MEMBONGKAR GURITA CIKEAS
Tuesday, 3 April 2012
Add Comment
Gurita Cikeas
RFERENSI : http://kabarnet.wordpress.com/membongkar-gurita-cikeas/
Sebelumnya kami mohon pamit dan keikhlasan-nya pada penulis buku (George Junus Aditjondro) berjudul “Memmbongkar Gurita Cikeas” yang telah kami publikasikan semua isi buku via situs ini, mengingat buku tersebut sulit didapati. Mudah-mudahan, beliau merestuinya dengan lapang dada. Tentunya, susunan tulisan buku tersebut kami rapikan kembali sesuai yang ada. “DARI RAKYAT UNTUK RAKYAT” Semoga bermanfaat. ADMIN.
Aditjondro Persilakan Gurita Cikeas Dibajak
INILAH.COM, Jakarta - George Junus Aditjondro menegaskan tidak akan mempermasalahkan bila buku ‘Membongkar Gurita Cikeas’ dibajak. George malah mempersilakan bukunya untuk dibajak dan dinikmati seluasnya.
“Saya bukan penganut copy right, tapi copy left. Ambilah, bajaklah, dan nikmatilah!” tegas Aditjondro.
Hal itu diungkapkan Aditjondro terkait dengan sikapnya terhadap kemunculan buku ‘Membongkar Gurita Cikeas’ versi bajakan. Naskah buku itu juga muncul di internet dalam format pdf yang bisa didownload dengan gratis. Meski buku itu ditemukan telah dibajak, namun ia sama sekali tidak terlihat keberatan dengan adanya buku versi bajakan itu.
“Bajakan itu ingin membantu orang yang miskin,” pungkas George.
http://www.inilah.com/berita/politik/2009/12/31/252102/aditjondro-persilakan-gurita-cikeas-dibajak/
___________________________________
“Membongkar Gurita Cikeas”
(di balik skandal Bank Century)
“apakah penyertaan modal sementara yang berjumlah Rp 6,7 triliun itu ada yang bocor atau tidak sesuai dengan peruntukannya? Bahkan berkembang pula desasdesus, rumor, atau tegasnya fitnah, yang mengatakan bahwa sebagian dana itu dirancang untuk dialirkan ke dana kampanye Partai Demokrat dan Capres SBY; fitnah yang sungguh kejam dan sangat menyakitkan.
…. sejauh mana para pengelola Bank Century yang melakukan tindakan pidana diproses secara hukum, termasuk bagaimana akhirnya dana penyertaan modal sementara itu dapat kembali ke negara?”
Begitulah sekelumit pertanyaan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidatonya hari Senin malam, 23 November 2009, menanggapi rekomendasi Tim 8 yang telah dibentuk oleh Presiden sendiri, untuk mengatasi krisis kepercayaan yang meledak di tanah air, setelah dua orang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) – Bibit S. Ryanto dan Chandra M. Hamzah – ditetapkan sebagai tersangka kasus pencekalan dan penyalahgunaan wewenang, hari Selasa, 15 September, dan ditahan oleh Mabes Polri, hari Kamis, 29 Oktober 2009.
Barangkali, tanpa disadari oleh SBY sendiri, pernyataannya yang begitu defensif dalam menangkal adanya kaitan antara konflik KPK versus Polri dengan skandal Bank Century, bagaikan membuka kotak Pandora yang sebelumnya agak tertutup oleh drama yang dalam bahasa awam menjadi populer dengan julukan drama cicak melawan buaya. Memang, drama itu, yang begitu menyedot perhatian publik kepada tokoh Anggodo Widjojo, yang dijuluki “calon Kapolri” atau “Kapolri baru”, cukup sukses mengalihkan perhatian publik dari skandal Bank Century, bank gagal yang mendapat suntikan dana sebesar Rp 6,7 trilyun dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), jauh melebihi Rp 1,3 trilyun yang disetujui DPR-RI.
Selain merupakan tabir asap alias pengalih isu, penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah oleh Mabes Polri dapat ditafsirkan sebagai usaha mencegah KPK membongkar skandal Bank Century itu, bekerjasama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Soalnya, investigasi kasus Bank Century itu sudah didorong oleh Bibit Samad Riyanto, yang waktu itu masih aktif sebagai Wakil Ketua Bidang Investigasi KPK (Batam Pos, 31 Agust 2009). Sedangkan BPK juga sedang meneliti pengikutsertaan dana publik di bank itu, atas permintaan DPR-RI pra-Pemilu 2009.
Dari berbagai pemberitaan di media massa dan internet, nama dua orang nasabah terbesar Bank Century telah muncul ke permukaan, yakni Hartati Mudaya, pemimpin kelompok CCM (Central Cipta Mudaya) dan Boedi Sampoerna, salah seorang penerus keluarga Sampoerna, yang menyimpan trilyunan rupiah di bank itu sejak 1998. Sebelum Bank Century diambilalih oleh LPS, Boedi Sampoerna, seorang cucu pendiri pabrik rokok PT HM Sampoerna, Liem Seng Thee, masih memiliki simpanan sebesar Rp Rp 1.895 milyar di bulan November 2008, sedangkan simpanan Hartati Murdaya sekitar Rp 321 milyar. Keduanya sama-sama penyumbang logistik SBY dalam Pemilu lalu. Beberapa depositan kelas kakap lainnya adalah PTPN Jambi, Jamsostek, dan PT Sinar Mas. Boedi Sampoerna sendiri, masih sempat menyelamatkan sebagian depositonya senilai US$ 18 juta, berkat bantuan surat-surat rekomendasi Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri waktu itu, Komjen (Pol) Susno Duadji, tanggal 7 dan 17 April 2009 (Rusly 2009: 48; Haque 2009; Inilah.com, 25 Febr. 2009; Antara News, 10 Ag. 2009; Vivanews.com, 14 Sept. 2009; Forum Keadilan, 29 Nov. 2009: 14).
(TIDAK KAMI CANTUMKAN)
SURAT REKOMENDASI BARESKRIM MABES POLRI, KOMJEN (POL) SUSNO DUADJI, TERTANGGAL 7 DAN 17 APRIL 2009
BANTUAN GRUP SAMPOERNA UNTUK HARIAN JURNAS
Apa relevansi informasi ini dengan keluarga Cikeas? Boedi Sampoerna ditengarai menjadi “salah seorang penyokong SBY, termasuk dengan menerbitkan sebuah koran” (Rusly 2009: 48). Ada juga yang mengatakan” Sampoerna sejak beberapa tahun lalu mendanai penerbitan salah satu koran nasional (Jurnas/Jurnal Nasional) yang menjadi corong politik Partai SBY” (Haque 2009).
Dugaan itu tidak 100% salah, tapi kurang akurat. Untuk itu, kita harus mengenal figur-figur keluarga Sampoerna yang memutar roda ekonomi keluarga itu, setelah penjualan 97% saham PT HM Sampoerna kepada maskapai transnasional AS, Altria Group, pemilik pabrik rokok AS, Philip Morris, di tahun 2005, seharga sekitar US$ 2 milyar atau Rp 18,5 trilyun. Liem Seng Tee, yang mendirikan pabrik rokok itu di tahun 1963 bersama istrinya, Tjiang Nio, mewariskan perusahaan itu kepada anaknya, Aga Sampoerna (Liem Swie Ling), yang lahir di Surabaya tahun 1915. Aga Sampoerna kemudian menyerahkan perusahaan itu kepada dua orang anaknya, Boedi Sampoerna, yang lahir di Surabaya, tahun 1937, serta adiknya, Putera Sampoerna, yang lahir di Amsterdam, 13 Oktober 1947. (PDBI 1997: A-789 – A-796; Warta Ekonomi, 18-31 Mei 2009: 43, 49).
Sesudah menjual pabrik rokoknya kepada Philip Morris, Putera menyerahkan pengelolaan perusahaan pada anak bungsunya, Michael Joseph Sampoerna, yang telah mengembangkan holding company keluarga yang baru, Sampoerna Strategic, ke berbagai bidang dan negara. Misalnya, membeli 20% saham perusahaan asuransi Israel, Harel Investment Ltd dan saham dalam kasino di London, dan berencana membuka sejuta hektar kelapa sawit di Sulawesi, berkongsi dengan kelompok Bosowa milik Aksa Mahmud, ipar Jusuf Kalla (Investor, 21 Ag.-3 Sept. 2002: 19; Prospektif, 1 April 2005: 48; Globe Asia, Ag. 2008: 52-53, Ag. 2009: 100-101).
Namun ada seorang kerabat Boedi dan Putera Sampoerna, yang tidak pernah memakai nama keluarga mereka. Namanya Sunaryo, seorang kolektor lukisan yang kaya raya, yang mengurusi pabrik kertas Esa Kertas milik keluarga Sampoerna di Singapura yang hampir bangkrut, dan sedang bermasalah dengan Bank Danamon. Menurut sumber-sumber penulis, sejak pertama terbit tahun 2006, Sunaryo mengalirkan dana Grup Sampoerna ke PT Media Nusa Perdana, penerbit harian Jurnal Nasional di Jakarta.
Perusahaan itu kini telah berkembang menjadi kelompok media cetak yang cukup besar, dengan harian Jurnal Bogor, harian Jurnal Bogor, majalah bulanan Arti, dan majalah dwimingguan Eksplo. Boleh jadi, dwimingguan ini merupakan sumber penghasilan utama perusahaan penerbitan ini, karena penuh iklan dari maskapai‐maskapai migas dan alat-alat berat penunjang eksplorasi migas dan mineral.
Secara tidak langsung, dwi-mingguan Explo dapat dijadikan indikator, sikap Partai Demokrat – dan barangkali juga, Ketua Dewan Pembinanya – terhadap kebijakan-kebijakan negara di bidang ESDM. Misalnya dalam pendirian pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), yang tampaknya sangat dianjurkan oleh Redaksi Explo (lihat tulisan Noor Cholis, “PLTN Muria dan Hantu Chernobyl”, dalam Explo, 16-31 Oktober 2008, hal. 106, serta berita tentang PLTN Iran yang siap beroperasi, September lalu dalam Explo, 1-15 April 2009, hal. 79).
Pemimpin Umum harian Jurnas berturut-turut dipegang oleh Asto Subroto (2006-2007), Sonny (hanya beberapa bulan), dan N. Syamsuddin Ch. Haesy (2007 sampai sekarang). Kedua pemimpin umum pertama bergelar Doktor dari IPB, dan termasuk pendiri Brighton Institute bersama SBY.
Selama tiga tahun pertama, ada dua orang fungsionaris PT Media Nusa Perdana yang diangkat oleh kelompok Sampoerna, yakni Ting Ananta Setiawan, sebagai Pemimpin Perusahaan, dan Rainerius Taufik sebagai Senior Finance Manager atau Manajer Utama Bisnis. Dalam Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Besar PT Media Nusa Perdana, yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi DKI Jakartam 5 Maret 2007, namanya tercantum sebagai Direktur merangkap pemilik dan penanggungjawab.
Sementara itu, kesan bahwa perusahaan media ini terkait erat dengan Partai Demokrat tidak dapat dihindarkan, dengan duduknya Ramadhan Pohan, Ketua Bidang Pusat Informasi BAPPILU Partai Demokrat sebagai Pemimpin Redaksi harian Jurnal Nasional dan majalah Arti, serta Wakil Ketua Dewan Redaksi di majalah Eksplo.
Sebelum menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Jurnas, Ramadhan Pohon merangkap sebagai Direktur Opini Publik & Studi Partai Politik Blora Center, think tank Partai Demokrat yang mengantar SBY ke kursi presidennya yang pertama. Barangkali ini sebabnya, kalangan pengamat politik di Jakarta mencurigai bahwa dana kelompok Sampoerna juga mengalir ke Blora Center. Soalnya, sebelum Jurnas terbit, Blora Center menerbitkan tabloid dwi-mingguan Kabinet, yang menyoroti kinerja anggota-anggota Kabinet Indonesia Bersatu. Sementara itu, Ramadhan Pohan baru saja terpilih menjadi anggota DPR-RI dari Fraksi Demokrat, mewakili Dapil VII Jawa Timur (Jurnalnet.com, 25 Febr. 2005; Fajar, 21 Juni 2005; ramadhanpohan.com, 14 Okt. 2009).
Kembali ke kelompok Jurnas dan hubungannya dengan Grup Sampoerna, di tahun 2008, Ting Ananta Setiawan mengundurkan diri dari jabatan Pemimpin Perusahaan, yang kini dirangkap oleh Pemimpin Umum, N. Syamsuddin Haesy. Namun nama Ananta Setiawan tetap tercantum sebagai Pemimpin Perusahaan, sebagai konsekuensi dari SIUP
PT Media Nusa Perdana. Mundurnya Ananta Setiawan secara de facto terjadi seiring dengan mengecilnya saham Sampoerna dalam perusahaan media itu, dan meningkatnya peranan Gatot Murdiantoro Suwondo sebagai pengawas keuangan perusahaan itu. Isteri Dirut BNI ini, dikabarkan masih kerabat Ny. Ani Yudhoyono (McBeth 2007).
Berapa besar dana yang telah disuntikkan Grup Sampoerna ke kelompok Jurnas? Menurut SIUP PT Media Nusa Perdana yang diterbitkan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi DKI Jakarta, 5 Maret 2007, nilai modal dan kekayaan bersih perusahaan itu sebesar Rp 3 milyar. Namun jumlah itu, hanya cukup untuk sebulan menerbitkan harian Jurnal Nasional, yang biaya cetak, gaji, dan biaya-biaya lainnya kurang lebih Rp 2 milyar sebulan. Berarti biaya penerbitan tahun pertama (2006), sekitar Rp 24 milyar. Tahun kedua (2007), turun menjadi sekitar Rp 20 milyar, setelah koran dan majalah-majalah terbitan PT Media Nusa Perdana mulai menarik langganan dan iklan. Tahun ketiga (2008), sekitar Rp 18 milyar, dan tahun keempat (2009) sekitar Rp 15 milyar.
Berarti kelompok media cetak ini telah menyedot modal sekitar Rp 90 milyar, mengingat Jurnal Bogor menyewa kantor sendiri di Bogor, dan punya rencana untuk berdiri sendiri, dengan perusahaan penerbitan sendiri. Selain biaya cetak yang tinggi untuk seluruh Grup Jurnas, pos gaji wartawan kelompok media ini tergolong cukup tinggi. Gaji pertama wartawan Jurnas tahun 2006 mencapai Rp 2,5 juta sebulan, tiga kali lipat gaji wartawan baru Jawa Pos Group.
Kecurigaan masyarakat bahwa keluarga Sampoerna tidak hanya menanam modal di kelompok media Jurnal Nasional, tapi juga di simpulsimpul kampanye Partai Demokrat yang lain, yang juga disalurkan lewat Bank Century, bukan tidak berdasar. Soalnya, Laporan Keuangan PT Bank Century Tbk Untuk Tahun Yang Berakhir Pada Tanggal-Tanggal 30 Juni 2009 dan 2008 menunjukkan bahwa ada penarikan simpanan fihak ketiga sebesar Rp 5,7 trilyun.
Selain itu, Ringkasan Eksekutif Laporan Hasil Investigasi BPK atas Kasus PT Bank Century Tbk tertanggal 20 November 2009 menunjukkan bahwa Bank Century telah mengalami kerugian karena mengganti deposito milik Boedi Sampoerna yang dipinjamkan atau digelapkan oleh Robert Tantular dan Dewi Tantular sebesar US$ 18 juta – atau sekitar Rp 150 milyar — dengan dana yang berasal dari Penempatan Modal Sementara LPS.
PEMANFAATAN PSO LKBN ANTARA UNTUK BRAVO MEDIA CENTER:
Kemudian, sudah ada preseden bahwa dana publik dialihkan untuk biaya kampanye Partai Demokrat dan calon presidennya. Hal ini timbul, di mana ada perangkapan jabatan antara kader Partai Demokrat, khususnya yang duduk di dalam berbagai tim sukses, dengan jabatan komisaris atau fungsionaris badan-badan usaha milik negara (BUMN) tertentu. Misalnya dalam kasus Rully Ch. Iswahyudi yang selain menjadi Direktur Komersial & IT Perum LKBN Antara, juga ikut mengelola Bravo Media Center.
Mantan direktur Blora Center dalam Pemilu 2004 dan mantan Wakil Pemimpin Umum Harian Jurnal Nasional itu masih tercantum namanya sebagai Staf Khusus Bappilu Partai Demokrat, menurut situs resmi Partai Demokrat, 10 Juli 2009. Juga, sampai dengan 1 April lalu, namanya masih tercantum sebagai Direktur Media Center Barindo (Barisan Indonesia) (Gatra, 1 April 2009: 17). Padahal Barindo, yang ditokohi oleh Akbar Tanjung, adalah salah satu jejaring militan pendukung SBY (lihat Lampiran I).
Lalu, adalah kontribusi finansial Rully bagi kampanye Capres dan Cawapres SBY-Boediono? Ada. Bersama CEO LKBN Antara, Dr. Akhmad Muchlis Jusuf, separuh dari dana PSO (Public Service Obligation) LKBN Antara yang berjumlah Rp. 40,6 milyar ke Bravo Media Center, salah satu tim kampanye SBY-Boediono.
PSO untuk LKBN Antara itu merupakan bagian dari alokasi PSO untuk empat BUMN – PELNI, PT Kereta Api Indonesia (KAI), LKBN Antara, dan PT Pos – sebesar Rp 1,7 trilyun yang disetujui oleh DPR‐RI, akhir 2008. Pengalihan separuh dana PSO LKBN Antara untuk Bravo Media Center ini menimbulkan ketegangan di dalam kantor berita itu. Barangkali, karena rasa tanggungjawab yang besar, serta susahnya mencari pekerjaan, tidak ada karyawan LKBN Antara yang keluar, namun informasi ini sudah sempat merembes ke luar.
Nah, kalau pengalihan sebagian uang rakyat untuk ‘dana siluman’ kampanye SBY-Boediono – karena tidak dilaporkan ke KPU –, bagaimana dengan uang rakyat yang dititipkan pada Badan-Badan Usaha Milik Negara yang lain, di mana pejabatnya juga menjadi anggota tim sukses SBY-Boediono? Baik yang terdaftar, maupun yang tidak terdaftar?
= Bagaimana dengan dana PSO yang dialokasikan untuk PT KAI, yang komisarisnya, Yahya Ombara, juga menjadi anggota tim sukses SBYBoediono, sebelum ditarik, 10 Juni lalu?
= Bagaimana dengan dana PSO yang dialokasikan untuk PT Pos, yang komisarisnya, Andi Arief, menjadi anggota Jaringan Nusantara?
= Bagaimana dengan transparansi dana BUMN lain, yang komisarisnya juga anggota Jaringan Nusantara, seperti Aam Sapulete (PTPN VII, Lampung), Herry Sebayang (PTPN III, Sumut), dan Syahganda Nainggolan (PT PELINDO, yang mengelola pelabuhan Tanjung Priok, termasuk pelabuhan peti kemasnya)?
Pengalihan dana melalui Bank Century, LKBN Antara, atau korporasi-korporasi lain, terdorong oleh gencarnya usaha SBY serta para pendukungnya, untuk memastikan pemilihannya kembali untuk masa jabatan kepresidenan yang kedua dan terakhir, sehingga terbukti jumlah pemilih Partai Demokrat telah melonjak hampir tiga kali lipat dari 7 % dalam Pemilu legislatif tahun 2004 menjadi sekitar 20% dalam Pemilu legislatif 2009.
YAYASAN-YAYASAN YANG BERAFILIASI KE SBY:
Selain melalui lebih dari selusin tim kampanye (lihat Lampiran 1), penggalangan dukungan politis dan ekonomis bagi SBY dimotori oleh yayasan-yayasan yang berafiliasi ke SBY dan ke Ny. Ani Yudhoyono. Selanjutnya, yayasan-yayasan yang berfungsi sebagai bagian dari strategi public relationship keluarga Yudhoyono, ternyata tidak luput dari usaha penggalangan dana bagi perusahaan-perusahaan lama dan baru, yang kemungkinan besar juga menyumbangkan sebagian keuntungannya untuk biaya kampanye Partai Demokrat dan calon presidennya.
Antara tahun 2005-2006, telah didirikan dua yayasan yang berafiliasi ke SBY, yakni Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam yang didirikan tahun 2005 dan berkantor di Tebet, Jakarta Selatan , tapi selalu menyelenggarakan kegiatan-kegiatan dzikirnya di Masjid Baiturrahim di Istana Negara; serta Yayasan Kepedulian Sosial Puri Cikeas, disingkat Yayasan Puri Cikeas, yang didirikan tanggal 11 Maret 2006 di kompleks perumahan Cikeas Indah (lihat Lampiran 2: Susunan Pengurus Yayasan
Puri Cikeas).
Kedua yayasan itu melibatkan sejumlah menteri (ada yang sekarang mantan menteri, seperti), sejumlah perwira tinggi, sejumlah pengusaha, serta anggota keluarga besar SBY. Edhi Baskoro Yudhoyono, putra bungsu SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, sebagai salah seorang Sekretaris Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, dan Hartanto Edhie Wibowo, adik bungsu Ny. Ani Yudhoyono (lihat Box II: Dinasti Sarwo Edhie Wibowo) sebagai salah seorang bendahara.
(TIDAK KAMI CANTUMKAN) BOX II: DINASTI SARWO EDHIE WIBOWO
Menjelang Pemilu 2009, yayasan penopang kekuasaan SBY bertambah satu: Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian (KdK), yang dipimpin oleh Arwin Rasyid. Empat orang anggota Dewan Pembinanya sudah masuk ke dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II, yakni Djoko Suyanto, Purnomo Yusgiantoro, Sutanto, dan MS Hidayat (lihat Lampiran 3a: Visi, Misi, dan Struktur Pengurus YKDK).
Yayasan ini dikelola oleh orang-orang yang punya banyak pengalaman di bidang perbankan. Ketua Umumnya, Arwin Rasyid, Presiden Direktur CIMB Bank Niaga, sedangkan Bendahara Umumnya, Dessy Natalegawa. Dessy adalah adik kandung Menlu Marty Natalegawa yang sudah diproyeksikan akan diangkat menjadi Menlu dalam KIB II (Gatra, 28 Okt. 2009: 16). Mereka tidak perlu lagi bingung memikirkan penggalangan dana (fund raising ) bagi yayasan ini, yang telah mendapat kucuran dana sebesar US$ 1 juta dari Djoko Soegiarto Tjandra, pemilik Bank Bali dan buron kelas kakap BLBI (Vivanews, 2 Okt. 2009; Mimbar Politik, 7-14 Okt. 2009: 10-11).
Yayasan Puri Cikeas, Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, dan Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian punya beberapa ciri yang sama. Ketiga yayasan itu tidak dipimpin oleh SBY sendiri, tapi oleh orang-orang dari inner circle nya. Pola operasinya sama: memadu kedermawanan dengan mobilisasi dukungan politik dan ekonomi. Sejumlah perusahaan pendukung ketiga yayasan itu bukannya tidak mengharapkan keuntungan. Padahal, jangkauan kedermawanan ketiga yayasan itu membutuhkan dana yang sangat besar. Lagi pula, hasil auditing ketiga yayasan itu oleh auditor publik yang betul-betul independen, belum pernah dilaporkan ke parlemen dan ke media massa.
Soalnya, ketiga yayasan itu melibatkan sejumlah Menteri dan staf harian Presiden, serta menguasai dana milyaran rupiah. Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam tadinya melibatkan tiga orang Menteri (Hatta Rajasa, Sudi Silalahi, dan M. Maftuh Basyuni, yang tadinya Menteri Agama) sebagai Pembina, serta Brigjen Kurdi Mustofa, Sekretaris Pribadi Presiden SBY, sebagai Pengawas. Kegiatan yayasan ini telah menelan dana yang sebagian mungkin berasal dari anggaran negara. Misalnya, dana untuk kegiatan zikir dan doa di Masjid Baiturrahim di Kompleks Istana Negara di akhir 2007 dan 2008, yang diikuti antara 3000 dan 4000 jemaah, yang selesai berdoa, diundang makan malam di Istana Negara (Kompas, 31 Des. 2007; Tempo, 13 Jan. 2008: 34).
Biaya makan malam ribuan jemaah zikir itu mungkin dapat diambil dari anggaran rutin kepresidenan yang telah disetujui oleh DPR-RI. Tapi bagaimana dengan biaya ibadah umroh bagi lima rombongan ulama a 50 orang yang disponsori oleh yayasan ini, di mana setiap orang menelan biaya seribu real (Antara News, 16 Sept. 2008; Masayok 2008; website majelis dzikir)?
Boleh jadi, selain dari uang rakyat, melalui anggaran kepresidenan, pembiayaan yayasan ini dibantu oleh kedua orang bendaharanya. Selain Hartanto, ada bendahara lain, yakni Aziz Mochdar, mitra bisnis Bambang Trihatmodjo dan adik Muchsin Mochdar, ipar mantan Presiden B.J. Habibie. Selain itu, Aziz juga mitra Gunawan Yusuf, pemilik Sugar Group Company (SGC) yang sedang berkonflik dengan Anthony Salim tentang kepemilikan sejumlah perkebunan tebu di Lampung (Aditjondro 2003: 94; Tempo, 13 Mei 2008; Mahkamah, 15 April 2009: 28-29; Gatra, 1 April 2009: 68-69).
Dibandingkan dengan Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, Yayasan Puri Cikeas melibatkan lebih banyak pejabat, purnawirawan perwira tinggi, dan pengusaha. Ketua Dewan Pembinanya adalah Jero Wacik, Menteri Pariwisata dan Kebudayaan, pemilik tiga perusahaan yang bergerak di bidang hotel, biro perjalanan, bidang interior, dan disain tekstil, yakni PT Griya Batu Bersinar, PT Pesona Boga Suara, dan PT Putri Ayu (Sriwijaya Post, 8 Sept. 2009; Warta Ekonomi, 16-29 Nov. 2009: 49).
Selain Menteri tadi, sejumlah mantan perwira tinggi terlibat di Yayasan Puri Cikeas. Ketua dan anggota Dewan Penasehat yayasan ini adalah mantan KSAD Jenderal (Purn.) Subagyo H.S., Komjen (Pol) Didi Widayadi, dan Mayjen TNI Bambang Sutedjo. Sedangkan Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum Pengurus adalah Marsekal Madya (Purn.) Suratto Siswodihardjo, mantan Ketua INKOPAU, dan mantan Wakil Ketua MPRRI Letjen (Purn.) Agus Widjojo. Subagyo HS dan Agus Widjojo tetangga SBY di kompleks Cikeas Indah itu (Detiknews, 24 Sept. 2004).
Para pebisnis yang namanya tercantum di struktur organisasi yayasan ini adalah Jero Wacik, yang sudah disebut di depan; Sofyan Basir, Dirut Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan mantan Dirut Bank Bukopin; Anton Sukartono, putra Suratto Siswodiharjo yang juga Wakil Bendahara DPP Partai Demokrat dan CEO PT Bakrie Building Industries, anak perusahaan Bakrie & Brothers; Glen Glenardi, Direktur Utama Bukopin; Sukamdani Sahid Gitosarjono, pemimpin dan pemilik Sahid Group, serta anaknya, Hariadi Budi Sukamdani; Tanri Abeng dan anaknya, Emil Abeng, Presiden PT Walinusa Energi yang bergerak di bidang pertambangan batubara serta pembangunan pembangkit-pembangkit tenaga listrik dan pipa‐pipa gas alam (Aditjondro 2003: 24-5; Tempo, 13 Mei 2008, 2 Febr. 2009; Antara, 12 April 2006; Lampung Post, 1 Juni 2006; Sriwijaya Post, 8 Sept. 2009; Warta Ekonomi, 16-29 Nov. 2009: 49; Bank Bukopin 2002; website Yayasan Puri Cikeas; website Partai Demokrat).
Jangan lupa, Ketua Umum yayasan ini, Suratto Siswodihardjo, juga seorang pebisnis, setelah berkarier di bidang kemiliteran dan politik. Lahir di Solo tahun 1946, lulusan AKABRI Udara di Yogyakarta (1969) dan Sarjana Sosial Universitas Jakarta (1992) menjabat sebagai Kasi Sospol Mabes AU (1990-1992), anggota DPRD-DKI dari Fraksi ABRI dan Ketua INKOPAU (1998-2001). Tahun 1998, Suratto menjadi komisaris PT Sweet Indo Lampung dan PT Indo Lampung Perkasa (1998 – 2000) yang waktu itu masih milik Anthony Salim; anggota Dewan Audit Bank Bukopin ( 2006 – 2007) dan komisaris Bank Bukopin (2001-2002); komisaris PT Prosys Engineering International (2005); dan komisaris PT Angkasa Pura II (2006- 2007) yang mengelola bandara-bandara di Jakarta, Medan, Palembang, Banda Aceh, dan Pontianak (Angkasa Pura II 2007: 3, 15; Bank Bukopin 2002, 2006; Mahkamah, 15 April 2009: 28-29).
Dengan modal yang telah terkumpul dari berbagai usahanya, Suratto membeli tanah seluas 25 hektar di Desa Cikeas, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, waktu masih berharga Rp. 5000 per meter persegi tahun 1995. Tanah itu kemudian dikapling-kapling, masing-masing seluas seribu meter persegi, dan tahun berikutnya ditawarkan kepada sejumlah perwira tinggi di jajaran Hankam seharga Rp 35 ribu per meter persegi. Sejumlah jenderal membelinya, termasuk SBY, yang langsung membeli empat kapling, yang sekarang sudah bernilai Rp 1,5 hingga Rp 2 juta per meter persegi. Suratto membangun rumahnya bersamaan dan berseberangan dengan SBY tahun 1997. Jadi boleh dikata, Suratto adalah seorang pengembang yang berhasil, yang berkepentingan untuk mempertahankan SBY menjadi Presiden untuk periode keduanya, supaya harga tanah di kompleks Cikeas Indah semakin mahal (Detiknews, 24 Sept. 2004; Tempo, 21 Juni 2009: 28, 21 Juni 2009: 28; Harian Komentar, 27 Ag. 2007).
Boleh jadi, mereka ikut menyumbang kegiatan Yayasan Puri Cikeas, yang bergerak dalam penyelenggaraan Sekolah Alam Cikeas, penanggulangan bencana alam di DIY dan Jawa Tengah, warung murah, dan berbagai bentuk bantuan sosial, terutama buat penduduk pedesaan sekitar Cikeas. Sedangkan untuk bantuan pengobatan gratis, ada klinik keliling, gagasan Ny. Ani Yudhoyono (Harian Komentar, 27 Ag. 2007; Radar Bogor, 16 Ag. 2009).
Sejauh tidak menggunakan uang rakyat, dan murni dibiayai oleh pengusaha swasta, tidak ada masalah. Namun karena Sofyan Basir, Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) adalah Wakil Ketua Dewan Pembina Yayasan Puri Cikeas, keuangan yayasan ini perlu diaudit dan dilaporkan ke parlemen, mengingat BRI merupakan BUMN.
Secara khusus, para nasabah Bank Bukopin juga berkepentingan mengetahui laporan keuangan yayasan ini, sebab dirut Bank Bukopin, Glen Glenardi, adalah ketua Badan Pengawas yayasan ini. Padahal ketua umum yayasan ini, Suratto Siswodiharjo, pernah menjadi Komisaris (2001-2002), kemudian anggota Tim Audit Bank Bukopin (2006-2007).
Walaupun Bukopin itu sendiri sudah badan usaha swasta, pemegang sahamnya termasuk koperasi-koperasi pegawai negeri sipil (PNS), polisi, dan tentara. Suratto Siswodiharjo sendiri, masuk ke lingkungan Bukopin, karena ia pernah menjabat sebagai Ketua Induk Koperasi Angkatan Udara (INKOPAU). Dengan demikian dapat dikatakan, Bukopin mengelola sejumlah uang rakyat yang telah dibayarkan sebagai gaji pegawai negeri sipil, polisi, dan tentara.
KAITAN YAYASAN-YAYASAN TERSEBUT DI ATAS DENGAN BISNIS KELUARGA CIKEAS:
Namun yang paling penting, keuangan ketiga yayasan itu perlu diaudit dan dilaporkan ke parlemen dan media, karena dua orang anggota keluarga besar SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, yakni Hartanto Edhi Wibowo, adik bungsu Ny. Ani Yudhoyono dan Edhi Baskoro Yudhoyono, putra bungsu SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, yang sudah terjun dalam bisnis keluarga Cikeas, memegang jabatan-jabatan strategis di Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, masing‐masing sebagai bendahara dan sekretaris.
Menariknya, Hartanto Edhie Wibowo, punya ikatan bisnis dengan adik dari M. Hatta Rajasa, Pembina Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, melalui PT Power Telecom (Powertel). Hartanto adalah Komisaris Utama perusahaan itu, sementara adik Hatta Rajasa, Achmad Hafisz Tohir, salah seorang direkturnya, pakar telematika Roy Suryo Notodiprojo komisaris independen, sedangkan Dicky Tjokrosaputro, salah seorang pewaris Batik Keris, direktur utama PT Powertel. Waktu Hatta Rajasa jadi Menteri Perhubungan, Powertel mendapat proyek telekom serat optik dari PT KAI Tempo Interaktif, 27 April 2009; Warta Ekonomi, 15-28 Juni 2009: 56; Indonesia Monitor, 7 & 14 April 2009; www.selular.co.id, 2 Juli 2008; www.jakartapress.com, 4 Agustus 2008).
(TIDAK KAMI CANTUMKAN) FOTO DICKY TJOKROSAPUTRO, DIREKTUR UTAMA PT POWERTEL
PowerTel yang berkantor pusat di Jakarta, dengan enam kantor cabang di Pulau Jawa, mendapat berbagai proyek di lingkungan PT Kereta Api Indonesia (KAI) sewaktu Hatta Rajasa masih menjabat sebagai Menteri Perhubungan, yakni pembangunan double track jurusan Tanah Abang-Serpong bernilai Rp 333 milyar; pengadaan 16 unit kereta api listrik (KRL) bekas dari Jepang bernilai Rp 44,5 milyar; serta pengadaan jaringan serat optik di kawasan Jakarta, Bandung, dan Surabaya, dengan memanfaatkan jaringan rel PT KAI (idem).
Ironisnya, berbagai proyek itu merupakan rekomendasi Proyek Efisiensi Perkeretaapian (PEP) PT KAI, yang dibiayai dengan hutang US$ 85 juta dari Bank Dunia. Rekomendasi itu ditindaklanjuti dengan hutang 41 milyar Yen dari pemerintah Jepang melalui JBIC (Japan Bank for International Cooperation) untuk pembangunan rel double track dan pembelian gerbong-gerbong bekas dari Jepang, serta hutang US$ 194,88 juta dari pemerintah RRT untuk pembangunan rel double track antara Yogyakarta dan Kutoarjo (Nikmah & Wijiyati 2008: 1, 13-4).
Dengan kata lain, perusahaan kongsi keluarga Tjokrosaputro, Hatta Rajasa, dan Hartanto Edhie Wibowo mengambil keuntungan dari akumulasi hutang Republik Indonesia kepada Bank Dunia serta pemerintah Jepang dan RRT, sewaktu Hatta Rajasa menjabat sebagai Menteri Perhubungan. Kalau begitu, apakah SBY – siapapun wakil presidennya – dapat menyangkal bahwa ia menganut pola ekonomi neoliberalis, yang mendahulukan kepentingan modal besar ketimbang kepentingan rakyat?
Pencatatan saham PowerTel dilakukan 18 September 2008, dengan PT BNI Securities sebagai penjamin. Timbul pertanyaan: apakah faktor perkerabatan antara pelaku-pelaku bisnis itu dengan keluarga Cikeas, ikut mempermulus hubungan antara PowerTel dengan BNI Securities?
Soalnya, Gatot Mudiantoro Suwondo, yang menjadi Dirut BNI sejak 6 Februari 2008, setelah sebelumnya menjadi direktur bank syariah Bank Danamon, masih kerabat Ny. Ani Yudhoyono, dari fihak isterinya (McBeth 2007; Tribun Batam, 7 Febr. 2008; www.liputan6.com/ekbis/?id=15450, 6 Febr. 2006).
Ternyata, ada aspek lain di balik perkongsian Dicky Tjokrosaputro dengan keluarga SBY dan Hatta Rajasa, yakni mencari perlindungan terhadap tekanan Bank Mandiri. Soalnya, melalui PT Hanson International Tbk yang bergerak di bidang pertambangan batubara, tiga bersaudara Benny, Teddy, dan Dicky Tjokrosaputro, masih berhutang Rp 152,5 milyar kepada Bank Mandiri, yang hanya bagian kecil dari hutang kelompok PT Suba Indah Tbk sebesar Rp. 1,28 trilyun kepada bank itu. Kata Abdul Rachman, Direktur Special Asset Management Bank Mandiri, meskipun salah satu debitur Suba Indah ada yang terkait dengan keluarga Cikeas, Bank Mandiri tidak akan mundur dalam menagih utang. “Suba Indah harus dikejar lagi. Utangnya masih besar, masih banyak. Ya tentu kami masih tagih terus. Kami akan kejar dengan cara apapun”, ujar Abdul Rachman (Warta Ekonomi, 2-15 Nov. 2009: 69-70; www.jakartapress.com, 4 Agustus 2008).
Kembali ke PT Powertel, boleh jadi, tidak ada hubungan bisnis khusus antara Gatot Mudiantoro Suwondo dengan Hartanto Edhie Wibowo. Sementara itu, adik bungsu Ny. Ani Yudhoyono itu juga dipercayai memangku berbagai jabatan penting dalam Partai Demokrat, sebagai Ketua Departemen BUMN.
Sedangkan putra bungsu SBY, Edhie Baskoro Yudhoyono yang akrab dipanggil “Ibas”, dipercaya oleh ayah dan pamannya, Hadi Utomo, Ketua Umum DPP Partai Demokrat, menjadi Ketua Departemen Kaderisasi DPP Partai Demokrat. Ibas juga ikut Center for Food, Energy, and Water Studies (CFEWS), lembaga, yang digagas Heru Lelono, staf khusus Presiden SBY, yang pernah bikin heboh dengan “Enerji Biru” dan padi Super Toy (Tempo Interaktif, 3 Nov. 2008).
Ibas juga sudah terjun ke dunia bisnis, khususnya ke produksi kue kering, dengan menjadi Asisten Direksi PT Gala Pangan, menurut situs kpu.go.id. Untuk mengetahui riwayat bagaimana ia mulai terjun ke bisnis itu, bacalah Box I berikut:
BOX I: KISAH IBAS DAN BISNIS KUE KERINGNYA
EDHIE Baskoro Yudhoyono baru selesai menempuh pendidikan diplomanya di Curtin University of Technology, Perth, Western, Australia, 26 Februari 2005, ketika keluarga Cikeas menggelar rapat keluarga untuk membahas masa depan putra bungsu SBY itu. Materi pembicaan seputar keinginan Ibas — demikian sapaan lajang kelahiran Bandung, 24 November 1980 itu — untuk menerapkan dua gelar diploma yang diraihnya selama tujuh tahun, Bachelor of Commerce Finance dan Electronic Commerce, ke dunia kerja.
Namun, pembicaraan yang berlangsung serius tapi santai itu menemui jalan buntu. Posisi SBY sebagai presiden membuat mereka kesulitan mencari kata temu untuk menentukan bisnis apa yang cocok untuk Ibas. SBY dan anak-istrinya tentu tidakbisa sembarangan melakukan bisnis. “SBY sangat memahami hal itu,” ujar sumber di lingkungan keluarga Cikeas kepada Indonesia Monitor, pekan lalu.
Alhasil, obrolan keluarga yang diselingi hidangan singkong goreng, jajanan pasar, dan teh manis itu pun tidak menghasilkan putusan apapun. Sebagai kepala keluarga, SBY berusaha membesarkan hati putra kesayangannya itu. “Nggak usah buru-buru. Insya Allah, nanti pasti akan ada jalan,” ujar SBY, seperti diungkapkan sumber.
Hingga suatu hari, masih menurut sumber, kegalauan keluarga Cikeas itu sampai ke telinga seorang konglomerat pemilik usaha food manufacture, salah satu produknya adalah kopi bubuk kemasan merek terkenal. Selama ini, pengusaha keturunan itu sudah kenal dekat dengan keluarga Cikeas. “Dia menawarkan diri untuk mendidik Ibas berbisnis,” ungkapnya. Ibas dan ‘suhu bisnisnya’ sepakat memproduksi biskuit dengan merek dagang Bisco di bawah bendera
PT Gala Pangan. Setelah itu, mereka mencari lokasi pabrik. Yang dipilih sebagai basis usahanya adalah kawasan industri Jababeka 2, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, sekitar 35 km arah timur Jakarta, tepatnya di Jalan Industri IV Blok PP-3.
Menurut sumber, lokasi PT Gala Pangan berada di bagian belakang kawasan industri Jababeka. Jalanan masuk ke lokasi dulunya rusak parah. “Namun, setelah tahu di situ dibangun pabrik milik Ibas, pihak pengelola Jababeka langsung meng-hotmix jalan menuju kawasan tersebut,” tuturnya. Tak hanya aspal hotmix. Sesuai kebutuhan, pabrik dengan omzet 1-2,5 juta dolar AS itu membutuhkan gas LPG dalam jumlah banyak untuk mengaktifkan pengovenan. Saat itu, pipa gas LPG belum masuk kawasan itu. “Tak selang lama, pipa gas dibangun masuk ke kawasan tersebut,” ujarnya.
Kini, PT Gala Pangan sudah berproduksi. Dengan memperkerjakan karyawan sebanyak 150 orang, biskuit produk Gala Pangan dilempar ke pasar ekspor, meliputi pasar-pasar utama di Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa Barat, Eropa Timur, Asia Timur, Asia Tenggara, Afrika, dan Oceania. Ketika Indonesia Monitor berkunjung ke pabrik tersebut, Jumat (12/6) pagi, suasana masih terlihat sepi. Lokasi PT Gala Pangan cukup mewah dan strategis. Dibanding pabrikpabrik lain di kawasan tersebut, Gala Pangan tampak istimewa.
Pagarnya bagus, halamannya luas, dan bangunan gedungnya terlihat rapi. Terletak di sebuah pertigaan Jalan Industri Selatan IV dan Jalan Industri Selatan V, pabrik Gala Pangan terbagi dalam tiga bagian utama, yakni di bagian depan untuk kantor, bagian sisi kiri dan kanan untuk produksi dan gudang. Halaman parker cukup luas. Namun, yang paling istimewa adalah saat pabrik tersebut akan dibangun. “Peletakan batu pertama oleh Pak SBY,” ujar seorang sekuriti PT Gala Pangan kepada Indonesia Monitor. Dia menuturkan, pabrik kue tersebut memang milik Ibas. Pada awal-awal produksi, Ibas sering datang ke pabrik tersebut.
Tapi, menurut dia, akhir-akhir ini Ibas jarang berkunjung. “Pak Ibas sudah lama tidak ke sini. Sejak maju sebagai caleg, dia jarang ke sini, mungkin sibuk,” ujarnya. Dalam ingatannya, Ibas terakhir datang ke pabriknya sekitar lebaran haji tahun lalu. “Itu pun hanya sebentar,” imbuhnya. Menurut sekuriti yang namanya dirahasiakan, ia tidak tahu mengapa Ibas jarang berkunjung ke pabrik miliknya. “Sepengetahuan saya, Pak Ibas masih menjadi komisaris di sini. Sebab dulu sebelum maju jadi caleg, dia sering datang ke sini, sekarang saja yang agak jarang,” lanjutnya.
Keterlibatan Ibas dalam bisnis biskuit secara implisit dibenarkah oleh Staf Khusus Ibu Negara Ani Yudhoyono, Nurhayati Ali Assegaf. Awalnya, Wasekjen Partai Demokrat itu tidak mau mengaku soal bisnis Ibas. “Saya nggak tahu, jujur saya nggak tahu,” ujar Nurhayati kepada Indonesia Monitor, Kamis (11/6).
Setelah didesak, akhirnya ia mengakui, meski tidak yakin. “Jujur saya nggak tahu kalau Mas Ibas punya pabrik itu. Saya memang pernah dengar Mas Ibas, kalau nggak salah, berbinis kue kering. Itu kalau nggak salah ya. Tapi, pastinya saya nggak tahu bisnis apa. Yang saya tahu, Mas Ibas di politik,” paparnya. Namun, kalau pun benar berbisnis, menurut Nurhayati, tidak ada salahnya, karena bisnis yang digeluti adalah di sektor swasta dan tidak terlibat kerjasama dengan perusahaan BUMN maupun BUMD. “Apa salahnya anak presiden berbisnis,” gugatnya.
Argumen Nurhayati didukung oleh Sekjen DPP Partai Demokrat Marzuki Alie. Menurutnya, yang dimaksud larangan berbisnis, seperti yang pernah dilontarkan SBY, adalah berbisnis dengan mengambil dana APBN. “Itu konkretnya. Kalau ada anak pejabat berbisnis, punya pabrik, punya industri yang tidak ada kaitannya dengan pemerintah, tidak ada kaitannya dengan APBN, ya boleh-boleh saja kan,” ujar Marzuki Alie kepada Indonesia Monitor, Selasa (9/6).
sumber: Sri Widodo, Moh Anshari http://www.indonesia-monitor.com/main/index.php?option=com_content&task=view&id= 2473&Itemid=33
YAYASAN-YAYASAN YANG BERAFILIASI KE NY. ANI YUDHOYONO:
Bukan hanya SBY, melainkan isterinya, Ny. Ani Yudhoyono, yang aktif membina beberapa yayasan. Yayasan-yayasan ini diketuai oleh beberapa orang isteri Menteri dan pejabat kenegaraan yang lain, yakni Yayasan Mutu Manikam Nusantara, yang diketuai Ny. Herawati Wirayuda (isteri Menlu waktu itu); Yayasan Batik Indonesia, yang diketuai oleh Yultin Ginanjar Kartasasmita (isteri Ketua DPD Ginanjar Kartasasmita), dan Yayasan Sulam Indonesia, yang diketuai oleh Ny. Triesna Wacik, isteri Jero Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, merangkap Ketua Dewan Pembina Yayasan Puri Cikeas.
Di antara ketiga yayasan itu yang paling kontroversial adalah Yayasan Mutu Manikam Nusantara. Bukan karena diketuai oleh isteri Menlu waktu itu, tapi karena jabatan Bendaharanya dipegang oleh Artalyta Suryani, yang lebih akrab dengan panggilan “Ayin”. Kedekatan Ayin – yang tertangkap tangan menyogok jaksa Urip Tri Gunawan — dengan Ani, mengurangi ketegasan KPK dalam membongkar seluruh jejaring korupsi di belakang sang ‘markus’ (makelar kasus), khususnya Syamsul Nursalim, boss Gajah Tunggal, yang terlibat dalam skandal BLBI yang masih menyisakan kerugian Rp 4,2 trilyun bagi Negara. Ironisnya, Ny. Ani Yudhoyono-lah yang meresmikan Alun-Alun Indonesia milik Syamsul Nursalim, tanggal 29 Oktober 2007 (lihat Lampiran 4: Kemilau Persengkongkolan di Mutu Manikam).
Yayasan kedua yang ikut didukung oleh Ny. Ani Yudhoyono adalah Yayasan Batik Indonesia yang diketuai oleh Ny. Yultin Ginanjar Kartasasmita. Dalam berbagai pameran di dalam dan luar negeri yang (ikut) diselenggarakan oleh yayasan ini, telah menonjol produk perusahaan baru bermerek Allure. Perusahaan baru itu segera mengundang perhatian karena dua hal. Pertama, lebih dari selusin gerai perusahaan itu telah dibuka di Indonesia, Singapura dan Malaysia, sementara beberapa gerai sedang dirintis di London dan Moskow. Kedua, batik Allure telah mengangkat menantu SBY yang pernah dinobatkan menjadi duta batik Indonesia (Annisa Pohan) dan anaknya (Aira Yudhoyono) sebagai ikon perusahaan itu.
(TIDAK KAMI CANTUMKAN) FOTO-FOTO AIRA YUDHOYONO SEBAGAI IKON ALLURE KIDS & DALAM GENDONGAN IBUNYA, ANNISA POHAN
Adanya potensi konflik kepentingan antara Ny. Ani Yudhoyono sebagai pembina yayasan itu, dan perusahaan batik baru yang telah mengorbitkan anak dan cucunya sebagai ikon, belum banyak disorot orang. Termasuk ketika koleksi batik Ny. Ani Yudhoyono dan Ann Durham, ibunda Presiden AS, Barack Husein Obama di Alun-Alun Indonesia di Grand Indonesia Shopping Town, 17 November yang lalu. Publik tampaknya juga tidak tahu, bahwa gedung itu milik Gajah Tunggal, salah satu konglomerat yang belum membereskan hutangnya pada Negara, dalam kerangka BLBI (lihat Lampiran 5: Allure meluncur di Alur Yayasan Batik Indonesia).
(TIDAK KAMI CANTUMKAN) FOTO‐FOTO ARTHALYTA DAN ANI YUDHOYONO, ANI YUDHOYONO MERESMIKAN ALUN‐ALUN INDONESIA & SBY DAN ISTERINYA MENGHADIRI PERNIKAHAN ANAK SYAMSUL NURSALIM
Yayasan ketiga yang didukung oleh Ny. Ani Yudhoyono adalah Yayasan Sulam Indonesia, yang diketuai Ny. Triesna Wacik, isteri Menteri Kebudayaan & Pariwisata, Jero Wacik. Di sini ada juga potensi konflik kepentingan antara keluarga Jero Wacik dengan yayasan itu, dan antara keluarga Wacik dengan keluarga Cikeas. Soalnya, salah satu perusahaan milik Menbudpar yang juga Ketua Dewan Pembina Yayasan Puri Cikeas, PT Puri Ayu yang berkantor di Bali dan Jakarta, bergerak di bidang disain tekstil. Selain itu, kita juga masih ingat bahwa Jero Wacik adalah Ketua Dewan Pembina Yayasan Puri Cikeas.
(TIDAK KAMI CANTUMKAN) FOTO PASANGAN JERO & TRIESNA WACIK
Para pengusaha yang bergerak di bidang produksi dan pemasaran mutu manikam, batik, dan sulaman, dapat ikut menikmati promosi yang dibayar dari uang rakyat, dengan berlindung di bawah ketiga payung yayasan yang berafiliasi ke Ny. Ani Yudhoyono ini. Namun yang paling menimbulkan tanda tanya bagi tokoh-tokoh masyarakat adalah kedekatan Artalyta Suryani (“Ayin”) dengan Ani Yudhoyono, berkat posisi Artalyta sebagai Bendahara Yayasan Mutu Manikam Nusantara. Soalnya, diduga berkat kedekatan antara Ayin dan Ani, salah seorang taipan besar pengemplang dana BLBI, yakni Syamsul Nursalim, dapat lolos dari jerat hukum, seperti di era Gus Dur maupun Megawati Soekarnoputri (lihat Lampiran 4).
Peranan yayasan‐yayasan yang berafiliasi ke SBY dan Ny. Ani Yudhoyono dalam memobilisasi dukungan politik dan ekonomi untuk pemilihan kembali SBY sebagai Presiden untuk kedua dan terakhir kalinya, membuka jalan bagi berbagai jenis pelanggaran hukum yang dilakukan oleh para pendukungnya. Soalnya, duplikasi anggota pengurus yayasan-yayasan itu dengan berbagai tim sukses yang tidak secara resmi terdaftar personalia maupun sumber-sumber pembiayaannya (lihat Lampiran 1), melancarkan jalan bagi penyaluran sumbangan bagi kampanye Pemilu legislatif Partai Demokrat dan Pilpres SBY-Boediono , melampaui batas-batas yang diperkenankan oleh Pasal 131 dari UU No. 10/2008, yakni Rp satu milyar rupiah untuk perorangan) dan lima milyar rupiah untuk kelompok, perusahaan dan badan usaha non-pemerintah. Maklumlah, pelanggaran terhadap Pasal 131, yang diatur dalam Pasal 276, diancam pidana penjara antara enam sampai 24 bulan, serta denda antara satu sampai lima milyar rupiah.
Kecurigaan itu sangat beralasan, apabila keuangan yayasan-yayasan itu tidak di-audit oleh auditor yang independen. Potensi konflik kepentingan antara keuangan publik yang dikelola oleh pemerintah, dan keuangan yayasan-yayasan itu, barangkali paling besar pada Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian. Soalnya, tiga orang Menteri dan seorang pejabat setingkat Menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu II merangkap sebagai anggota Dewan Pembina yayasan itu, yakni Djoko Suyanto, Purnomo Yusgiantoro, M.S. Hidayat dan Sutanto. Sedangkan Bendahara yayasan itu dijabat oleh Dessy Natalegawa, adik kandung Menlu Marty Natalegawa.
Ketiga yayasan yang dibina oleh Ny. Ani Yudhoyono, yakni Yayasan Mutu Manikam Nusantara, Yayasan Batik Indonesia, dan Yayasan Sulam Indonesia, juga berpotensi untuk melakukan kegiatan yang tumpang tindih dengan Departemen-Departemen atau lembaga-lembaga yang dipimpin – atau pernah dipimpin — oleh suami-suami para ketua yayasanyayasan itu, yaitu Departemen Luar Negeri dalam hal Yayasan Mutu Manikam Nusantara, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam hal Yayasan Batik Indonesia, dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dalam hal Yayasan Sulam Indonesia.
Di samping itu, ketua-ketua yayasan yang dibina oleh Ny. Ani Yudhoyono itu adalah anggota Solidaritas Isteri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB), yang juga dipimpin oleh isteri-isteri Presiden dan Wakil Presiden.
Duplikasi antara kegiatan yayasan dan instansi-instansi pemerintah, juga sangat berpotensi terjadi pada yayasan-yayasan yang berafiliasi dengan SBY sendiri, misalnya dengan Departemen Agama, dalam hal Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam dengan program pengiriman ulama berumroh ke Arab Saudi, serta dengan berbagai Departemen dan Pemerintah Daerah, dalam hal Yayasan Puri Cikeas dan Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian. Itu sebabnya, auditing terhadap keuangan yayasan-yayasan itu menjadi semakin penting.Bukan Cuma duplikasi, malah dualisme pemerintahan, dapat terjadi apabila yayasanyayasan ini dibiarkan berkembang dengan bebas, seperti yang telah kita alami di masa kediktatoran Soeharto, dengan seribu satu yayasannya (lihat Aditjondro 2003, Ismawan 2007: 66-89).
PELANGGARAN‐PELANGGARAN UU PEMILU OLEH CALEGCALEG PARTAI DEMOKRASI :
Potensi pelanggaran UU Pemilu karena perangkapan jabatan sejumlah pejabat Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II dengan anggota kepengurusan yayasan-yayasan itu, masih dibarengi dengan pelanggaran hukum yang telah dilakukan oleh sejumlah kader Partai Demokrat. Pemilu kali ini ditandai wabah pembelian suara yang semakin terangterangan, dibandingkan dengan pemilu-pemilu yang lalu. Padahal, praktek ini jelas-jelas dilarang oleh UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD. Pasal 84 melarang semua pelaksana, peserta dan petugas kampanye “menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye”.
Sedangkan Pasal 87 melarang pelaksana kampanye “menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung atau tidak langsung agar memilih Partai Politik tertentu; memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota tertentu; atau memilih calon anggota DPD tertentu”. Sanksinya, penjara antara enam sampai 24 bulan serta denda antara Rp. 6.000.000 dan Rp. 24.000.000, menurut Pasal 270 dan 274.
Padahal praktek pembelian suara yang dilakukan oleh caleg-caleg Demokrat di berbagai wilayah, merupakan salah satu faktor kemenangan Partai Demokrat yang begitu fantastis, yakni melonjak nyaris tiga kali lipat dari 7% menjadi 20% lebih.
Ambillah sebagai contoh di Sumatera Utara. Waktu kampanye pemilu lalu, Marlan Nainggolan, caleg PDP di Tapanuli Utara (Taput) membagi‐bagi kerbau dan babi ke pemilih, Sihar Sitorus, anak DL Sitorus, pengusaha pembalakan hutan, yang menjadi caleg PPRN, menyumbang Rp 3 juta ke gereja HKBP dekat bandara Silangit. Sedangkan Fernando Sihombing, caleg Golkar membagi sekarung pupuk kepada setiap pemilih.
Namun itu semua belum apa-apa dibandingkan dengan “sumbangan” Jhonny Allen Marbun, caleg Demokrat yang terlibat kasus suap Rp 1 milyar untuk proyek Dephub (Tempo, 5 April 2009). Ia berulang kali mengumpulkan petani di Humbang Hasundutan (Humbahas), Taput, dan Samosir, dan membagi-bagi puluhan ton bibit jagung kepada mereka. Januari lalu, di Dolok Sanggul, ibukota Humbahas, ia menyerahkan 500 baju batik buat para kepala desa, 21 unit komputer untuk sekolah, dan Rp 200 juta untuk perbaikan gereja dan mesjid.
Sebelumnya, 4 Januari 2009, dalam upacara di tanah lapang Pangururan, Samosir, yang dihadiri Hadi Utomo, Ketua Umum DPP Partai Demokrat yang ipar SBY, selain membagi-bagi bibit jagung kepada petani, Jhonny Allen menyerahkan Rp 300 juta untuk perbaikan gereja dan mesjid serta 20 unit komputer untuk sekolah. Berbagai “sumbangan” itu ikut mendorong Jhonny Allen memenangkan tiket Demokrat ke Senayan, untuk kedua kalinya, dengan memperoleh 91.763 suara.
Pelanggaran terhadap Pasal 84 dan 87 UU No. 10/2008, tidak Cuma terjadi di Sumatera Utara, tapi juga di basis-basis kemenangan Partai Demokrat yang lain, yang sempat penulis amati, seperti di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, dan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Di Poso, Amsal Hasyim, seorang caleg dari Partai Demokrat, menjanjikan pembagian pesawat televisi dan traktor tangan buat mereka yang mau memilih partai berwarna biru itu. Janji itu, baru direalisasikan akhir
November lalu, dan diterima dengan suka cita. Rupanya rakyat di bekas daerah konflik itu tidak menyadari bahwa janji yang diobral kader Partai Demokrat itu, melanggar Pasal 87 UU No. 10/2008 itu.
Walhasil, Amsal Hasyim, kontraktor yang disuruh oleh Piet Inkiriwang, purnawirawan polisi yang Bupati merangkap ketua DPC Partai Demokrat Kabupaten Poso, untuk mengetuai PAC Partai Demokrat Kecamatan Pamona Utara di Tentena, berhasil menjadi anggota DPRD Kabupaten Poso dari Partai Demokrat.
Di Jawa Tengah, terjadi juga banyak kasus pembelian suara (vote buying) atau ‘politik uang’ (money politics), yang melibatkan caleg Partai Demokrat maupun partai lain, namun hanya sedikit yang ditangani oleh Panwalu dan disidangkan. Yang ditangani oleh Panwaslu misalnya adalah laporan dari YSA Widayana, warga Karang, Plumbon, Mojolaban di Kabupaten Sukoharjo. Ia melaporkan tindakan Bambang yang meminta warga untuk memilih Partai Demokrat (Seputar Indonesia, 11 April 2009).
Lebih menghebohkan lagi adalah kasus pelanggaran Pemilu 2009 yang mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Bantul, hari Jumat, 8 Mei 2009. Kedua terdakwa dalam kasus itu adalah Sri Yuli Waryati, caleg untuk DPRD Bantul dari Dapil 2 dan Siti Shoimah, caleg DPRD DIJ dari daerah pemilihan Kabupaten Bantul. JPU Widagdo M. Petrus menuntut kurungan tiga hingga 12 bulan penjara dengan denda Rp 10 juta, subsider enam bulan kurungan, hanya karena kedua terdakwa menggelar pasar murah di Dusun Mangir Lor, Desa Sendangsari, Pajangan, Bantul, DIY (Radar Jogja, 9 Mei 2009).
Ceritanya begini. Pada saat bazar murah digelar, Minggu, 29 Maret, Sri Yuli Waryati membagi kupon pembelian sembako, yang hanya diberikan kepada warga yang telah mengisi formulir dan menjadi anggota Partai Demokrat. Hari Minggu berikut, 5 April, Sri Yuli Waryati memperkenalkan Shoimah kepada masyarakat di Lapangan Mangir Loro, dengan membagi-bagi uang sebesar Rp 5 ribu seorang dan selembar kaos oblong (idem).
Semua itu belum apa-apa, dibandingkan dengan pembelian suara yang dilakukan oleh putra bungsu SBY, Edhie Baskoro Yudhoyono (EBY), alias Ibas, di kampung halaman ayahnya di Pacitan, Jawa Timur, April lalu. Menurut laporan dua orang saksi, tim kampanye EBY membagi-bagi amplop berisi uang Rp 10 ribu disertai foto EBY ke calon-calon pemilih di Desa Clembem, Kecamatan Jambon, Kabupaten Ponorogo, 3 April lalu.
Namun setelah kasus ini terungkap di berbagai media lokal dan media online, bukan Bawaslu dan Panwaslu yang bergerak, melainkan Polri, sedangkan para pimpinan media yang bersangkutan mendapatkan teguran keras dari jurubicara kepresidenan, Dino Patti Djalal. Kedua saksi –M. Naziri dan Bambang Krisminarso – serta pimpinan situs JakartaGlobe.com dan Okezone.com, dan wartawan Harian Bangsa diperiksa oleh polisi, dengan tuduhan pencemaran nama baik EBY juncto pelanggaran pasal 45 ayat 1 UU No. 11/2008 tentang Teknologi Informasi juncto pasal 55 KUHP.
Akhirulkalam, Kapolda Jatim Irjen (Pol) Anton Bachrul Alam membantah bahwa EBY telah melakukan money politics, malah sebaliknya menuduh para saksi dan pekerja media melakukan pencemaran nama baik putra presiden, yang juga berarti, penistaan terhadap presiden (Antara News, 8 April 2009).
Walaupun semua tertuduh akhirnya dibebaskan, EBY pun dibebaskan dari tuduhan pelanggaran Pasal 84 UU No. 10/2008, dan berhasil mengalahkan para caleg lain, termasuk Ramadhan Pohon, pesaingnya yang separtai, mendapatkan tiket ke Senayan. Padahal, seperti kesaksian salah seorang pimpinan media yang diperkarakan, pembagian amplop berisi uang dan foto EBY itu betul-betul terjadi.
Ada lagi pelanggaran pasal dalam UU No. 10/2008, yang telah menghasilkan banyak suara pemilih buat Partai Demokrat, malah kemenangan yang hampir mutlak di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dalam Pemilu lalu mantan kombatan yang beralih menjadi anggota Partai Aceh (PA) bebas “menuntun” pemilih yang tua dan butahuruf mencontreng caleg dan logo PA dan Demokrat, terutama di bekas basis GAM, tanpa dihalangi aparat keamanan. Makanya, di sebuah kecamatan di Kabupaten Pidie, Demokrat mendapatkan 100% suara untuk DPR-RI dan PA 100% suara untuk DPRA dan DPRK. Hasilnya, perolehan suara teratas di Aceh direbut oleh PA, disusul oleh Demokrat, Golkar, dan PKS. Sedangkan partai lokal lain, hanya memperoleh beberapa kursi di DPRA dan DPRK-DPRK.
Makanya, perlu dipertanyakan, apakah “bantuan” yang diberikan oleh para kader PA untuk menuntun para pemilih yang tua dan buta huruf, untuk secara khusus mencontreng logo dua partai saja, satu untuk duduk di DPR‐RI dan satunya lagi untuk duduk di DPR Aceh dan DPR Kabupaten, tidak bertentangan dengan Pasal 156 UU No. 10/2008, ayat 1 dan 2 yang berbunyi sebagai berikut: Ayat (1): Pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai halangan fisik lain saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan pemilih. Ayat 2: Orang lain yang membantu pemilih dalam memberikan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan pemilih.
Memang, kebanyakan pemilih yang tua dan buta huruf, belum tentu menderita halangan fisik yang digambarkan dalam Pasal 156 ini. Namun inti pasal ini adalah bahwa semua orang harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk memilih calon yang diharapkannya dapat membawakan aspirasinya. Nah, apakah dengan menggiring secara halus satu bagian yang cukup besar untuk memilih satu partai nasional, yang belum dikenalnya, jiwa pasal ini terpenuhi? Atau justru dilanggar?
Melihat banyaknya pelanggaran UU Pemilu yang telah terjadi selama Pemilu legislatif dan Pilpres lalu, mulai dari besarnya biaya kampanye yang dikelola oleh tim-tim siluman yang tidak terdaftar personalia maupun anggarannya, pembelian suara lewat pembagian uang dan barang kepada pemilih, termasuk yang dilakukan oleh Edhi Baskoro Yudhoyono, bantuan negara asing seperti melalui IFES (International Foundation for Electoral Systems), ornop AS yang dibantu oleh USAID, yang dilibatkan oleh KPU dalam proses penghitungan suara, serta penggiringan suara sebagian besar pemilih di Aceh, maka legalitas hasil Pemilu yang lalu patut dipertanyakan.
Walaupun partai-partai lain ikut menjalankan berbagai pelanggaran UU Pemilu itu, namun Partai Demokrat, yang merupakan kendaraan politik incumbent president, tidak menunjukkan teladan dalam mematuhi UU Pemilu. Hanya saja, kenetralan KPU dan Bawaslu yang patut dipertanyakan, serta pembelokan perhatian publik akibat peledakan bom di dua hotel di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, 17 Juli lalu, membuat semua kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu belum sempat disorot secara mendalam.
KESIMPULAN
Uraian dalam buku ini mudah-mudahan tidak hanya menjawab rahasia di balik skandal Bank Century, melainkan lebih luas lagi, yakni menjawab rahasia di balik kemenangan yang begitu fantastis dari Partai Demokrat, yang naik tiga kali lipat dalam satu periode pemerintahan, dari sekitara 7 % menjadi sekitar 20%.
Penggalangan dana yang luar biasa, serta besarnya pembelian suara (vote buying) sesungguhnya memainkan peranan yang besar dalam melonjaknya angka pemilih Partai Demokrat dan calon presidennya, dan bukan hanya kehebatan kharisma SBY dan kesuksesan periode kepresidenannya yang lalu, yang dikemas dengan hebat oleh Fox Indonesia dalam iklan-iklan televisinya.
Resistensi Partai Demokrat terhadap penggunaan hak angket DPR untuk mengungkapkan skandal Bank Century, walaupun akhirnya ikut mendukung prakarsa sebagian anggota DPR, bahkan tanpa malu-malu menunjukkan keinginan menjadi Ketua Panitia Khusus hak angket itu, menjadi indikasi betapa besarnya keinginan petinggi-petinggi partai itu untuk menutupi hal-hal yang mencurigakan dalam pemberian dana talangan yang jauh melebihi yang sudah disepakati oleh parlemen.
Walaupun belakangan ini ada gerakan dari sejumlah individu Partai Demokrat untuk menangkis tuduhan bahwa mereka menerima dana puluhan, bahkan ratusan milyar rupiah dari Bank Century, toh masih ada tanda tanya, ke mana larinya lima trilyun rupiah yang lenyap ke tangan “fihak ketiga” dalam hanya kurang dari setahun (Juni 2008 – Juni 2009).
Sorotan terhadap beberapa beberapa nasabah terbesar Bank Century, khususnya Hartati Murdaya dan Boedi Sampoerna, sangat wajar, mengingat besarnya bantuan kedua kelompok bisnis yang mereka pimpin bagi kampanye Partai Demokrat dan calon presidennya, yang dimulai oleh Hartati Murdaya menjelang Pemilu 2004 dan semakin meningkat menjelang Pemilu 2009.
Sedangkan dari kelompok Sampoerna, investigasi kami menemukan dukungan dana sebesar Rp 90 milyar kepada kelompok media Jurnal Nasional yang dekat dengan Partai Demokrat dan SBY sejak 2006, di saat injeksi dana ke kelompok Jurnas mulai digantikan oleh pengusahapengusaha yang dekat dengan keluarga Cikeas, di bawah pimpinan Gatot Mudiantoro Suwondo, yang kebetulan juga Direktur Utama BNI.
Kebutuhan akan dana kampanye yang semakin meningkat, yang terdongkrak oleh besarnya biaya “pencitraan” SBY melalui media, serta meluasnya jangkauan “kedermawanan” yayasan‐yayasan yang berafiliasi ke SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, membuat keluarga Cikeas semakin tergantung pada sejumlah pengusaha kelas kakap yang berasal dari era Soeharto, seperti Syamsul Nursalim, Hartati Murdaya, dan kelompok Sampoerna, maupun yang muncul di era SBY, seperti PT Powertel dan Batik Allure.
Kebutuhan akan dana kampanye yang begitu besar, dibarengi dengan ambisi sebagian anggota Dinasti Sarwo Edhie Wibowo untuk memperkaya diri mereka, menimbulkan kerentanan keluarga Cikeas terhadap pengusaha-pengusaha dan makelar-makelar kasus yang berusaha menempel ke keluarga itu, seperti Syamsul Nursalim, salah seorang pengemplang dana BLBI, yang sudah berhasil mengelabui tiga presiden berturut-turut, berkat kedekatan Arthalyta Suryani, yang juga dikenal sebagai “Ayin”, dengan Ani Yudhoyono, dalam kedudukannya sebagai Bendahara Yayasan Mutu Manikam Nusantara yang diketuai oleh isteri mantan Menlu Hasan Wirayuda.
Berbicara lebih lanjut tentang yayasan-yayasan yang dibina oleh SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, kita bisa lihat bahwa kepengurusan yayasanyayasan itu bukan orang-orang yang punya latar belakang dalam kedermawanan (filantropi), melainkan terdiri dari sejumlah menteri, mantan menteri, purnawirawan perwira tinggi yang kebanyakan seangkatan dengan SBY, sejumlah pengusaha, dan anggota keluarga besar SBY-Ani Yudhoyono yang juga sudah terjun ke bidang usaha, yakni Hartanto Edhie Wibowo dan Edhie Baskoro Yudhoyono.
Hartanto, adik bungsu Ny. Ani Yudhoyono, telah terjun ke bisnis serat optik di PT Powertel, bersama adik Menko Perekonomian M. Hatta Rajasa, dan pada awalnya difasilitasi proyek-proyeknya oleh Hatta Rajasa, selagi yang bersangkutan masih menjabat sebagai Menteri Perhubungan. Sedangkan Edhie Baskoro Yudhoyono, anak bungsu SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, baru mulai terjun dalam bisnis kue kering, dibantu oleh seorang pengusaha swasta yang sudah berlangganan di bidang itu.
Dengan demikian, mantan jenderal yang mulai 20 Oktober lalu mengendalikan kendali republik ini, perlu bekerja keras untuk menciptakan pemerintahan bersih di negeri kita. Guna mengakhiri tradisi
politik buruk yang dirintis mendiang Jenderal Soeharto, SBY perlu bersikap lebih tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, agar tidak ada anak, ipar, kerabat atau sahabat yang mengambil jalan pintas mengembangkan bisnis mereka dengan mendekati bankir-bankir pemerintah serta birokrat-birokrat papan atas, untuk mendapatkan orderorder kelas kakap.
Tambahan lagi, SBY juga perlu mendorong kerabat dan sahabatnya untuk menolak pemberian kemudahan dalam penyediaan jasa jalan, listrik, dan bahan bakar bersubsidi, buat pengembangan pabrik yang baru berdiri kemarin sore.
Sikap tegas terhadap keluarga dan sahabat merupakan dasar moral untuk mengambil sikap tegas terhadap semua pejabat yang melakukan komersialisasi jabatan, sebagaimana teladan Presiden Korea Selatan, Kim Young San, yang menjebloskan kedua pendahulunya – Chun Doo-Hwan dan Roh Tae-Woo – ke penjara, karena korupsi dan pembantaian aktivis pro-demokrasi. Walaupun kemudian kedua jenderal itu diberinya grasi dari vonis hukuman mati dan hukuman penjara 22,5 tahun, Presiden Korsel itu juga menyerahkan anaknya, Kim Hyon Chul, untuk diadili, karena sang anak menerima sogokan dari maskapai Hanbo Steel, konon untuk menggalang dana bagi kampanye ayahnya (Alkostar 2008: 176-80; Washington Post, 25 Januari 2007; New York Times, 18 Mei 1997).
Selanjutnya, untuk mengakhiri tradisi yang dirintis oleh Soeharto, sebaiknya yayasan‐yayasan yang menggunakan nama SBY maupun nama kediaman pribadinya, berhenti memanfaatkan figur‐figur pemerintah dalam struktur organisasinya.
Rakyat yang cerdas juga tidak akan menuntut Kepala Negara memberi makan ribuan orang miskin di Istana Negara atau kediaman pribadinya, sebab Presiden bukanlah Raja yang kaya raya, dan memberi makan fakir miskin bukan tugas Presiden dan keluarganya, melainkan merupakan tugas sejumlah lembaga resmi, sesuai dengan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945.
Yayasan-yayasan yang ada kaitan dengan SBY, Ny. Ani Yudhoyono, serta kerabat dan sahabatnya, sebaiknya diaudit oleh auditor publik yang independen, dan hasilnya dilaporkan ke parlemen, serta terbuka bagi media dan internet. Bukan diaudit oleh auditor langganan para bankir yang juga duduk dalam pengurus yayasan-yayasan itu.
Tujuan semua langkah itu supaya yayasan-yayasan sosial yang dekat dengan oknum‐oknum penguasa jangan lagi menjadi pembuka jalan bagi korporasi-korporasi raksasa untuk mendapat perhatian khusus dari pemerintah, seperti tradisi Orde Baru (lihat Radjab 1999: 47-8; Aditjondro 2003; Aditjondro 2006; Ismawan 2007; Zen & Kristianto 2007).
Dibarengi pembenahan ke dalam lingkaran kerabat dan sahabat SBY ini, pemerintahan mendatang, didukung oleh parlemen dan lembaga peradilan, selayaknya menjalankan transparansi dalam hal melaporkan kekayaan dan jaringan bisnis mereka kepada rakyat Indonesia. Tujuannya supaya rakyat dapat mengontrol pejabat yang mereka pilih dan percayakan nasib bangsa ini lima tahun ke depan. Jelasnya, transparansi kekayaan pejabat bertujuan supaya semua keputusan ekonomi dan politik yang diambil, betul-betul demi kemaslahatan rakyat banyak, terutama mereka yang paling dipinggirkan. Bukan demi ekspansi perusahaan milik kerabat dan sahabat, dengan dalih, menciptakan lapangan kerja.
REFERENSI :
Aditjondro, George Junus (2003). Dari Soeharto ke Habibie: Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari: Kedua Puncak Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Rezim Orde Baru. Jakarta: MIK (Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan) & Pijar Indonesia.
——————2006). Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa. Yogyakarta: LKiS. ——————(2007). ‘Dialektika antara Agency dan Struktur dalam Penelaahan Korupsi di Indonesia: Membangun Gerakan Anti Korupsi yang Lebih Merakyat.” Renai, No. 2, Salatiga: PERCIK, hal. 8‐23. ——————(2009). “Menyambut Era SBY Kedua Yang (Mudah-mudahan) Lebih Bersih dari Era SBY Pertama,” Scientiae Polites, Vol. 28, hal. 1-10. Alkostar, Artidjo (2008). Korupsi Politik di Negara Modern. Yogyakarta: FH UII Press…. Angkasa Pura II (2007). Laporan Tahunan 2007/ 2007 Annual Report: Together We Build A Better Future. Jakarta: PT Angkasa Pura II…. Ardi, Yosef & Rahmon Amri (penyunting) (2008). JSX Watch 2008-2009. Jakarta: Pustaka Bisnis Indonesia. Bank Bukopin (2002). Laporan Tahunan 2002. Jakarta: Bank Bukopin. ——————- (2006). Bank Bukopin Tbk Company Report : December 2006 As of 28 December 2006. Jakarta: Bank Bukopin…. Ismawan, Indra (2007). Harta dan Yayasan Soeharto: Kontroversi tentang Kekayaan dan Dugaan Korupsi Soeharto. Jakarta: PT Buku Kita…. Masayok (2008), Husein Al Habsy Minta KPK Selidiki Majelis Dzikir SBY, posted on the internet on August 25…. McBeth, John (2007). “All the President’s Men.” The Straits Times News. 2 Agustus…. Nikmah, Siti Khoirun & Valentina Sri Wijiyati (2008). My Dear Train, My Poor Train: Railway Efficiency Project (Proyek Efisiensi Perkeretapian). Working Paper No. 1. Jakarta: INFID (International NGO Forum on Indonesian Development)…. PDBI (1997). Conglomeration Indonesia. Vol. 3. Jakarta: Pusat Data Business Indonesia (PDBI)…. Radjab, Suryadi A. (1999). Praktik Culas Bisnis Gaya Orde Baru. Jakarta: Grasindo…. Rusly, Haris (2009). “Ini Boedi, Itu Century.” Terawang, No. 1, November, hal. 46‐48…. Zen, Patra M. & Agustinus Edy Kristianto (2007). Menyusup Dalam Gelap: Wajah Hitam Kejayaan Salim Group. Jakarta: Yayasan LBH Indonesia.
0 Response to "MEMBONGKAR GURITA CIKEAS"
Post a Comment