sedangkan pelabuhan Kambangputih yang letaknya di
pesisir Tuban diatur untuk pelabuhan antarpulau.
Nama Hujuṅgaluh disebutkan dalam Prasasti Kamalagyan yang ber¬angka tahun 959 Śaka (1037 Masehi) sebagai sebuah kota pelabuhan dan perniagaan yang terpenting pada masa itu. Kapal-kapal niaga dan para saudagar dari pulau-pulau lain berdatangan ke Hujuṅgaluh untuk berniaga (“…….. maparahu samanghulu mangalap bhanda ri hujunggaluh tka rikang para puhawang para banyaga sangka ring dwipantara, samanunten ri hujunggaluh ……..”). Pelabuhan ini terletak di daerah delta Brantas, kira-kira dekat kota Surabaya sekarang.
Tuban dengan Kambangputih sebagai
pelabuhannya, juga merupakan tempat penting untuk disinggahi para saudagar.
Tempat ini juga baik sebagai tempat untuk memperbaiki kapal-kapal niaga yang
rusak karena dekat hutan jati sebagai bahan pembuat dinding lambung. Pada
awalnya Tuban meru¬pakan pelabuhan yang ideal. Di pelabuhan ini banyak tinggal
orang Tionghoa yang berasal dari Kanton dan Chang-chou. Namun pada akhir
Majapahit, Tuban dikenal sebagai pelabuhan yang tidak aman. Sumber-sumber
Tiong¬hoa abad ke-15 menyebut pelabuhan Tuban sebagai tempat yang tidak aman,
sehingga kapal-kapal saudagar Tionghoa menjauhinya. Mereka lebih suka ke Gesik
dan Surabhaya. Kapal-kapal Tuban memaksa dengan kekeras¬an kapal-kapal Tionghoa
agar singgah di Tuban. Selanjutnya disebutkan bahwa Tuban sebagai sarang lanun.
Dari beberapa pelabuhan yang
terdapat di pantai utara Jawa Timur, agaknya pelabuhan Gresik yang paling
berperan. Peranan Gresik sebagai kota pelabuhan tidak dapat dipisahkan
dari rangkaiannya dengan kota-kota pelabuhan lainnya di daerah pantai utara
Jawa Timur, seperti Tuban (Ta-pan atau Tu-pan), Sidhayu, Hujuṅgaluh (Jung-ya-lu atau
Chung-kia-lu), dan Surabhaya. Lebih-lebih lagi jika kita lihat dari
perspektif perkotaan dan perniagaan dari kurun waktu antara abad ke-11 sampai
sekitar awal abad ke-16, Gresik dapat berkembang karena dukungan pelabuhan-pelabuhan
lain serta keletakkan geografisnya yang lebih menguntungkan.
Sejalan dengan perkembangan perdagangan antara kawasan timur dan barat Nusāntara, di Jawa Timur pada masa Majapahit lahir pula beberapa kota pelabuhan. Kota-kota pelabuhan yang sudah ada berkembang lebih besar lagi. Kota-kota pelabuhan yang lahir pada masa Majapahit antara lain Canggu yang disebutkan dalam prasasti Selamandi II tahun 1318 Śaka (1396 Masehi). dan prasasti Canggu (Trawulan I) tahun 1280 Śaka (1358 Masehi).
Sejalan dengan perkembangan perdagangan antara kawasan timur dan barat Nusāntara, di Jawa Timur pada masa Majapahit lahir pula beberapa kota pelabuhan. Kota-kota pelabuhan yang sudah ada berkembang lebih besar lagi. Kota-kota pelabuhan yang lahir pada masa Majapahit antara lain Canggu yang disebutkan dalam prasasti Selamandi II tahun 1318 Śaka (1396 Masehi). dan prasasti Canggu (Trawulan I) tahun 1280 Śaka (1358 Masehi).
Berdasarkan hasil penelitian
arkeologi di Situs Manyar (Gresik), per¬mukiman di Gresik telah muncul pada
sekitar abad ke-13 Masehi. Meskipun telah lama dihuni, nama Gresik baru muncul
pada masa Majapahit. Dalam prasasti Karangbogem (Trawulan V) yang dikeluarkan
oleh Bhre Lasĕm pada tahun 1387 Masehi, disebutkan adanya orang-orang dari
Gresik (“hana ta kawulaningong saking gresik”) yang diperkerjakan di perusahan
tambak (perikanan) di Karangbogem. Menurut berita Tionghoa yang ditulis oleh Ma
Huan (1433 Masehi), Gresik merupakan sebuah ‘Desa Baru’ yang dalam bahasa
Mandarin disebut Ko-erh-hsi. Desa baru ini terletak di sebelah timur Tuban pada
jarak sekitar setengah hari perjalanan.
Pada awalnya Gresik merupakan
daerah pantai berpasir. Oleh orang-orang Tionghoa yang datang dari Tiongkok
Tengah, antara tahun 1350 dan 1400 Masehi dibangun menjadi sebuah desa
pemukiman yang baru. Gresik berkembang pesat setelah tahun 1400 Masehi,
dan ketika Ma Huan datang Gresik telah menjadi sebuah kota pelabuhan terbaik
dan terpenting. Nama Gresik (Ko-erh-shi) disebut dalam Ying-yai Shĕng-lan
bersama-sama dengan nama Tuban (Tu-pan), Surabhaya (Su-lu-ma-i atau
Su-erh-pa-ya), Canggu (Chang-ku), dan Majapahit (Man-che-po-i).
Penghuninya telah berkembang menjadi lebih dari seribu keluarga. Orang asing dari
berbagai tempat banyak berdatangan ke tempat ini untuk berniaga. Berbagai jenis
barang dagangan diperjual-belikan dalam jumlah yang banyak. Karena perdagangan
ini penduduk kota Gresik menjadi sangat makmur.
Ma Huan menyebutkan barang-barang
dagangan yang diperjual-belikan di pelabuhan Gresik diantaranya berupa emas dan
batu-permata, dan berbagai jenis barang dagangan dari luar negeri. Dari kawasan
timur Nusāntara diperjual-belikan pula rempah-rempah dari Maluku dan kayu
cendana (sandalwood) dari Timor yang ditukar dengan beras, tekstil, dan
keramik. Menurut Tomé Pires dalam Suma Oriental, kota pelabuhan Gresik
(Agracij, Agacij, atau Agraci) pada sekitar tahun 1512 merupakan sebuah bandar
yang besar dan terbaik di seluruh Jawa, sehingga dijuluki “Permata dari
Jawa”. Para pedagang asing dari Gujarat, Calicut, Benggala, Siam,
Tiongkok, dan Liu-Kiu (Lequeos) sudah sejak lama berdatangan untuk berniaga di
pelabuhan ini.
Gresik mempunyai dua bagian kota
yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Kota pelabuhan Gresik dihubungkan di
bagian utara dengan kota pelabuhan Sidhayu (Cedayo), dan di bagian selatan,
dihubungkan dengan pelabuhan Surubhaya (Curubaia). Tomé Pires mengemukakan pula
bahwa kota pelabuhan Gresik diperintah oleh dua penguasa yang saling bersaing.
Penguasa ini yang satu bernama Adipati Jusuf (Pate Cucuf) menguasai sebagian
besar wilayah, dan yang lainnya bernama Adipati Zainal (Pate Zeynall) menguasai
bagian wilayah lainnya. Para penguasa Gresik ini juga merupakan
saudagar-saudagar yang melakukan kegiatan perniagaan dengan Maluku dan Banda.
Kota pelabuhan Gresik pada waktu itu berpen¬duduk sekitar 6.000 sampai 7.000
orang.
Galangan Junk
Hingga saat ini, data dan informasi
mengenai teknologi perkapalan dari masa Majapahit (abad ke-14-15 Masehi) sangat
kurang, bahkan dapat dikatakan nyaris tidak ada. Berdasarkan data yang minim
itu, kita hanya dapat mengira-ngira sampai seberapa tinggi teknologi perkapalan
pada masa itu. Perkiraan itu dapat direkonstruksi berdasarkan logika
perkembangan teknologi perkapalan dari masa sebelumnya.
Data arkeologi maritim yang diperoleh dari beberapa situs dengan tinggalannya runtuhan perahu/kapal seperti di Muara Kumpeh (Jambi), Sam¬birejo dan Tulung Selapan (Sumatra Selatan), dan Punjulharjo (Rembang, Jawa Tengah), menginformasikan pada kita bahwa teknologi perkapalan yang dikembangkan pada masa itu (abad ke-8-9 Masehi) adalah “teknik papan-ikat dan kupingan pengikat” (sewn-plank and lashed-lug technique) di wilayah tradisi Asia Tenggara. Mengenai bentuknya, secara garis besar dapat diketahui dari beberapa relief perahu dan kapal yang dipahatkan pada relief-cerita Lalitawistara.Penggunaan kapal sebagai waha¬na untuk mengarungi samudra dan me¬nyeberangi pulau-pulau di Nusāntara sejak abad ke-8 Masehi, dan bahkan sejak sebelum tarikh Masehi sudah dila¬kukan penghuni Nusāntara ini. Dengan teknologi “sederhana” mereka sudah dapat menyeberangi samudra. Sebut saja ketika Śrī Mahā¬¬rā¬jādhirāja Kĕrtanāgara mengirimkan arca Amoghapāśa dengan keem¬pat¬belas pengiringnya dan saptaratna dari Bhūmi Jawa ke Swarnna¬bhūmi untuk ditempatkan di Dharmmāśraya, tentu meng¬gu¬nakan wahana kapal yang berukuran besar. Kalau dari masa sebelum Majapahit sudah dapat mengarungi samudra, tidak mustahil pada masa Majapahit tentu juga demikian. Adanya pelabuhan-pelabuhan di wilayah Majapahit merupa¬kan suatu petunjuk. Sebuah data sejarah yang ditemukan di Lasĕm mem-berikan petunjuk yang masih awal tentang kepemilikan junk-junk perang oleh Majapahit.
Menuju arah timur dari rangkaian
pelabuhan di pantai utara Jawa Timur, terdapat sebuah pelabuhan tua yang
bernama Lasĕm. Nama Lasěm selama ini hanya dikenal dalam kakawin
Nāgarakěrtāgama pupuh 5:1 sebagai tempat tinggal Bhre Lasěm (Śrī
Rājasaduhitendudewi) yang dikun¬jungi Hayam Wuruk tahun 1354 Masehi. Informasi
mutakhir tentang Lasĕm ditemukan pada sekitar tahun 1980-an, yaitu Babad Lasěm.
Babad Lasěm merupakan salinan dari isi sebuah babad bernama Pustaka Badrasanti
yang ditulis oleh Kamzah, seorang bangsawan Lasěm yang hidup tahun 1825.
Dalam babad ini disebutkan beberapa nama pemukiman masa Bhre Lasěm memerintah
pada tahun 1273 Śaka. Tempat-tempat tersebut antara lain Kaeringan, Teluk
Regol, Keraton Kryan, Bonang-Binangun, dan beberapa tempat keagamaan. Kaeringan
merupakan se¬buah pelabuhan yang telah ada sejak masa Dewi Indu (Bhre Lasěm,
Śrī Rājasaduhitendudewi) berkuasa. Suaminya, Rājasa¬ward¬dhana (Bhre Matahun)
dise-butkan menguasai junk-junk perang yang berada di tempat (pelabuhan)
ini. Sampai masa Islam masuk di pantai utara Jawa, Kaeringan masih berfungsi
sebagai pelabuhan. Dari masa ini disebutkan bahwa Pangeran Santikusumo ketika
berusia 18 tahun, naik perahu dari tempat ini menuju Tuban. Pelabuhan lain di
sekitar Lasěm adalah Teluk Regol. Di pelabuhan ini juga terdapat junk-junk
perang yang dikuasai oleh Rājasawarddhana. Disebutkan juga berlabuhnya
junk-junk Campa milik saudagar Bi Nang Un di Teluk Regol. Dari nama Bi Nang Un,
nama Regol kemudian berubah menjadi Binangun, sebuah desa sekitar 4 km menuju
arah timur Lasem. Letaknya di tepi sebuah teluk yang berair tenang. Sebuah
penelitian arkeologi di daerah Lasěm berhasil mengidentifikasi¬kan nama-nama
tempat yang disebutkan dalam Babad Lasěm. Di Situs Kiringan yang dalam
Babad Lasěm disebut Kaeringan terdapat tinggalan budaya yang berupa struktur
bata, tembikar, keramik, matauang kepeng, dan bandul jaring; di Situs Binangun
yang dalam Babad Lasěm disebut Pelabuhan Regol terdapat tinggalan budaya yang
berupa sumur kuna, bata dan batu candi, keramik, dan manik-manik. Kedua situs
tersebut letaknya di daerah pantai.
Secara geografis Lasěm memang
menempati posisi yang strategis di antara Jepara dan Tuban. Dari sisi
sumberdaya alam yang dekat hutan jati di kawasan pedalaman sangat memungkinkan
untuk pembuatan/perbaikan junk. Sumber-sumber Portugis dan Belanda
menginformasikan bahwa Lasěm merupa¬kan salah satu tempat di Jawa yang dipakai
sebagai galangan kapal, bahkan merupakan pusat industri kapal. Kapal-kapal yang
dibuat disini adalah kapal yang berukuran kecil khusus untuk berperang.
Keahlian ini mungkin sudah ada jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke
Nusāntara. Seperti yang diberitakan Babad Lasĕm bahwa Rājasawarddhana (Bhre
Matahun) menguasai junk-junk perang yang berada di pelabuhan Kaeringan dan
Teluk Regol.
Majapahit merupakan sebuah kerajaan agraris yang keletakkannya di Nusāntara di tengah jalur perdagangan/pelayaran antara bagian timur dan barat Nusāntara. Para saudagar dari timur Nusāntara membawa rempah-rempah (cengkeh dan Pala), sedangkan dari barat membawa hasil hutan (kapur barus, kemenyan, dan damar) dan produk dari Timur Tengah (kaca). Para saudagar ini bertemu di salah satu pela¬buhan di wilayah Majapahit. Karena keletakkannya inilah Majapahit berusaha memono¬poli perdagangan Nusāntara melalui pelabuhan-pelabuhannya di pantai utara Jawa bagian timur. Wajar jika para saudagar dari kerajaan-kerajaan kecil di Nusāntara memohon perlindungan pada Raja Majapahit sebagai desantara kacayya. Berdasarkan sumber Babad Lasĕm dan lokasi geografis Majapahit, dapat diperoleh gam¬baran bahwa Majapahit memang memerlukan junk-junk perang yang mungkin ukurannya lebih kecil tetapi mempunyai kelincahan yang tinggi. Junk-junk perang ini diperlukan untuk mengamankan perairan Majapahit di Laut Jawa dan pelabuhan-pelabuhannya di pantai utara Jawa seperti Lasĕm, Tuban (Kambangputih), Sidhayu, Gresik, Surabhaya, dan Canggu. Mengenai bentuk, apalagi teknologinya belum dapat diketahui dengan pasti karena hingga kini belum pernah ditemukan bukti runtuhannya
0 Response to "STUDI SEJARAH DI SITUS TROWULAN 1"
Post a Comment