-->

MAKALAH TARIKH TASYRI

Tasyri’ Pada Masa Khulafaurrasyidin dan Faktor-faktor Penyebab Perkembangannya

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada masa dimana wafatnya rasul suatu kereta pemerintahan mulai di kendalikan oleh sahabat-sahabatnya. Memang diakui atau tidak fakta sejarah mengatakan bahwa rasul tidak pernah menunjuk seorangpun sebagai pengganti beliau dalam roda kepemimpinan pemerintahan Islam. Akan tetapi, sumbang kepedulian sahabat pada tatanan Islam yang memang sudah dibentuk sedemikian rupa oleh rasululloh, mereka mulai berfikir bagaimana supaya agar tatanan Islam yang memang sudah dibentuk tidak pudar dan tetap langgeng. Dari situ, sahabat mulai memilih salah satu sahabat dan Abu Bakarlah yang pertama terpilih sebagai khalifah pertama disusul kemudian oleh Umar Bin Khathab, Utsman Bin Affan, dan yang terakhir adalah Ali Bin Abi Tholib.
Sahabat adalah sebagai generasi Islam pertama, yang meneruskan ajaran dan misi kerasulan, dimana ia dalam menentukan hokum Islam selalu berpegang pada fatwa rasul yang telah ada. Akan tetapi dari satu sisi itu pula sahabat menemukan yang memang dalam fatwa rasul tidak ada, mereka berupaya untuk berijtihad tetapi masih dalam takaran syariat keislaman yang di sandarkan pada Al-Quran dan Al-Hadits.
Tasyri’ pada masa sahabat sudah dimulai oleh nuansa politik, dimana suatu penetapan hokum juga sudah berbau politik. Dimana dulu ketika rasul masih hidup semua permasalahan langsung di pertanyakan pada Rasul. Dan mungkin pula ada banyak perbedaan penentuan hokum melihat pada tatanan social politik kala itu. Mereka sudah mulai berinterpretasi tentang Al-Quran dan al-Hadits demi maslahatul umat yang di lihat pada tatanan sosialnya
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kondisi tasyri’ pada masa khulafaurrasyidin, dan faktor-faktor penyebab perkembangannya?
2. Apa saja yang menjadi sumber tasyri’ pada masa khulafaurrasyidin?
3. Bagaimana karakteristik tasyri’ pada masa khulafaurrasyidin?
4. Apakah sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat di kalangan sahabat?




BAB II
PEMBAHASAN

A. Kondisi Tasyri’ Pada Masa Khulafaurrasyidin dan Faktor-faktor Penyebab Perkembangannya
Apabila tahap pertumbuhan dan perkembangan hokum Islam diamati sesudah periode Nabi Muhammad saw dalam literatur hukum Islam, maka ditemukan beberapa pendapat berdasarkan sudut pandang, di antaranya ada pendapat yang mengungkapkan 4 (empat) tahapan, yaitu (a) Masa Khulafaurrasyidin (632-662 M); (b) Masa Pembinaan, pengembangan dan pembukuan (abad ke 7-10 M); (c) Masa kelesuan pemikiran (abad ke 10-19M); (d) Masa kebangkitan kembali ( abad ke 19 M sampai saat ini).
Masa Khulafaurrasyidin (632 M-662 M) ditandai dengan wafatnya Nabi Muhammad saw, yaitu berhenti wahyu turun. Wahyu diturunkan oleh Alloh SWT kepada Nabi Muhammad saw melalui Malaikat Jibril selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, baik wahyu yang turun di Mekah maupun di Madinah. Demikian juga hadis dan/atau sunnah berakhir pula dengan meninggalnya Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, kedudukan Nabi Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul Alloh tidak dapat digantikan oleh manusia lainnya termasuk sahabatnya. Namun, tugas beliau sebagai pemimpin masyarakat Islam sekaligus sebagai kepala negara harus di lanjutkan oleh orang lain. Pengganti Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin masyarakat dan kepala negara disebut khalifah. Pejabat kekhalifahan yang disebut Khulafaurrasyidin ini silih berganti selama empat periode, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddieq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Periode kekuasaan pemerintahan Nabi Muhammad saw hanya meliputi semenanjung Arabia, tetapi periode Khulafaurrasyidin meliputi wilayah arab dan non-Arab, sehingga masalah yang muncul semakin kompleks sementara ketetapan hokum yang rinci di dalam Al-Quran dan al-Hadits terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, Khulafaurrasyidin menghadapi banyak masalah yang tadinya tidak terdapat di masyarakat Arab. Misalnya masalah pengairan, keuangan, kemiliteran, pajak, cara penetapan hokum di pengadilan, dan lain-lain budayahukum di Damaskus, Mesir, Irak, Iran, Maroko, Samarkan, Andalusia dan lain-lain. Pada masa inilah mulai muncul interpretasi terhadap nash-nash Al-Quran yang diterima oleh Rosululloh saw, dan terbukalah pintu istinbat terhadap masalah-masalah yang tidak ada didalam nash secara jelas. Dalam masa ini pula Islam mulai berkembang pesat meluas sampai ke-Timur dan ke-Barat, sahabat-sahabat besar dalam masa ini mencoba untuk menginterpretasikan nash-nash hokum baik dalam Al-Quran maupun Al-hadits, yang kemudian menjadi pegangan untuk menta’wil nash-nash yang belum jelas itu. Selain dari pada itu para sahabat besar memberikan fatwa-fatwa dalam berbagai masalah dalam kejadian-kejadian sosial maupun politik yang tidak ada kejelasan dalam nash mengenai hal itu, yang kemudian itu menjadi dasar sebagai bahan untuk berijtihad. Para sahabat juga dapat dikatakan sebagai musyari’ yaitu menerangkan hal dan tidak ketinggalan memberikan fatwa dalam urusan-urusan yang tercantum secara tersurat dalam nash. Jika ini semua di hadapkan pada kita, maka tidak sepatutnya kita merasakan keheranan, sebab mereka dalam kesehariannya selalu bergaul dengan Nabi, sehingga mereka menyaksikan dan mengetahui asbabun-nuzul serta asbabul-wurud suatu hadits melebihi pengetahuan ulama-ulama’ sesudahnya. Bahkan Khulafaurrasyidin bergabung dalam kelompok yang biasa diajak bermusyawarah oleh Rosululloh saw. Karena itulah maka munculah kepercayaan umat yang perlu di simak, pada periode ini fatwa-fatwa dan masail fiqhiyah masih dicampur dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah istidlal. Memang hal seperti ini perlu di acungi jempol, tetapi bukan berarti Khulafaurrasyidin memiliki wewenang mutlak untuk mengganti syari’at yang telah di ajarkan oleh Nabi. Penetapan-penetapan pada waktu itu sebagian besar hanya bersifat melanjutkan apa yang pernah diperbuat oleh Nabi, kecuali mengenai beberapa peristiwa yang pada zaman Nabi belum ada.
Sebelum mengetahui pengaruh fatwa terhadap perkembangan hokum, terlebih dahulu kita perlu mengetahui persoalan-persoalan penting yang dihadapi oleh sahabat. Berikut di antara persoalan penting yang di hadapi oleh sahabat.
a. Sahabat khawatir akan kehilangan Al-Quran karena banyaknya sahabat yang hafal Al-Quran meninggal dunia dalam perang melawan orang-orang murtad.
b. Sahabat mengkhawatirkan terjadinya ikhtilaf sahabat terhadap Al-Quran akan seperti ikhtilaf Yahudi dan Nasrani yang terjadi sebelumnya.
c. Sahabat takut akan terjadi pembohongan terhadap Sunnah Rosululloh Saw.
d. Sahabat khawatir umat Islam akan menyimpang dari hukum Islam.
e. Sahabat menghadapi perkembangan kehidupan yang memerlukan ketentuan syariat, karena Islam adalah petunjuk bagi mereka tetapi belum ditetapkan ketentuannya dalam Al-Quran dan Sunnah.
Pada masa ini perkembangan Islam semakin luas ke segala arah, sehingga banyak ditemukan kasus-kasus baru yang memerlukan pemecahan atau penyelesaian. Pada kesempatan inilah para sahabat utama tampil sebagai mufti ( konsultan ) dalam masalah hukum dengan memberikan fatwa-fatwa kepada masyarakat, karena merekalah yang banyak berinteraksi dengan Rosululloh Saw. Merekalah yang paling sering mengikuti kegiatan Rasul serta paling sering menyaksikan sebab-sebab turunnya suatu ayat ( asbabun-nuzul ) dan keluarnya hadits. Diantara mereka ada yang menjadi peserta sidang dalam mesyawarah-musyawarah yang di selenggarakan Rosululloh Saw. Diantara para sahabat yang bertindak sebagai mufti antara lain :
1. Di Madinah : Zaid bin Tsabit, Ubai bin Kaab, Abdulloh bin Umar dan Siti Aisyah.
2. Di Makkah : Abdulloh bin Abbas.
3. Di Kuffah : Ali bin Abi Thalib dan Abdulloh bin Mas’ud.
4. Di Syam : Mu’adz bin Jabbal dan Ubadan bin Shamir.
5. Di mesir : Abdulloh bin Ammar.
Pada mulanya para mufti berdomisili di Madinah, dengan berkembangnya syiar Islam, maka mereka berpencar ke daerah-daerah maupun ke kota-kota. Para sahabat, khususnya periode ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam membela dan mempertahankan agama. Mereka tidak sekedar melestarikan “tradisi hidup” Nabi, tetapi juga melebarkan sayap dakwah Islam hingga ke negeri Persia, Irak, Syam dan Mesir. Ini untuk pertama kalinya fiqih di hadapkan dengan persoalan baru, penyelesaian atas masalah moral, etika, kultural dan kemanusiaan dalam suatu masyarakat yang pluralistik.
Agaknya inilah faktor yang terpenting yang mempengaruhi perkembangan fiqih pada periode ini. Daerah-daerah yang di buka dan “diislamkan” saat itu memiliki perbedaan masalah kultural, tradisi, situasi dan kondisi yang menghadang para Fuqaha, sahabat untuk memberikan “hukum” pada persoalan-persoalan baru yang muncul belakangan.
Para Khulafaurrasyidin dengan tingkat pemahaman yang tinggi terhadap Al-Quran dan Sunnah, menyikapi persoalan-persoalan yang dating dengan langsung merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Adakalanya mereka menemukan nash dalam Al-Quran dan Hadits secara tersurat, tetapi juga tidak jarang mereka menemukan dalam dua sumber syariat Islam tersebut. Kondisi yang demikian ini yang mendorong mereka secara paksa untuk berjuang menggali kaidah-kaidah dasar dan tujuan moral dari berbagai tema-tema dalam Al-Quran dan Hadits untuk di aplikasikan terhadap persoalan-persoalan baru.
Konsekuensi lain dari perluasan wilayah Islam adalah bercampurnya orang-orang Arab dengan yang lainnya. Sebagian dari mereka banyak yang memeluk Islam, tetapi sebagian tetap pada agama dan kepercayaan masing-masing. Dari sinimuncul suatu tuntutan untuk menetapkan hukum baru yang mengatur hubungan orang-orang Islam dengan orang-orang non-muslim. Para Fuqaha untuk kesekian kalinya berusaha merumuskan bagaimana Islam mengatur pluralitas hidup seperti ini, termasuk disini adalah persoalan baru yang belum pernah terjadi pada era kenabian disamping belum ada sumber hukum yang secara jelas-jelas merinci hukum masalah ini
B. Sumber-sumber Tasyri’ Pada Masa Khulafaurrasyidin
Sumber atau dalil hukum Islam yang digunakan pada zaman sahabat adalah (a) Al-Quran; (b) Sunnah, dan (c) Ijtihad (ra’yu). Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk kolektif, disamping individual. Dalam melakukan ijtihad kolektif, para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan hukum suatu kasus. Hasil musyawarah sahabat disebut Ijmak. Al-Quran pada masa ini sudah dibukukan, yaitu pada masa Utsman bin Affan setelah dipertimbangkan akan kemaslahatannya yang lebih besar. Adapun smber hukum Islam yang kedua adalah Hadits, yang ketika itu belum dibukukan, sebab dikhawatirkan akan bercampur dengan Al-Quran. Meski demikian upaya untuk pemeliharaan tetap dilakukan, sehingga kenbenaran riwayatnya dijamin. Abu Bakar misalnya, beliau tidak mau menerima hadits dari seseorang kecuali mendapat pengakuan dan pengetahuan dari orang lain yang terpercaya. Umar bin Khattab menuntut adanya bukti-bukti bahwa hadits tersebut datang dari Rasululloh, demikian juga Ali bin Abi Thalib, beliau senantiasa menyumpah perawinya. Kemudian sumber hukum yang ketiga adalah ijtihad. Para sahabat dalam berpendapat tidak selalu sama, artinya pendapat mereka kadang-kadang berbeda. Misalnya, Ali dan Ibnu Abbas berbeda pendapat dengan Umar bin Khattab dalam masalah ‘iddah. Dalam surat Al-Baqarah ayat 234 disebutkan bahwa wanita yang ditinggal mati oleh suaminya ‘iddahnya 4 bulan 10 hari, kemudian dalam surat At-Thalaq ayat 4 dijelaskan bahwa wanita yang hamil ‘iddahnya sampai dia melahirkan. Lalu persoalannya, bagaimana kalau ada wanita hamil dan ditinggal mati oleh suaminya. Menurut Ali dan Ibnu Abbas ‘iddahnya diambil yang lebih panjang diantara dua masalah tersebut ( 4 bulan 10 hari dan sampai melahirkan), sementara menurut Umar, ‘iddahnya sampai melahirkan.
Kita ketahui secara pasti bahwa kasus-kasus yang telah ditetapkan hukumnya oleh para sahabat sangat banyak jumlahnya. Kasus-kasus bermunculan, pembahasan terus dilakukan, namun tidak satu masalahpun yang tertinggal tanpa diberikan ketetapan hukumnya. Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru, para sahabat kembali kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi. Para sahabat banyak yang hafal Al-Quran, kendati pernah timbul keresahan ketika banyak yang gugur menghadapi peperangan, karenanya kembali kepada Al-Quran itu mudah.Hadits memang diriwayatkan dan dihafalkan, tetapi nasib hadits tidak sebagus Al-Quran karena perhatian mereka lebih terpusat pada Al-Quran, disamping dihafal Al-Quran juga ditulis sebagai antisipasi hilangnya Al-Quran karena banyaknya orang-orang Islam yang hafal Al-Quran gugur dalam pertempuran. Dan dengan tujuan penulisan ini pula ditemukannya keseragaman Al-Quran dalam bacaan dan penulisan. Mushaf yang diusahakan oleh Khalifah Utsman ( 624-630 M ) itu disebut Mushaf Utsmani. Sedangkan penulis hadits secara tertib berjarak lebih dari satu abad dari penulisan Al-Quran. Namun demikian sumber hhukum Islam di masa ini adalah Al-Quran dan Al-Sunnah. Berdasarkan kedua sumber itulah para Sahabat dan Khalifah berijtihad dengan menggunakan akal pikiran.
Alasan para sahabat kembali kepada Al-Quran dan Al-Sunnah ialah karena banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang memeritahkan taat kepada Alloh dan Rasul, mengembalikan sesuatu yang dipertentangkan kepada Alloh dan Rasul, serta berserah kepada apa yang telah ditetapkan oleh Alloh dan Rasul.
Alasan para sahabat melakukan ijtihad, ialah karena mereka melihat Rasululloh melakukan ijtihad bila wahyu Ilahi tidak turun. Suatu ketika Rasul mengutus Mu’adz ibn Jabal ke Yaman. Rasul bertanya kepada Mu’adz, “Dengan apa Engkau menghukumi sesuatu?” Jawab Mu’adz, “Saya menghukumi dengan Kitab Alloh.” Rasul bertanya, ”Jika tidak kamu jumpai (dalam Kitab Alloh)?” Jawab Mu’adz, “Saya menghukumi dengan Sunnah Rasululloh.” Rasul bertanya, “Jika tidak kamu jumpai(dalam Sunnah Rasululloh)?” Jawab Mu’adz, “Saya berijtihad dengan pendapatku.” Kemudian Rasul membenarkannya seraya memuji Alloh atas limpahan Taufik-Nya.

C. Karakteristik Tasyri’ Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Tidak setiap orang Islam mampu mengembalikan berbagai persoalan pada materi undang-undang serta mampu memahami hukum-hukum yang ditunjuk oleh Nash. Ini bias dimaklumi karena, dari aspek pertama, terdapat umat Islam yang tergolong “awam”, yang baru bias memahami nash melalui perantara orang yang lebih “pandai” dan memahami seluk beluk penafsiran nash.
Aspek kedua ialah, bahwa materi undang-undang belum tersebar di kalangan umat Islam secara merata. Nash-nash Al-Quran pada permulaan periode ini baru dibukukan dalam lembaran-lembaran khusus yang disimpan di rumah Rasuldan di rumah sementara sahabatnya, sedangkan Al-Sunnah sama sekali belum dibukukan.
Aspek ketiga ialah, bahwa materi undang-undang mensyariatkan hukum bagi kejadian dan urusan peradilan yang terjadi ketika di-tasyri’kannya hukum-hukum itu, tidak mensyariatkan hukum-hukum bagi peristiwa yang dibayangkan kemungkinan terjadinya.
Dengan adanya tiga sebab itu, maka para pemuka sahabat berpendapat bahwa di atas pundak merekalah kewajiban tasyri’ wajib mereka tegakkan. Kewajiban dimaksud adalah memberi penjelasan kepada umat Islam mengenai hal-hal yang memerlukan penjelasan dan penafsiran dari nash-nash Al-Quran dan Al-Sunnah, dan menyebarluaskan di kalangan umat Islam apa yang mereka hafal dari ayat Al-Quran dan Hadits Rasul, serta memberi fatwa hukum kepada orang-orang dalam peristiwa-peristiwa hukum dan urusan-urusan peradilan yang tidak ada nashnya. Mereka itulah tokoh-tokoh pengendali kekuasaan tasyri’ dalam periode ini, dan mereka itulah yang menggantikan Rasul dan tempat bertanya umat Islam tentang berbagai persoalan. Para pemuka sahabat memangku hak tasyri’ bukan karena pengangkatan Khalifah atau pemilihan umat, melainkan karena keistimewaan pribadi yang di milikinya. Para sahabat telah lama bergaul dengan Rasul, serta menghafal Al-Quran dan Al-Sunnah, para sahabat menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat dan sebab-sebab datangnya Sunnah, banyak di antara mereka adalah teman bermusyawarah Rasul dalam berijtihad. Karena keistimewaan inilah, maka para sahabat mampu menjelaskan nash-nash dan mampu berijtihad dalam persoalan yang tidak ada rujukan nashnya. Para sahabat adalah tempat bertanya umat Islam, dan umat Islam mempercayai apa yang dating dari para sahabat, baik yang berupa penjelasan maupun yang berupa fatwa.
Perkembangan tasyri’ pada masa Khulafaurrasyidin pada periode Abu Bakar, tasyri’ tidak banyak mengalami perkembangan, periode ini lebih menekankan konsolidasi kedalam dari pada melakukan ekspansi. Adapun metode yang di pakai Abu Bakar dalam menetapkan hukum adalah apabila masalah tersebut tidak ada dalam nash, maka Abu Bakar mengumpulkan para sahabat dalam majlis tasyri’, dari hasil majlis tersebut maka di anggap sebagai keputusan bersama dan harus dijalankan oleh ummat Islam waktu itu, sehingga perbedaan pendapat tidak banyak terjadi pada periode ini. Masa pemerintahan Khulafaurrasyidin ini sangat penting dilihat dari perkembangan hukum Islam, karena dijadikan model atau contoh oleh generasi-generasi berikutnya, terutama generasi ahli hukum Islam di zaman mutakhir ini, tentang cara mereka menemukan dan menerapkan hukum Islam pada waktu itu.
Umat Islam telah berusaha sungguh-sungguh dalam meriwayatkan ayat Al-Quran, dan mengisnadkan para perawinya, sehingga tidak timbul perbedaan sama sekali dalam segi ini. Adapun sumber perundang-undangan yang kedua, yaitu nash-nash hukum dalam Al-Sunnah belum di bukukan pada periode ini, sebagaimana Al-Sunnah secara keseluruhan juga belum di bukukan. Dalam periode ini Khalifah kedua yakni ‘Umar Ibn Khattab, telah memikirkan pembukuan Al-Sunnah. Namun, sesudah beliau bertukar pikiran dan bermusyawarah dengan para sahabat, beliau khawatir terhadap pembukuan Al-Sunnah. Mengapa? Karena waktu itu hanya dikenal satu versi Al-Sunnah dari ‘Abdullah Ibn ‘Amr Ibn Al-‘Ash yang mempunyai sebuah lembaran bernama Al-Shadiq, yang menghimpun hadits-hadits yang di dengar dari Rasululloh. Pengumpulan hadits dan rencana pembukuan Al-Sunnah dilakukan oleh para sahabat dengan sangat hati-hati dan selektif, terutama dari aspek perawinya. Abu Bakar hanya menerima hadits dari seorang perawi yang benar-benar di perkuat oleh seorang saksi. Umar Ibn Khattab meminta si perawi hadits mendatangkan bukti bahwa ia benar-benar telah meriwayatkannya, sedangkan Ali Ibn Abi Thalib meminta agar si perawi hadits bersumpah. Namun demikian, sikap hati-hati ini belum dapat merealisir tujuan yang sebenarnya, yaitu pembukuan Al-Sunnah.
Dalam periode (ijtihad) sahabat, belum ada pembukuan terhadap atsar-atsar mereka sedikitpun. Nilai fatwa para sahabat merupakan pendapat perseorangan; jika benar maka berasal dari Alloh, tetapi jika keliru berasal dari pribadi para sahabat itu sendiri. Para sahabat tidak mengharuskan siapa pun khususnya umat Islam untuk mengikuti fatwanya.

D. Sebab-sebab Timbulnya Perbedaan Pendapat dikalangan Sahabat
Setelah Nabi Saw wafat, timbul dua pandangan yang berbeda tentang otoritas kepemimpinan umat Islam. Hal ini berhubungan langsung dengan otoritas penetapan hukum ; Kelompok pertama memandang bahwa otoritas untuk menetapkan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna Al-Quran setelah Nabi Muhammad wafat dipegang oleh Ahlul Bait. Hanya mereka menurut nash dari Nabi Muhammad Saw yang harus dirujuk dalam menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum Allah. Kelompok ini kelak dikenal sebagai kelompok Syi’ah. Sedangkan menurut kelompok yang kedua, sebelum meninggal, Nabi Muhammad tidak menentukan dan tidak menunjuk penggantinya yang dapat menafsirkan dan menetapkan perintah Allah. Al-Quran dan Al-Sunnah adalah sumber hukum untuk menarik hukum-hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul. Mereka ini kelak dikenal sebagai kelompok Ahlu Sunnah atau Sunni.
Selain itu, sebab ikhtilaf pada zaman sahabat dapat dibedakan menjadi tiga ; yang pertama, perbedaan pendapat yang disebabkan oleh sifat Al-Quran ; Kedua, perbedaan yang disebabkan oleh Al-Sunnah. Dan yang ketiga, perbedaan pendapat dalam menggunakan ra’yu ( intervensi akal ).
Sebab-sebab perbedaan yang disebabkan oleh sifat-sifat Al-Quran diantaranya sebagai berikut :
a. Dalam Al-Quran terdapat kata atau lafadz yang bermakna ganda (isytirak). Umpamanya firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 228 : “yang di ceraikan oleh suaminya hendaklah menunggu tiga kali quru’.” Kata quru’ mengandung dua arti ; al-haidl dan al-thuhr.
b. Hukum yang ditentukan Al-Quran masing-masing “berdiri sendiri” tanpa mengantisipasi kemungkinan bergabungnya dua sebab dalam satu kasus. Misalnya, dalam Al-Quran terdapat ketentuan bahwa waktu tunggu (‘iddah) bagi wanita yang dicerai karena suaminya meninggal dunia adalah 4 bulan 10 hari, dan waktu tunggu bagi wanita yang dicerai dalam keadaan hamil (‘iddah hamil) adalah hingga melahirkan. Dua ayat tersebut tidak mengantisipasi kemungkinan terjadinya seorang wanita yang hamil ditinggal wafat suaminya. Ali Ibn Abi Thalib dan Ibnu Abbasy berpendapat bahwa ‘iddah yang berlaku bagi wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya dalam keadaan hamil adalah ‘iddah yang terpanjang antara dua ‘iddah tersebut. Sedangkan Abdullah Ibn Mas’ud berpendapat, bahwa yang berlaku adalah ‘iddah hamil, sebab ayat tentang ‘iddah hamil diturunkan setelah ayat ‘iddah wafat, yang berlaku konsep Naskh.
Adapun sebab perbedaan pendapat yang berhubungan dengan Sunnah adalah sebagai berikut :
a. Tidak semua sahabat memiliki penguasaan yang sama terhadap Sunnah. Di antara mereka ada yang penguasaannya cukup luas, ada pula yang sedikit. Hal itu terjadi karena perbedaan mereka dalam menyertai Nabi ada yang intensif ada yang tidak, ada yang lebih awal masuk Islam ada yang terakhir.
b. Kadang-kadang riwayat sampai kepada seorang sahabat tetapi belum atau tidak sampai kepada sahabat yang lain, sehingga diantara mereka ada yang mengamalkan ra’yu karena ketidaktahuan mereka terhadap Sunnah. Umpamanya Abu Hurairah r.a berpendapat bahwa orang yang masih junub pada waktu subuh, tidak dihitung berpuasa ramadhan, “man ashbaha junuban fala shouma lahu”. Kemudian pendapat ini di dengar oleh Aisyah yang berpendapat sebaliknya, Aisyah menjadikan peristiwa dengan Nabi Saw sebagai alas an. Maka Abu Hurairah menarik kembali pendapatnya.
c. Sahabat berbeda pendapat dalam menta’wilkan Sunnah. Umpamanya, Thowaf sebagian besar sahabat berpendapat bahwa bersegera dalam Thowaf adalah Sunnah, sedangkan Ibnu Abbas berpendapat bahwa bersegera dalam Thowaf tidak Sunnah.
Adapun perbedaan pendapat di kalangan sahabat yang disebabkan oleh penggunaan ra’yu, diantaranya perbedaan pendapat antara Umar dan ali tentang perempuan yang menikah dalam waktu tunggunya. Umar berpendapat, perempuan yang menikah dalam waktu tunggu, apabila belum dukhul harus dipisah, ia harus menyelesaikan waktu tunggunya, apabila sudah dukhul, pasangan itu harus dipisahkan dan menyelesaikan dua waktu tunggu, waktu tunggu dari suami yang pertama dan waktu tunggu dari suami berikutnya. Sedangkan menurut Ali perempuan itu harus diwajibkan menyelesaikan waktu tunggu yang pertama. Ali berpegang pada keumuman ayat, sedangkan Umar berpegangan pada tujuan hukum, yakni agar orang tidak melakukan pelanggaran.
Menurut para ahli, timbulnya perbedaan pendapat dikalangan sahabat disebabkan adanya beberapa factor, setidaknya kita perlu mengatakan lima persoalan mendasar yang menyebabkan beberapa ikhtilaf pada periode ini.
Pertama, perbedaan dalam memahami nash Al-Quran dan Hadits. Perbedaan seperti ini biasanya disebabkan karena tidak jelasnya batasan pengertian nash dan perbedaan persepsi di kalangan sahabat seperti persoalan quru’. Adanya ayat-ayat ahkam yang musytarak, atau belum pasti pengertiannya (dzanni). Dalam Surat Al-Baqarah : 228 memiliki dua pengertian. Zaid bin Tsabit, quru’ berarti suci, sementara Umar bin Khattab memahaminya sebagai Haidh.
Kedua, munculnya dua persoalan yang merujuk pada dua nash saling berlawanan kesepakatan akhir dari para sahabat bahwa masalah seperti ini harus melewati tiga tahapan, caranya mencari titik temu antara dua nash tersebut, baru kemudian mencari dalil-dalil yang menguatkan salah satu dari nash ( at-Tarjih ), dan jika kedua cara tersebut tidak memungkinkan maka diterapkan teori nash.
Ketiga, sebagian fuqaha dari kalangan sahabat mengatakan bahwa suatu peristiwa berdasarkan pengetahuan dari Sunnah, sementara yang lain belum mendapatkannya atau menganggapnya tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai Hadits Shahih. Pada masa ini terjadi seleksi yang sangat ketat terhadap periwayatan Hadits. Beberapa Hadits yang dijadikan sebagai sumber hukum oleh sebagian Fuqaha ditolak oleh Fuqaha lain sebab berbagai alas an. Selektifnya penerimaan periwayatan Hadits ini diatur pihak dan kecenderungan untuk mengamalkan Hadits di lain pihak, terutama dikalangan Ulama Madinah.
Keempat, perbedaan kaidah dan metode ijtihad dari para sahabat. Dari perbedaan penggunaan kaidah dan metode ini muncul beberapa perbedaan pendapat dalam suatu persoalan yang sama dan ini sangat memperkaya perbendaharaan Fiqh Islam.
Kelima, ini mungkin yang terpenting, kebebasan dan kesungguhan para sahabat periode Khulafaurrasyidin dalam melakukan ijtihad terhadap berbagai masalah yang mereka hadapi. Kebebasan dan kesungguhan inilah yang menjadi sumber konseptualisasi dan redinamisasi syariat periode ini.
Keenam, perbedaan mereka dalam menerima Hadits dari Rasulullah. Sebagian sahabat ada yang menerima Hadits dengan jelas dan cukup banyak, sementara yang lain hanya menerima sebagian saja. Hal ini disebabkan karena kondisi tempat tinggal mereka . Bagi yang dekat dengan Rasulullah praktis saja mereka banyak menerima Hadits, demikian sebaliknya.





BAB III
PENUTUP

I. Kesimpulan
Khulafaurrasyidin adalah pewaris kepemimpinan Islam setelah wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasul Saw wafat para sahabat berkedudukan sebagai musyar’i dalam istinbat suatu hukum yang tentunya dengan jalan musyawarah seperti yang dilakukan Rasul dan mereka bertindak sebagai musyawirin Rasul Saw.
Adapun sumber atau dalil hukum Islam yang digunakan pada zaman sahabat adalah Al-Quran, Sunnah dan Ijtihad ( ra’yu ). Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk kolektif, para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan hukum suatu kasus, hasil musyawarah sahabat disebut Ijma’. Walaupun para sahabat melakukan musyawarah tetapi diantara mereka tetap terjadi khilafiah dalam istinbat hukum. Faktor yang mempengaruhi adalah sifat Al-Quran, dan Sunnah serta perbedaan ra’yu. Disamping sosiokultur yang jelas sangat mempengaruhi.
Perkembangan tasyri’ pada masa Khulafaurrasyidin sangat hidup dan semarak. Beberapa ikhtilaf mulai muncul meskipun lebih kecil disbanding masa-masa berikutnya. Para sahabat Khulafaurrasyidin tidak menyikapi hukum-hukum Islam secara ideal yang lepas dari konteks social, tetapi dimensi social itu telah menyadarkan mereka untuk mencari jawaban-jawaban yang tepat dan ideal terhadap berbagai problematika yang bermunculan.












DAFTAR PUSTAKA

Zainuddin Ali, Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika Ofset, 2006), 68
M. Hasbi Ash Shidiqi, Pengantar Kebudayaan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1967), 56
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada -Masa-Khulafaurrasyidi1, di akses pada tanggal 25 Desember 09
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000), 37
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada -Masa-Khulafaurrasyidi1, di akses pada tanggal 25 Desember 09
Sirry Mun’im, Sejarah Fiqih Islam, (Surabaya : Risalah Gusti, 1995), 33
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada -Masa-Khulafaurrasyidi1, di akses pada tanggal 25 Desember 09
Jaih Mubarok, Sejarah dan perkembangan Hukum Islam, 41
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada -Masa-Khulafaurrasyidi1, di akses pada tanggal 25 Desember 09
Abuddin Nata, MA, Masail Al-Fiqhiyah, ( Jakarta : Prenada Media Group, 2003), 65
Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), 23
http://www.scribd.com/doc/15169629/Tarikh-Tasyri-Makalah-Mui, di akses tanggal 30 Desember 2009
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1990), 155

0 Response to "MAKALAH TARIKH TASYRI"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel