Pantaskah Pendidikan Karakter buat Bangsa Ini...????????
Wednesday, 28 March 2012
2 Comments
Saat ini Dunia Pendidikan kita dihebohkan dengan spanduk-spanduk
yang bernada “SUKSESKAN PENDIDIKAN
KARAKTER”. Kemudian menjadi bermunculan pertanyaan dari pembaca tentang
urgensi maupun “core” dari program baru ini. Sejatinya implementasi
pendidikan karakter di Indonesia senantiasa ada pada zamannya. Namun dengan
berbagai penyebutan yang berbeda mulai dari Civics dan
Pendidikan Kewarganegaraan pada zaman Orde Lama menjadi PMP dan PPKn pada masa
orde baru. Namanya memang berbeda, namun muatan dan orientasinya sama yakni
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), dengan pendekatan
pembelajaran yang didominasi oleh pendekatan indoktrinatif dengan modus
menerapkan transmisi nilai-nilai yang terdapat dalam butir-butir P-4.
ada sepuluh tanda-tanda jaman yang harus
diwaspadai, karena jika tanda-tanda itu sudah ada, maka itu berarti sebuah
bangsa sedang menuju jurang kehancuran Menurut Lickona (1991: 13-18) .
Tanda-tanda yang dimaksud adalah:
(1)
meningkatnya kekerasan di kalangan remaja,
(2)
penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk,
(3) pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak
kekerasan,
(4)
meningkatkan perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alcohol, dan
seks bebas,
(5)
semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk,
(6)
menurunnya etos kerja,
(7)
semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru,
(8)
rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara,
(9)
membudayanya ketidakjujuran, dan
(10) adanya rasa saling curiga dan kebencian
di antara sesama.
Kesepuluh tanda yang dikemukakan oleh
Lickona di atas nampaknya telah terjadi di negeri kita. Sebagai contoh, menurut
Badan Narkoba Nasional (BNN) pada Februari 2009 terdapat 123.810 pelajar di
Indonesia menggunakan narkotika, obat psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
Ironisnya 12.848 di antaranya siswa sekolah dasar. Demikian pula perilaku seks
bebas juga sudah sedemikian mengkhawatirkan.
Hal selanjutnya yang menjadi tanda tanya besar adalah “Grand
design” model pendidikan seperti apa yang nanti akan mengembalikan pendidikan
karakter pada rel yang seharusnya? Melihat fakta real dilapangan selama sepuluh
tahun belakangan ini seperti perilaku free sex, perkelahian pelajar,
penyalahgunaan narkoba bahkan meningkatnya tindak pelanggaran dijalan raya oleh
pelajar telah mampu menggambarkan pentingnya reorientasi pendidikan karakter.
Dalam konteks idealitas pendidikan karakter meliputi 9 pilar yang
saling berkaitan, yaitu: responsibility (tanggung
jawab), respect (rasa
hormat), fairness (keadilan), courage (keberanian), honesty (kejujuran), citizenship (kewarganegaraan), self-discipline (disiplin diri),
caring (peduli), dan perseverance (ketekunan).
Menurut Safaruddin (2010) sesungguhnya semua pilar karakter
tersebut memang harus dikembangkan secara holistik melalui sistem pendidikan
nasional di negeri ini. Namun, secara spesifik memang juga ada pilar-pilar yang
perlu memperoleh penekanan. Sebagai contoh, pilar karakter kejujuran (honesty) sudah pasti haruslah
lebih mendapatkan penekanan, karena negeri ini masih banyak tindak KKN dan
korupsi. Demikian juga dengan pilar keadilan (fairness) juga harus lebih memperoleh penekanan, karena
kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak pendukung pemilukada yang kalah
ternyata tidak mau secara legowo mengakui kekalahannya. Selain itu, fenomena
tawuran antarwarga, antarmahasiswa, dan antar etnis, juga sangat memerlukan
pilar karakter toleransi (tolerance),
rasa hormat (respect), dan
persamaan (equality).
Darmiyati Zuchdi, dkk (2009: 10)
menyatakan bahwa pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari
pendidikan moral, karena bukan sekadar mengajarkan mana yang benar dan baik,
lebih dari itu pendidikan karakter harus menanamkan kebiasaan (habituation)
tentang hal yang baik, sehingga siswa menjadi paham (ranah kognitif) tentang
mana yang baik dan salah, mampu merasakan (ranah afektif) nilai yang baik, dan
mau melakukannya (ranah psikomotor). Lima dari Sembilan potensi peserta didik
yang ingin dicapai dalam tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana tercantum dalam
UU nomor 20 tahun 2003 adalah aspek karakter. Aspek karakter tersebut adalah
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia pada tahun 2010 juga telah
mengeluarkan Rencana Induk Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa, mengenai
strategi pelaksaanaan pendidikan karakter di sekolah dapat dilakukan dengan
mengintegrasikan pendidikan karakter dalam kegiatan belajar mengajar pada
setiap mata pelajaran. Selain itu juga perlu diciptakan budaya sekolah yang
sehat, integrasi pendidikan karakter dalam kegiatan ekstra kurikuler dan
pembiasaan dalam kegiatan keseharian di rumah Efektifkah Pendidikan Karakter?
Banyak kalangan yang menyanksikan keefektifan pendidikan karakter sebagai
solusi persoalan bangsa.
Kesanksian ini
sangat beralasan karena beberapa alasan berikut:
1. 1. Pendidikan di Indonesia adalah
pendidikan yang sekuler. Pemisahasan lembaga pendidikan agama (di bawah Depag) dengan
pendidikan umum (di bawah Diknas) adalah fakta yang sedemikian gamblang bahwa
pendidikan di Indonesia adalah menganut paham sekuler di bidang pendidikan.
Pasalnya, pemisahan ini bukan tanpa konsekuensi. Pemisahan ini berimplikasi
pada perbedaan kurikulum, dimana pada lembaga pendidikan di bawah Depag ‘lebih
kental’ nuansa agamanya sedangkan sekolah umum lebih dominan materi umum dan
minim materi keagamaan. Polarisasi sistem pendidikan seperti ini jelas akan
mencetak output yang terpolarisasi pula. Lulusan IAIN diproyeksikan untuk
menjadi ulama atau tokoh spiritual yang dikonotasi minim ilmu-ilmu keduniaan
secara praktis, sedangkan lulusan sekolah/kampus umum diproyeksikan untuk
menjadi teknokrat, politikus, ekonom, politikus dst namun minim pemahaman
agama.
2. 2. Biasanya standar baik dan buruk dalam
pengertian definisi karakter. Nilai-nilai kebaikan yang dikemukakan oleh
beberapa pakar karakter seperti demokratis, nasionalis dsb adalah di antara
nilai-nilai yang perlu dipertanyakan kebenarannya. Demokrasi misalkan adalah
sistem politik Barat yang sejatinya bertentangan dengan Islam, karena
menempatkan kedaulatan di tangan manusia. Belum lagi yang diajarkan dalam
pendidikan karakter terkadang hanya nilai-nilai, dimana nilai ini sangat
bergantung pada sistem apa yang diterapkan saat itu. Sebagai contoh nilai etos
kerja, disiplin, kerjasama dsb. Apakah bisa dikatakan memiliki karakter yang
baik bagi seseorang yang bekerja pada bank yang mempratikan sistem ribawi
meskipun dengan etos kerja yang tinggi, disiplin yang luar biasa dan kerjasama
yang solid?
3. 3. Budaya masyarakat yang mengarah pada
gaya hidup materialistik dimana ukuran kesuksesan diukur dari title yang
berderet-deret, pangkat yang tinggi, kekayaan yang melimpah, popularitas, dsb.
Budaya ini jelas sangat memengaruhi orientasi sekolah, siswa dan orang tua.
Sehingga tidak sedikit kampus yang menjual iklan “langsung kerja” bahkan tidak
sedikit pula yang melakukan pelacuran akademik dengan jual beli ijazah palsu.
4. 4. Materi ajar yang tidak menghantar
terbentuknya output pendidikan yang memiliki kepribadian yang seimbang. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa materi ajar di sekolah-sekolah kita sangat dominan
pengembangan aspek kognitif dan minus afektif. Kelulusan sangat ditentukan
dengan angka-angka yang sifatnya kualitatif sedang kepribadian tidak terlalu
menjadi perhatian. Hal ini semakin diperparah dengan materi ajar yang
kontradiktif dengan materi lain khususnya materi agama Islam, misalnya teori
evolusi, prinsip ekonomi, demokrasi, pluralisme, dsb. Ironisnya matari-materi
ini (demoraksi, pluralisme, nasionalisme) justru dianggap sebagai materi-materi
yang akan membentuk moral dan karakter siswa.
5. 5. Pengajaran yang cenderung transfer of
knowledge dan bukan transfer of personality
6. 6. Budaya sekolah, termasuk guru sebagai
ujung tombak pendidikan yang belum dapat menjadi teladan bagaimana seharusnya
mengembangkan karakter positif.
7. Belum serasinya pendidikan di sekolah,
keluarga, dan masyarakat.
8.7. . Dari aspek teknis, guru masih belum terbiasa
mengembangkan model pembelajaran yang terintegrasi dengan pengembangan karakter
positif.
BAGUS
ReplyDeleteGreat !!!
ReplyDelete