-->

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM



Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan Islam
I. Eksistensi Filsafat Pendidikan Islam
1. Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
Sebelum mengemukakan pengertian Filsafat Pendidikan Islam perlu diutarakan secara sepintas mengenai pengertian filsafat. Hingga kini tidak ada kesepakatan para ahli dalam merumuskan pengertian filsafat, disebabkan karena berbedanya sudut pandang yang digunakan dari masing-masing.
Namun demikian dapat dikemukakan bahwa kata Filsafat yang berasal dari bahasa Yunani philosophia: Philos berarti cinta, dan Shophia berarti pengetahuan, hikmah, atau kebenaran. Dengan demikian dari segi etimologi, kata filsafat berarti “cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan”.
Dari pengertian menurut bahasa tersebut dapat ditegaskan bahwa orang yang suka berfilsafat cenderung cinta terhadap ilmu dan kebijaksanaan, atau selalu ingin mengetahui hakikat tentang sesuatu, karena filsafat pada intinya adalah upaya mencurahkan seluruh pemikiran dalam rangka mencari sebuah kebenaran atau hakikat tentang sesuatu yang ada.
Sebagaimana halnya dengan pengertian secara etimologi, maka secara terminologi atau istilah, rumusan pengertian filsafat juga berbeda di kalangan para ahli. Dari sekian banyak pengertian yang ada, salah satu rumusan pengertian yang dapat dijadikan rujukan adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Sidi Gazalba yang mengartikan Filsafat sebagai; “befikir secara mendalam, sistematis, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, atau hakikat, mengenai segala sesuatu yang ada”.[1]
Dari rumusan pengertian filsafat tersebut maka dapatlah ditegaskan bahwa pengertian Filsafat Pendidikan Islam adalah:
Berfikir secara mendalam, sistematis, radikal, dan universal mengenai segala hal yang berkaitan dengan kependidikan, dengan berlandaskan ajaran Islam tentang hakikat kemampuan dan potensi manusia agar dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing agar menjadi manusia yang seluruh kepribadiannya dijiwai oleh ajaran Islam.
Dalam bahasa yang disederhanakan dapat dikatakan bahwa Filsafat Pendidikan Islam adalah berfikir secara mendalam untuk menemukan solusi terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan seluruh aspek pendidikan Islam, agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan dan sesuai dengan ajaran Islam.
Dari pengertian Filsafat Pendididkan Islam seperti tersebut di atas, jelaslah bahwa, arah dari mata kuliah ini, berupaya untuk membekali mahasiswa sebagai calon pendidik dan aktivis kependidikan, agar dapat mengembangkan kreativitas berfikirnya dalam rangka mencari solusi dari berbagai permasalahan dalam kependidikan Islam, baik yang menyangkut dengan manusia sebagai makhluk paedagogik, alam raya, maupun hal-hal yang berkaitan dengan berbagai pemikiran yang melatar belakangi pelaksanaan suatu aktivitas pendidikan Islam, seperti metode, tujuan, kurikulum, dan lain sebagainya.
2. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam
Jika diamati secara seksama, dari uraian mengenai pengertian Filsafat Pendidikan Islam, secara sepintas tergambar pula mengenai ruang lingkup Filsafat Pendidikan Islam. Namun demikian, nampaknya secara khusus masalah tersebut masih perlu dipertegas lagi. Penjelasan mengenai ruang lingkup ini mengandung indikasi bahwa Filsafat Pendidikan Islam sebagai sebuah disiplin ilmu harus menunjukkan dengan jelas mengenai bidang kajian atau cakupan pembahasannya.
Dari beberapa tulisan yang membahas mengenai ruang lingkup Filsafat Pendidikan Islam, cukup memberikan gambaran yang jelas bahwa ruang lingkup Filsafat Pendidikan Islam adalah masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti masalah tujuan pendidikan, masalah guru, kurikulum, metode, dan lingkungan pendidikan. Bagaimana agar semua masalah tersebut dapat disusun dan dicarikan solusinya, tentu saja harus ada pemikiran yang melatar belakanginya. Pemikiran yang melatar belakinya itulah yang kemudian menjadi wilayah dari disiplin Filsafat Pendidikan Islam.
Oleh karena itu, dalam mengkaji Filsafat Pendidikan Islam seseorang dituntut harus pula memahami konsep tujuan pendidikan Islam, guru, murid, metode, kurikulum, dan lain sebagainya. Dengan demikian dalam Filsafat Pendidikan Islam terdapat pemaduan dua disiplin ilmu yakni filsafat dan pendidikan secara umum. Di samping itu, seseorang harus pula menguasai paling tidak pokok-pokok ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadis, karena sumber dari Filsafat Pendidikan Islam dikaji secara mendalam dari ajaran Islam itu sendiri yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadis.
Dalam uraian ini perlu juga dipertegas bahwa meskipun Filsafat Pendidikan Islam berupaya menjawab semua permasalahan menyangkut semua hal yang berkaitan dengan pendidikan Islam, namun ruang lingkupnya bukanlah hal-hal yang bersifat teknis operasional dalam pendidikan, melainkan segala hal yang mendasari serta mewarnai corak sistem dan pelaksanaan pendidikan Islam.
3. Sumber-sumber Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat Pendidikan Islam sebagai sebuah disiplin ilmu, secara epistemologis seyogyanya mempertanyakan dari mana Filsafat Pendidikan Islam dapat diambil.? Atau dengan kata lain, sumber-sumber apa saja yang dapat menjadi pegangan keilmuan bagi Filsafat Pendidikan Islam.?
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Abuddin Nata menegaskan bahwa Filsafat Pendidikan Islam bukanlah Filsafat Pendidikan yang bercorak liberal, bebas, dan tanpa batas etika, sebagaimana halnya dengan Filsafat Pendidikan pada umumnya. Filsafat Pendidikan Islam adalah Filsafat Pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau Filsafat Pendidikan yang dijiwai oleh ajarn Islam.[2]
Filsafat Pendidikan Islam bersumber dari ajaran Islam, yaitu Al-Quran dan Hadis yang senantiasa dijadikan sebagai landasan bagi Filsafat Pendidikan Islam. Dengan demikian, sumber Filsafat Pendidikan Islam adalah digali dari ajaran Islam secara keseluruhan. Selain itu, Filsafat Pendidikan Islam juga mengambil sumber-sumber dari ajaran lain yang dinilai tidak bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam. Dalam kontek ini, menurut Abdul Rahman Shalih Abdullah menyebutkan bahwa para ahli ilmu Filsafat Pendidikan Islam dapat digolongkan kepada dua corak aliran, yakni; (1) mereka yang mengadopsi konsep-konsep non-Islam dan kemudian memadukannya ke dalam pemikiran pendidikan Islam; (2) mereka yang tergolong ke dalam kelompok yang tradisional yang hanya mengambil sumber Filsafat Pendidikan Islam dari Al-Quran dan Hadis.[3]
Berdasarkan dua kelompok pembagian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa kelompok pertama merupakan aliran yang bercorak liberal, dan kelompok kedua merupakan kelompok yang beraliran konservatif. Dalam hal ini, menurut pendapat kami, bahwa meskipun Filsafat Pendidikan Islam berlandaskan kepada ajaran Islam (Al-Quran dan Hadis), namun Filsafat Pendidikan Islam juga perlu mengadopsi sumber-sumber lain yang bekaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan kontemporer. Namun perlu ditegaskan bahwa dalam pengadopsian tersebut harus dilakukan dengan seselektif mungkin, agar dapat terhindar dari hal-hal yang bertentangan dengan pokok-pkok ajaran Islam. Argumen ini berangkat dari sebuah hadis yang sangat populer: ?????????? ????????? ?????? ?????????? (Tuntutlah ilmu, walaupun di negeri Cina).
4. Urgensi dan Fungsi Filsafat Pendidikan Islam
Permasalahan yang perlu dijawab pada bagian ini adalah; untuk apa mempelajari Filsafat Pendidikan Islam.? Pertanyaan ini harus terlebih dahulu diajukan karena setiap disiplin ilmu pasti memiliki kegunaan, demikian pula halnya dengan Filsafat Pendidikan Islam.
Para ahli dalam bidang Filsafat Pendidikan Islam telah banyak melakukan penelitian secara teoritis mengenai kegunaan dari Filsafat Pendidikan Islam. Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany misalnya mengemukakan beberapa manfaat yang dapat diperoleh dalam mempelajari Filsafat Pendidikan Islam, salah satu yang terpenting di antaranya adalah;
Filsafat Pendidikan dapat membantu para perancang dan pelaksana pendidikan dalam suatu negara atau wilayah, dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan dalam rangka untuk menentukan arah dan tujuan ke mana pendidikan beserta hasilnya akan diarahkan, sesuai dengan cita-cita negara atau wilayah yang bersangkutan.[4]
Senada dengan itu, George R. Knight sebagaimana dikutip oleh Toto Suharto, secara umum menyebutkan 4 (empat) urgensi dari mempelajari Filsafat Pendidikan Islam, yaitu:
a. Dapat membantu para pendidik dan aktivis kependidikan untuk memahami berbagai persoalan mendasar tentang pendidikan.
b. Memungkinkan bagi para pendidik untuk dapat mengevaluasi secara lebih baik, dan memilih berbagai tawaran yang merupakan solusi bagi persoalan-persoalan kependidikan.
c. Untuk membekali para pendidik dan aktivis kependidikan berfikir klarifikatif tentang tujuan-tujuan hidup dalam kaitannya dengan pendidikan.
d. Untuk memberi bimbingan dalam mengembangkan suatu sudut pandang yang konsisten, dan mengembangkan berbagai program pendidikan yang berhubungan secara realistis dengan konteks negara secara khusus, dan dunia global secara umum.[5]
Dari beberapa manfaat mempelajari Filsafat Pendidikan, dapat disimpulkan bahwa pada intinya, Filsafat Pendidikan Islam merupakan pegangan dan pedoman yang dapat dijadikan landasan filosofis bagi pelaksanaan pendidikan Islam dalam rangka upaya untuk menghasilkan generasi baru yang terdidik dan berkepribadian Muslim, di mana seluruh perilaku hidupnya senantiasa dijiwai oleh ajaran Islam.
5. Perbandingan antara Filsafat Pendidikan Islam dengan Filsafat Pendidikan Barat
Dalam beberapa hal, sebenarnya kurang proporsional untuk membandingkan antara Filsafat Pendidikan Islam dengan Filsafat Pendidikan Barat. Hal ini disebabkan karena Filsafat Pendidikan Islam yang berorientasi kepada wahyu, dan Filsafat Pendidikan Barat yang murni berorientasi kepada rasionalitas. Akan tetapi, mengingat bahwa Filsafat Pendidikan Islam juga dapat mengambil sumber dari berbagai ajaran, termasuk hal-hal yang datang dari dunia Barat, maka perbandingan ini menjadi penting adanya, untuk memberikan gambaran letak perbedaan yang sangat prinsipil antara Filsafat Pendidikan Islam dengan Filsafat Pendidikan Barat.
Perbedaan tersebut dapat dilihat dalam beberapa hal sebaga berikut:
a. Filsafat Pendidikan Islam berdasarkan pada wahyu, sedangkan Filsafat Pendidikan Barat berpijak pada humanistik murni yang mengandalkan rasionalitas. Atas dasar ini Filsafat Pendidikan Islam tidak mengenal kebenaran terbatas, melainkan universal. Sedangkan Filsafat Pendidikan Barat mengenal kebenaran secara parsial, sehingga tidak jarang timbul pertentangan berbagai ide yang menyangkut dengan pendidikan.
b. Filsafat Pendidikan Islam berupaya mengembangkan kemampuan manusia dalam pandangan integral antara kehidupan dunia dan akhirat, atau antara yang profan dan sakral. Sedangkan Filsafat Pendidikan Barat mengembangkan kemampuan manusia secara parsial, atau yag profan saja. Kondisi inilah yang kemudian membawa krisis sistem nilai dalam pendidikan Barat yang kemudian melahirkan manusia yang menguasai ilmu pengetahuan namun nihil terhadap nilai-nilai religiusitas.
c. Filsafat Pendidikan Islam memperhatikan dan mengembangkan semua aspek kepribadian manusia, mulai dari aspek hati hingga akal. Sedangkan Filsafat Pendidikan Barat hanya memperhatikan pengembangan akal saja. Sesungguhnya, semua realitas kehidupan manusia tidak dapat dijelaskan hanya dengan melalui rasio, melainkan ada aspek yang tidak mampu dijangkau oleh akal. Disinilah peran nilai-nilai religiusitas berperan untuk memberikan pemahaman kepada kita bahwa setinggi apapun kemampuan manusia dalam melakukan sesuatu, namun tetap ada batasnya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang mendasar antara Filsafat Pendidikan Islam dengan Filsafat Pendidikan Barat adalah orientasinya. Filsafat Pendidikan Islam di samping berorientasi keduniaan juga berorientasi keakhiratan, sedangkan Filsafat Pendidikan Barat hanya berorientasi keduaniaan dan materi saja.
II. Tuhan, Manusia, dan Alam dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
1. Tuhan dan Eksistensinya dalam Islam
Al-Quran sebagai sumber pertama dan utama ajaran Islam menjelaskan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap manusia. Hal ini merupakan fitrah (bawaan) manusia sejak kejadiannya.[6] Dalam kaitannya dengan Filsafat secara umum, dan Filsafat Pendidikan Islam secara khusus, pertanyaan yang patut diajukan mengenai eksistensi Tuhan adalah; mengapa kita harus mempercayai adanya Tuhan.?
Jawaban atas pertanyaan tersebut terdapat dalam Al-Quran yang telah menyatakan bahwa keyakinan kepada yang lebih tinggi dari pada alam adalah keyakinan dan kesadaran terhadap yang gaib. Hingga batas-batas tertentu yang gaib ini dapat dilihat oleh orang-orang terentu seperti Nabi Muhammad saw. walaupun tidak dapat dipahami dan dibuktikan dengan empirisme secara sempurna.
Untuk dapat mengenal dan mengetahui eksistensi Tuhan, maka kita harus mempelajari tanda-tanda Kekuasaan dan Keagungan-Nya. Meskipun Al-Quran tidak membuktikan secara eksplisit mengenai keberadaan Tuhan, akan tetapi Al-Quran menunjukkan cara-cara untuk mengenal Tuhan melalui alam raya dan segala isinya.
Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh M. Quraish Shihab dengan mengutip sebuah Hadis Qudsi:
“Aku adalah sesuatu yang tersembunyi. Aku berkehendak untuk dikenal, maka Kuciptakan makhluk agar mereka dapat mengenal-Ku”.[7]
2. Keyakinan dan Argumen-argumen Adanya Tuhan
Pembahasan tentang adanya Tuhan secara filosofis pada prinsipnya menuntut adanya pembuktian yang berdasarkan nalar. Hal inilah yang menjadi wacana perdebatan antara kaum filosof, kaum teolog, dan kaum sufi. Perdebatan ini demikian sengitnya dalam tradisi keilmuan Islam dan hingga kini tak ada hentinya, bahkan tidak jarang terjadi saling mengkafirkan, saling memurtadkan, dan saling mensekulerkan, meskipun ketiganya berasal dari rumpun yang sama yakni Islam.
Kaum filosof menggunakan aspek keilmuan yang bersumber dari akal, kaum teolog (termasuk kaum ushuliyyin) menggunakan aspek keilmuan yang bersumber dari teks, sedangkan kaum sufi menggunakan aspek keilmuan yang bersumber dari intuisi. Argumen-argumen tentang keberadaan Tuhan dapat dilihat dari beberapa konsep yang dikemukakan oleh beberapa filosof dan ilmuan Muslim seperti Al-Kindi (w. sekitar 866 M) dengan argumen kebaruannya (hudûts). Ia menyatakan bahwa alam ini bersifat baru, artinya alam ini pada awalnya tidak ada, lalu kemudian ada. Oleh karena itu pasti pula ada yang menciptakannya yang disebut dengan “Sebab Pertama”. Di samping Al-Kindi, beberapa filosof juga mengemukakan argumen yang membuktikan keberadaan Tuhan sebagai Pencipta alam semesta, yang sekaligus menjadi kekayaan khazanah keilmuan dalam sejarah Islam.
Dari berbagai perdebatan mengenai konsep Tuhan, kiranya dapat memiliki dampak dan implikasi pedagogis yang perlu diperhatikan oleh dunia pendidikan Islam. Oleh karena itu, argumen-argumen mengenai keberadaan Tuhan ditinjau dari sudut pandang Filsafat Pendidikan Islam hendaknya dapat melahirkan pemikiran yang berimplikasi kepada antara lain:
a. Allah sebagai “Pencipta” hendaknya dikenal dan diyakini oleh manusia melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya. Eksistensi Tuhan seperti ini harus dipahami sebagai tujuan utama pendidikan Islam. Ini merupakan unsur keimanan (akidah) dalam Filsafat Pendidikan Islam.
b. Allah sebagai Rabb mengandung arti bahwa Allah adalah Pengatur dan Pemelihara alam raya ini. Allah telah menentukan berbagai aturan (sunnatullah) yang harus diperhatikan dan diikuti oleh manusia. Ini merupakan unsur Islam (syari’ah) dalam Filsafat Pendidikan Islam.
c. Allah sebagai Pencipta memiliki beberapa sifat yang disebut al-Asmâ’ al-Husnâ. Sifat-sifat Allah tersebut hendaknya dapat ditransformasikan dalam dunia pendidikan Islam, dalam rangka mewujudkan manusia sebagai khalîfah fi al-Ardh yang bertugas mengemban amanah di muka bumi. Ini merupakan unsur ihsân (akhlak) dalam Filsafat Pendidikan Islam.
d. Melalui argumen teologis, Filsafat Pendidikan Islam memformulasikan bahwa alam semesta dirancang dan diciptakan Allah sebagai fasilitas bagi kehidupan manusia. Fasilitas ini sedemikian rupa harus dikembangkan oleh manusia melalui kreativitas demi kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan.
3. Hakikat dan Potensi Manusia dalam Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam
What is a man.? Demikian suatu pertanyaan yang dikemukakan oleh Jujun S. Suryasumantri ketika mulai membahas bidang telaah filsafat.[8] Pertanyaan ini mengandung indikasi bahwa pada tahap permulaan, filsafat senantiasa mempersoalkan “siapakah manusia itu”.? Jika pada tahap awal Filsafat mempersoalkan masalah manusia, demikian pula halnya dengan pendidikan Islam. Ia tidak akan memiliki paradigma yang sempurna tanpa menentukan sikap konseptual filosofisnya tentang hakikat manusia. Sebab bagaimanapun manusia adalah merupakan bagian dari alam raya ini. Perlunya menentukan sikap dan tanggapan tentang manusia dalam Filsafat Pendidikan Islam pada hakikatnya, didasarkan atas asumsi bahwa manusia adalah subjek sekaligus objek pendidikan Islam.
Untuk menjawab permasalahan di atas, terlebih dahulu harus dikemkakan prinsip-prinsip yang menjadi dasar filosofis bagi pandangan pendidikan Islam. Dalam hal ini Al-Syaibany menyebutkan beberapa prinsip, antara lain yakni:
a. Manusia adalah makhluk yang paling mulia di alam ini. Allah telah membekalinya dengan berbagai keistimewaan yang menyebabkan ia mengungguli makhluk lain.[9]
b. Kemuliaan manusia atas makhluk lain adalah karena manusia diangkat menjadi khalifah yang bertugas untuk memakmurkan bumi atas dasar ketakwaan.[10]
c. Manusia adalah makhkuk berfikir dengan menggunakan bahasa sebagai media. Hal ini sering diungkapkan bahwa: ??????? ????? ?????? (manusia adalah hewan yang dapat berbicara).
d. Manusia adalah makhluk tiga dimensi, ibarat segi tiga sama kaki, yaitu: jasad, akal, dan rûh.[11]
Dengan berpegang kepada beberapa prinsip seperti di atas, kiranya Filsafat Pendidikan Islam akan mudah untuk menentukan konsep tentang hakikat manusia dari berbagai aspeknya, seperti proses penciptaannya, tujuan hidupnya, kedudukannya, tugas-tugasnya, dan lain sebagainya.
4. Hakikat dan Kedudukan Alam dalam Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam
Setelah pembahasan menyangkut dengan hakikat manusia dalam pandangan Filsafat Pendidikan Islam, satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah pembahasan mengenai hakikat dan kedudukan alam dalam tinjauan Filsafat Pendidikan Islam.
Menurut Al-Jurjani, sebagaimana dikutip Toto Suharto menyatakan bahwa term alam adalah segala hal yang menjadi tanda bagi suatu perkara sehingga dapat dikenali. Sedangkan secara terminolgi berarti segala sesuatu yang ada (maujud) selain Allah, yang dengan ini Allah dapat dikenali baik nama maupun sifat-sifat-Nya.[12] Segala sesuatu selain Allah itulah alam dalam pengertian yang sederhana.
Dari pengertian tersebut, secara sepintas dapat dipahamai bahwa alam dengan segala isinya diciptakan oleh Allah agar melalui semua itu dapat mengenal-Nya. Di samping itu, alam dengan segala potensi yang terkandung di dalamnya dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat manusia secara bersama.
Dalam kaitannya dengan alam, menurut Al-Syaibany terdapat beberapa prinsip Filsafat Pendidikan Islam tentang alam, antara lain yakni:
a. Filsafat Pendidikan Islam percaya bahwa pendidikan Islam sebagai proses pembentukan pengalaman dan perubahan tingkah laku, baik individu maupun masyarakat hanya akan berhasil apabila terjadi interaksi antara peserta didik dengan lingkungan alam sekitarnya tempat mereka hidup. Seluruh makhluk, baik benda ataupun alam sekitar, dipandang sebagai bagian alam semesta. Oleh karena itu, proses pendidikan manusia dan peningkatan mutu akhlaknya, bukan sekedar terjadi dalam lingkungan sosial (sesama manusia) semata, tapi juga dalam lingkungan alam yang bersifat material.
b. Filsafat Pendidikan Islam percaya bahwa alam semesta atau universe, baik yang materi maupun bukan, memiliki hukumnya sendiri-sendiri. Hal ini harus diteliti dan dipelajari dalam pendidikan Islam agar peserta didik mampu mengenali hukum-hukum yang mengendalikan alam semesta ini sehinga memiliki keteraturan dan keharmonisan dalam kehidupan.
c. Filsafat Pendidikan Islam percaya bahwa alam semesta yang terbagi dalam dua kategori (alam materi dan alam ruh), harus dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu pendidikan Islam harus memperhatikan kedua hal ini secara seimbang, karena kehidupan manusia yang sempurna tidak akan terwujud hanya dengan memperhatikan salah satunya.
d. Filsafat Pendidikan Islam percaya bahwa alam semesta yang berjalan dengan teratur ini, harus dipahami sebagai keajaiban dan keagungan Sang Pencipta. Olehnya itu, dari sikap ini diharapkan akan menambah iman atau keyakinan bahwa manusia tidak berdaya dihadapan Allah yang telah membuat dan mengatur alam ini sedemikian harmonis dan teraturnya.
e. Filsafat Pendidikan Islam percaya bahwa alam semesta ini bukanlah musuh bagi manusia, dan bukan penghalang bagi kemajuan peradaban manusia, melainkan alam merupakan teman dan alat bagi kemajuan manusia. Oleh karena itu, pendidikan Islam harus senantiasa diarahkan agar dapat menanamkan pemahaman kepada peserta didik tentang bagaimana mengelola alam dan memanfaatkannya secara bijaksana demi kepentingan umat manusia.
f. Filsafat Pendidikan Islam percaya bahwa alam semesta dan seisinya ini bersifat baru (tidak kekal). Prinsip ini dapat dijadikan sebagai pegangan pendidikan Islam bahwa hanya Allahlah yang bersifat kekal dan abadi.
Dengan berpegang dari beberapa prinsip tersebut di atas, Filsafat Pendidikan Islam akan dapat menentukan arah pemikiran dan implementasi pendidikan Islam di antara filsafat-filsafat pendidikan lainnya. Di samping itu, sebagai sebuah disiplin ilmu maka Filsafat Pendidikan Islam dapat pula menentukan sikapnya dari permasalahan-permasalahan seputar alam. Sikap ini pada akhirnya akan melahirkan berbagai prinsip yang dapat dijadikan sebagai landasan filosofis dalam menentukan tujuan, metode, kurikulum, dan berbagai komponen lainnya dalam pendidikan Islam.
III. Tinjauan Filosofis terhadap Berbagai Komponen Pendidikan Islam
1. Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan dalam arti Islam, adalah sesuatu yang hanya diperuntukkan bagi manusia. Pernyataan ini ditegaskan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas.[13] Penegasan ini mengindikasikan bahwa pendidikan Islam secara filosofis seyogyanya memiliki konsep yang jelas mengenai manusia. Kalau pendidikan hanya untuk manusia, pertanyaan yang pantas dikemukakan adalah “manusia yang bagaimana yang dikehendaki oleh pendidikan Islam sebagai tujuan akhirnya”.? Jawaban atas pertanyaan ini dikemukakan oleh beberapa ahli pendidikan Islam seperti dikutip oleh Suharto, antara lain Ahmad D. Marimba menyatakan tujuan akhir pendidikan Islam untuk membentuk “manusia yang berkepribadian Muslim”, Muhammad Munir Mursy menyebutnya sebagai “insâan kâmil” (manusia sempurna), Muhammad Quthb menyebutnya sebagai “manusia sejati”, sedangkan Muhammad Athiyah al-Abrasyi menyatakan bahwa manusia yang ingin dibentuk oleh pendidikan Islam adalah “manusia yang mencapai akhlak sempurna”.[14]
Dari beberapa pendapat ahli mengenai tujuan akhir pendidikan Islam, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam pada prinsipnya bermaksud untuk merealisasikan tujuan hidup manusia, yaitu penghambaan atau menyembah kepada Allah sepenuhnya.[15] Di samping itu seseorang yang memilih Islam sebagai keyakinan nya diharapkan akan senantiasa menjadi seorang Muslim yang baik sampai saat akhir hayatnya.[16]
Konsep mengenai “manusia sempurna”, “manusia sejati”, “manusia yang berakhlak mulia”, dan beberapa istilah lainnya yang dikemukakan di atas, sebagai tujuan akhir pendidikan Islam, telah terapresiasikan dalam diri pribadi Rasulullah saw. sebagai uswah hasanah (contoh telada yang baik). Dengan demikian, apabila kita ingin melihat sifat-sifat manusia sempurna, maka lihatlah sifat-sifat Rasulullah melalui berbagai hadis ataupun riwayat.
Singkatnya, tujuan akhir pendidikan Islam adalah untuk membentuk manusia sebagai seorang Muslim yang seluruh sikap dan aktivitas kehidupannya senantiasa dijiwai oleh nilai-nilai ajaran Islam, baik dalam hubungannya dengan Allah, dengan manusia, maupun hubungannya dengan alam sekitarnya. Dengan demikian, peran seorang Muslim baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari suatu komunitas masyarakat akan dapat menjalankan tugasnya sebagai Khalîfah fî al-Ardh yang dapat memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk mengelola alam raya ini demi kepentingan kesejahteraan seluruh umat manusia. Bukan memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk mengeksploitasi alam demi kepentingan individu, segelintir, atau sekelompok manusia saja.
2. Pendidik dan Peserta didik dalam Pendidikan Islam
Pendidik dan peserta didik merupakan dua komponen terpenting dalam suatu proses pendidikan. Dipundak seorang pendidik terletak sebuah tanggung jawab yang besar untuk mengantarkan peserta didik ke arah tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Namun, dibalik beratnya tugas dan tanggungjawab seorang pendidik, di dalamnya juga terkandung makna betapa besar dan mulianya profesi seorang pendidik. Seorang pendidik, di samping bertugas sebagai transfer of knowledge (mentransfer ilmu pengetahuan) terhadap peserta didik, juga yang tidak kalah pentingnya terutama dalam pendidikan Islam, seorang pendidik adalah bagaimana ia dapat bertindak sebagai transfer of value (mentransfer nilai-nilai; akhlak, etika, dll) terhadap peserta didik. Sebab apalah artinya seorang peserta didik yang mahir dan menguasai sebuah disiplin ilmu pengetahuan, namun kosong dari nilai-nilai akhlak atau etika. Bukanlah peserta didik yang semacam ini dikehendaki oleh Filsafat Pendidikan Islam. Pendidikan Islam berbeda dengan konsep pendidikan lannya, pendidikan Islam menekankan penguasaan aspek keilmuan sekaligus aspek kepribadian (sikap, tingkah laku, etika, dan akhlak) terhadap peseta didik.
Dalam konsepsi Islam, Muhammad saw. adalah merupakan al-Mu‘allim al-Awwal (pendidik pertama dan utama). Dalam sikap beliau sehari-hari (terutama ketika menjalankan da’wah Islam) tercermin sikap seorang pendidik yang berakhlak mulia, ulet, sabar, tekun, dan sebagainya dalam menghadapi berbagai tantangan yang datang, meskipun tantangan itu nyaris melenyapkan jiwa beliau beserta keluarga dan sahabatnya, namun beliau tetap menjalankan da’wahnya. Oleh karena itu, seorang pendidik hendaknya dapat meniru berbagai sikap dan perilaku Rasulullah saw. dalam menjalankan profesinya sebagai pendidik, baik pendidik dalam pengertian sempit maupun pendidik dalam arti yang lebih luas.
Di samping komponen pendidik, yang juga turut menentukan tercapainya tujuan pendidikan adalah peserta didik. Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik adalah orang yang belum dewasa yang memiliki berbagai potensi dasar (fitrah) yang dapat dikembangkan. Disini peserta didik dalam tinjauan Filsafat Pendidikan Islam adalah makhluk Allah yang terdiri dari jasmani dan rohani yang belum mencapai taraf kematangan, baik dari aspek fisik, mental, intelektual, maupun psikologisnya. Oleh karena itu ia senantiasa memerlukan bantuan (bimbingan) orang lain agar dapat mengembangkan semua aspek tersebut secara optimal melalui proses pendidikan. Potensi dasar yang dimiliki peserta didik, kiranya tidak akan dapat berkembang tanpa melalui pendidikan, karena Islam memandang bahwa setiap anak yang lahir dibekali dengan berbagai potensi (fitrah), lingkunganlah (orang tua, sekolah, masyarakat, dll) yang dapat mengantarkan ke arah mana potensi itu akan berkembang (positif atau negatif).
3. Kurikulum dan Metode dalam Pendidikan Islam
Tinjauan Filosofis tentang lingkungan dalam Pendidikan Islam merupakan suatu hal yang tidak kalah pentingnya dengan komponen pendidikan lainnya, karena kurikulum juga turut menjadi faktor penentu dalam pencapaian tujuan pendidikan. Kurikulum dalam arti yang sederhana pada awalnya merupakan istilah yang digunakan dalam bidang olah raga yang berarti sebuah jarak yang harus ditempuh oleh seorang atlit mulai dari garis star sampai finish. Kemudian istilah ini digunakan dalam dunia pendidikan yang berarti sebuah rencana berbagai mata pelajaran yang harus ditempuh dan diselesaikan oleh peserta didik dalam mencapai jenjang pendidikan tertentu.
Dalam tinjauan Filsafat Pendidikan Islam, kurikulum harus disusun melalui berbagai latar belakang pertimbangan pemikiran, baik latar belakang ideologi suatu negara, daerah, potensi alam yang dapat dikembangkan, maupun berbagai latar belakang budaya dari suatu masyarakat yang dinggap tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Singkatnya, Filsafat Pendidikan Islam menghendaki sebuah pengembangan kurikulum yang berlandaskan ajaran Islam.
Sedangkan metode pendidikan dalam tinjauan Filsafat Pendidikan Islam, adalah pemikiran yang melatar belakangi suatu cara yang digunakan dalam menyampaikan materi dalam proses pendidikan. Dalam pendidikan Islam metode yang digunakan digali dari berbagai sumber ajaran Islam, yakni Al-Quran, Hadis, atau riwayat-riwayat para Nabi dalam menjalankan da’wahnya. Dalam Al-Quran misalnya terdapat banyak kisah para nabi dan orang-orang mukmin yang dapat dijadikan sebagai metode kisah Qur’ani.
4. Tinjauan Filosofi tentang Lingkungan dalam Pendidikan Islam
Lingkungan pendidikan merupakan hal yang juga turut mempengaruhi proses pendidikan dalam mencapai tujuan yang optimal. Artinya, bagaimanapun baiknya potensi yang ada dalam diri peserta didik, namun jika tidak didukung oleh suatu lingkungan pendidikan yang baik, maka potensi tersebut akan sulit dikembangkan secara maksimal. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang memadukan antara teori pembawaan (fitrah) peserta didik dengan lingkungan, baik itu lingkungan keluarga, masyarakat, maupun lingkungan dalam arti lembaga pendidikan.
Filsafat Pendidikan Islam, menghendaki agar lingkungan (terutama lingkungan lembaga pendidikan) benar-benar ditata sedemikian rupa dengan latar belakang filosofi yang digali dari nilai-nilai ajaran Islam. Dengan penataan lingkungan lembaga pendidikan yang dasar filosofinya digali dari ajaran Islam, maka akan dapat memberikan nuansa dan corak terhadap proses pembelajaran dan karakter peserta didik yang Islami.
Sebagai contoh, sebuah gedung bangunan yang dibangun dengan posisi menghadap kiblat, latar belakang filosofisnya adalah melambangkan sebagai seorang intelektual yang senantiasa berdiri menghadap kiblat dalam melakukan pengabdian atau menyemah kepada Allah. Demikian pula sebuah ruang kelas misalnya yang ditata dengan berbagai simbol keislaman. Semua ini akan dapat memberikan nuansa dan pengaruh terhadap karakter peserta didik. Singkatnya, Filsafat Pendidikan Islam menghendaki suatu lingkungan pendidikan yang bercorak Islami sehingga dapat memberikan nuansa yang Islami pula terhadap perkembangan peserta didik.[]
Wallahu A‘lam..!


[1] Lihat, Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jilid I, Cet. II; (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 15.
[2] Lihat, Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I; (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 15
[3] Lihat, Abdul Rahman Shalih Abdullah, Educational Theory; A Qur’anic Outlook, (Mekkah al-Mukarramah: Umm al-Qura University, t.t.), h. 36-37
[4] Lihat, Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah, terj. oleh Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 33
[5] Lihat, Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruz, 2006), h. 49-50
[6] Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Al-Rûm: 30)
[7] Lihat, H.M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudhi’I atas Pelbagai Persoalan Umat, Cet. II; (Bandung: Mizan, 1996), h. 24
[8] Jujun S. Suryasumantri, Filsfata Islam; Sebuah Pengantar Populer, Cet. X; (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), h. 27
[9] Lihat antara lain, QS. Al-Isrâ’ (17): 70 dan QS. Al-Tîn (95): 4
[10] Lihat antara lain, QS. Al-Baqarah (2): 30 dan QS. Al-Nûr (24): 55
[11] Jasad adalah raga manusia yang harus diusahakan agar senantiasa berada dalam keadaan sehat. Akal adalah potensi yang dimiliki oleh manusia yang memungkinkan baginya untuk mengembangkan budaya dalam arti luas. Sedangkan Rûh merupakan subtansi yang langsung diberikan Allah yang memungkinkan manusia dapat behubungan dengan-Nya dan meniru sifat-sifat-Nya.
[12] Lihat, Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, 97
[13] Lihat, Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for An Philosophy of Education, terj. oleh Haidar Bagir, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1992), h. 67
[14] Lihat, Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, h. 112
[15] Lihat, QS. Al-Dzâriyât (51): 56
[16] Lihat, QS. Ali Imran (3): 102

0 Response to "FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel